Sore turun pelan, menyelimuti kota Jakarta dengan langit yang menguning lembut. Di lantai bawah hotel, suara tawa Kai dan Albi kembali memenuhi udara. Mereka bermain di taman kecil yang berada di samping restoran, tempat keluarga Sabi sedang makan bersama.
Addie duduk di salah satu bangku taman, bersama ibu Sabi dan istri Harun. Matanya mengikuti Kai yang sedang mengejar gelembung sabun yang ditiup Albi, lalu sesekali ikut tertawa melihat kelucuan tingkah mereka. Tapi tawa Addie tetap seperti ada jarak, senyum yang belum sepenuhnya pulih.
Sabi muncul dari arah lift. Di tangannya, ia membawa dua kantong plastik bening berisi mainan edukatif dan dua buku dongeng bergambar. Ia melambaikan tangan pada keponakannya, dan keduanya langsung berlari ke arahnya, menjerit senang.
“Kai! Albi! Nih, Om Sabi bawa mainan,” ucapnya sambil jongkok. “Yang satu bisa nyalain lampu kalau jawabannya benar, yang satu lagi bisa jadi panggung boneka. Tapi kalian harus janji, cuma boleh main kalau udah mandi dan makan, ya.”
Anak-anak langsung mengangguk heboh, lalu membawa mainan itu ke rumput sambil berteriak kegirangan. Addie memperhatikan dari kejauhan. Senyum pelan mulai terbit di wajahnya, walau belum ia izinkan tumbuh penuh.
Sabi berjalan pelan ke arah mereka. Ia menunduk hormat pada ibunya dan kakak iparnya, Setelahnya Ibu dan kakak iparnya meninggalkan Sabi dan Addie untuk menemani Kai dan Albi bermain. Sabi menoleh ke Addie. Tanpa banyak kata, ia duduk di sampingnya. Di tangan kirinya ada satu lagi kantong kecil bungkus kertas kraft berisi sesuatu.
“Ini buat kamu,” katanya pelan, menyodorkan bungkus itu.
Addie menatapnya curiga, tapi tetap menerimanya. Saat dibuka, isinya adalah sepasang gelang handmade dari keramik berwarna hijau toska, motifnya seperti dedaunan yang dijemur sore hari.
“Aku tahu kamu suka yang nggak terlalu mencolok,” ucap Sabi. “Aku nemu ini di toko kecil dekat kantor .Dan... aku ingat kamu pernah bilang, ‘hijau adalah warna yang sabar’.”
Addie terdiam. Ia memang pernah bilang itu, beberapa waktu lalu, saat mereka masih sering ngobrol larut malam tentang warna-warna dan perasaan.
“Aku cuma mau bilang...” lanjut Sabi, suaranya pelan, “aku mungkin butuh waktu untuk jadi laki-laki yang bisa kamu percaya sepenuhnya. Tapi aku akan belajar. Dan selama proses itu, aku pengin tetap ada di samping kamu, dengan cara yang nggak nyakitin kamu lagi.”
Addie memandangi gelang itu lama. Lalu, ia memakainya satu. Bukan dua. Tapi itu sudah cukup. Ia masih diam, namun tak berpaling. Dan saat Sabi berdiri lagi untuk ikut main bersama keponakannya, Addie menatap punggungnya... kali ini dengan sorot mata yang tak lagi beku.
"Semalem kamu kemana? kok cuma Addie yang nyamperin ke kamar ibu" tanya Ibu, di sela tawa kecil menyaksikan Kai dan Albi berlarian kejar-kejaran.
Sabi terdiam sejenak. Ada jeda yang terlalu panjang untuk sebuah pertanyaan ringan. Ia menarik napas pelan, lalu menjawab dengan suara yang terdengar gugup.
"Ah ... anu ... semalem aku ke minimarket beli rokok."
Ia berbohong. Dan ia tahu, bukan karena tak percaya pada ibunya, tapi karena ada kisah semalam yang belum sanggup ia ucapkan, kisah yang lebih baik tersimpan diam.
Ibu mengangguk ringan, lalu menimpali, "kenapa nggak beli rokok pas kamu beliin ibu sate, malah jadi bolak-balik."
Sabi mengernyit pelan, tidak paham.
“Sate?” gumamnya, seolah kata itu asing di telinganya sendiri.
“Iya,” ujar Ibu sambil tersenyum kecil, matanya masih mengikuti Albi yang mengejar mainannya. “Sate yang Addie bawain semalam. Katanya itu titipan dari kamu.”
"Ah iya ... lupa soalnya, nggak sekalian beli rokok. Jadi aku turun lagi, bu"
Ia kembali berbohong. Tapi suaranya terdengar lebih tenang, seolah sedang menyusun ulang kenyataan dalam versi yang lebih mudah dicerna.
Ibu tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya menatap Sabi sesaat, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada cucunya yang tertawa lepas. Seolah memahami bahwa ada hal-hal yang anak-anaknya belum siap ceritakan—dan seorang Ibu, terkadang tak perlu tahu semua, cukup mendoakan yang tersembunyi.
Addie lalu melangkah pelan ke arah Albi dan Kai. Diam-diam ia berdiri di antara mereka, seperti angin lembut yang hadir tanpa suara. Ia meraih tangan Kai, lalu berkata dengan nada yang hangat dan penuh sayang,
“Kita baca buku yang ada panggung bonekanya, yuk... Tapi, Kai yang jadi pengisi suaranya, ya.”
Kai mengangguk antusias. Dan di momen sederhana itu, dunia terasa sejenak baik-baik saja.
Sabi menoleh. Pandangan mereka bertemu. Addie tersenyum. Bukan senyum besar yang penuh kepastian, tapi senyum yang jujur, yang datang dari hati yang mulai luluh setelah badai.
Senyum yang memberi ruang, tanpa menuntut.
Karena cinta, kadang tak butuh janji yang megah.
Cinta tumbuh kembali dari hal-hal kecil: dari gelang yang dipilih dengan ingatan, dari sabar yang terus diuji, dan dari keberanian seseorang yang memilih tinggal, walau sempat nyaris pergi.
Dan sore itu, saat cahaya senja membasuh taman kecil di sudut Jakarta, mereka tak lagi saling mengejar.
Mereka belajar untuk mulai dari ulang, dengan langkah yang lebih pelan, tapi saling sejajar.
Lalu, di tengah canda tawa anak-anak, di antara aroma rumput dan angin yang membawa sisa mentari, Sabi mendekati ibunya perlahan.
“Bu...” katanya lirih,
“Malam ini, Yusuf mau ke kamar. Aku... mau bicara sesuatu yang penting.”
Ibunya menoleh, menatap anaknya lama. Lalu tersenyum. Senyum seorang ibu yang tahu, bahwa anak laki-lakinya mungkin telah menemukan keberanian untuk menyampaikan hal yang bukan hanya penting, tapi mungkin... akan mengubah arah perjalanan mereka selanjutnya.
* * *
Malamnya, Jakarta baru saja selesai diguyur hujan malam. Jalanan masih mengilat, seperti kaca yang baru dibersihkan, dan udara mengandung sisa aroma tanah yang tenang. Di restoran hotel, Sabi duduk sambil menyeruput kopi hitamnya. Addie datang terlambat beberapa menit, mengenakan baju panjang putih yang digulung di bagian lengan, rambutnya masih basah separuh, menandakan ia mandi terburu-buru.
Tak banyak percakapan. Tapi tidak ada jarak yang menusuk seperti beberapa hari lalu. Hanya ada ruang yang mereka beri satu sama lain, cukup untuk tumbuh dan tidak saling melempar luka.
Sampai tiba-tiba Addie membuka laptop, mengecek email pagi.
Matanya terpaku. Ia menatap layar beberapa detik lebih lama dari biasanya.
“Ada apa?” tanya Sabi, sambil meletakkan sendok.
Addie menoleh, tak langsung menjawab. Kemudian memutar laptop agar bisa dilihat Sabi juga.
Subject: Expansion Project Malaysia – Assigned to Yusuf Asabi & Jeffadie
From: HQ SingaporeDear Yusuf and Jeff,
We are pleased to inform you that both of you have been selected to lead the initial groundwork and partnership planning for our upcoming expansion in Kuala Lumpur. This assignment is projected to last between 1 to 2 weeks, with options for extended collaboration based on outcomes.
Departure: tomorrow
Please prepare your transitional reports ASAP.
Sabi menarik napas, panjang. Dunia seolah kembali bergerak cepat di depan mata mereka. Keheningan kecil muncul. Bukan karena mereka tak tahu harus berkata apa, tapi karena keduanya sadar… keputusan ini bukan sekadar tentang pekerjaan.
"Dadakan amat" lirih Sabi menyeruput kopinya.
“Kamu mau?” tanya Addie, suaranya pelan tapi langsung menusuk ke arah yang paling dalam, "kalau nggak mau, bisa serahin projectnya ke yang lain."
Sabi tak langsung menjawab. Ia menatap jendela, melihat langit Jakarta yang mulai muram lagi setelah diguyur hujan. Lalu menatap Addie, lama, seperti sedang membaca puisi yang hanya bisa dipahami oleh dua pasang mata.
“Mau, kapan lagi bisa kerja sambil jalan-jalan sama pacar” jawab Sabi akhirnya.
Addie tersenyum tipis. Tapi bukan senyum yang meyakinkan, melainkan yang mengandung keraguan.
Sabi menatap penuh hangat. “Aku masih belum dapet maaf sepenuhnya ya?”
Addie menatap meja, lalu jari-jarinya menggenggam mug putih berisi teh. “Aku nggak marah sedikitpun, Kamu nggak butuh maaf dari aku. Aku cuma takut kamu masih punya bayangan di belakang. Takut aku bukan tempat kamu berlabuh. Aku bukan orang yang kamu kejar... tapi aku cuma orang yang kebetulan ada saat kamu nyerah.”
Sabi mengulurkan tangan, menyentuh punggung tangan Addie dengan lembut. “Kamu itu bukan tempat aku menyerah. Kamu itu alasan aku mulai ulang, Add.”
"Percaya sama aku, kamu ... adalah era baru yang akan aku perjuangkan sampai kapanpun."
"Ke kamar, yuk" ajak Addie malu-malu.
"Sebelum ke kamar, kita ke kamar Ibu dulu, sekalian pamit buat pergi besok" ujar Sabi tersenyum penuh cinta.
* * *
“Malaysia jauh nggak, Om?” tanya Albi polos, sambil mengaduk es krimnya.
“Nggak jauh, sayang. Cuma dua jam naik pesawat,” jawab Sabi sambil mengelus kepala keponakannya.
“Tapi tetap nggak bisa main tiap hari kayak gini” gumam Albi pelan.
Sabi menunduk, mencium ubun-ubun bocah itu, lalu berkata, “Nanti kita bisa video call ya, tiap minggu. Janji.”
"Kakak sama adek, ayo ke kamar. Mama bacain buku yang tadi dibeliin om, yuk" ajak kakak iparnya Sabi yang mengerti dengan keadaan penting yang sepertinya ia baca dari gesture tubuh Sabi.
Dari jendela kamar hotel yang menghadap arah barat, langit terlihat indah dengan bintang sehabis hujan. Di dalam kamar, suasana terasa tenang, tapi detak jantung Sabi berisik, lebih keras dari lalu lintas di bawah sana.
Ibu duduk di sofa kecil dekat jendela, sedang menyeduh teh hangat yang baru saja dikirim dari room service. Addie berdiri tak jauh, membenahi beberapa barang Sabi yang tertinggal di kamar Ibunya untuk keberangkatan ke Malaysia esok pagi. Sabi berjalan mendekati ibunya seolah waktu dan ruang mengurungnya di tengah keheningan.
“Ibu...” suara Sabi lebih mirip bisikan angin malam. Ia menunduk, berlutut di hadapan perempuan yang selama ini menjadi rumah paling awal dalam hidupnya.
Sang ibu menundukkan kepala, menatap anak lelakinya dengan kehangatan yang tidak berubah meski waktu terus berjalan.
“Ada yang mau Yusuf omongin,” lanjutnya, tangannya saling meremas di pangkuan.
Sabi menarik napas panjang, lalu menatap ibunya dengan mata yang jujur dan gentar dalam waktu yang bersamaan.
"Bu, sebenernya Addie bukan cuma temen kerja, tapi Addie lebih dari itu."
Udara di kamar seolah berubah jadi lebih pekat. Waktu seperti menahan napas bersamaan dengan Sabi. Tapi ibunya tidak langsung bicara. Ia meletakkan cangkir teh di meja kecil, lalu menatap Sabi dalam-dalam. Matanya menua, tapi tidak buta oleh prasangka.
“Maaf, Bu...” suara Sabi nyaris pecah. “Yusuf nggak bisa jadi anak laki-laki ideal dalam bayangan banyak orang. Tapi Yusuf nggak main-main. Yusuf cinta sama Addie.”
"Kamu jangan bercanda gitu ke Ibu" Addie ikut menimpali, nada bicaranya ketakutan, "kelewatan kamu bercandanya."
Namun, ibunya bangkit perlahan. Tanpa kata, ia menyentuh pipi Sabi. Hangat telapak tangannya seolah menenangkan badai kecil di wajah lelaki yang dulu ia timang.
“Kamu pikir ibu nggak tahu isi hati anak ibu?” katanya lembut. “Ibu ini mungkin ndak punya bahasa yang sama, tapi naluri seorang ibu... ibu mendengar bahkan saat kamu nggak ngeluarin suara.”
Sabi terisak pelan. Air matanya jatuh, membasahi tangan ibunya.
“Kalau dia bisa menjadi tenangmu, kalau matamu menemukan pulang di dia,” suara ibu mulai bergetar, tapi tetap kokoh, “maka Ibu ridha. Tapi satu yang Ibu mohon...”
“Apa, Bu?” tanya Sabi, suara serak menahan isak.
"Jangan terlalu jujur sama dunia, nggak semua orang bisa ngerti" jawab Ibu dengan suara tenang, tapi cukup menusuk, “Bukan karena kamu salah. Tapi karena dunia belum tentu siap untuk sesuatu yang kamu anggap benar. Ibu ini udah tua, Sab. Ibu dak mau menua dalam gunjingan buruk yang dipaksa oleh mulut-mulut tetangga.”
Sabi mengangguk, menunduk, suaranya patah. “Iya, Bu. Yusuf ngerti. Yusuf janji akan selalu ingat nasehat ibu. Yusuf janji akan jaga semua ini baik-baik.”Di pojok kamar, Addie membeku, wajahnya basah. Tapi saat ibu Sabi memanggilnya pelan, “Addie...” ia tak bisa menolak langkah yang mengarah padanya.
“Titip Yusuf, ya. Kalian hati-hati disana” ucap sang ibu, sebelum memeluknya. Bukan pelukan formal, tapi hangat seperti hari pertama hujan setelah musim kering. Addie pun memeluk balik, kaku, lalu larut. Hatinya mencair dalam dekapan itu, perempuan yang tidak melahirkan dia, tapi menerima dia.
“Makasih, Bu...” suara Addie tenggelam di bahu sang ibu.
Dan malam Jakarta menjadi saksi bahwa keberanian paling tulus tak selalu terdengar keras. Ia kadang hadir dalam bisikan, dalam pelukan, dalam penerimaan yang diam-diam.
Tirai ditarik perlahan, membiarkan cahaya kota menyelinap masuk. Cahaya itu jatuh ke wajah tiga hati yang tak lagi sembunyi, tak lagi ragu.
Karena malam itu, rumah mereka bukan lagi tempat, tapi rasa.
* * *
Pagi di Jakarta datang dengan langkah perlahan. Langit belum sepenuhnya biru, masih menggantungkan sisa embun dan kabut tipis dari hujan malam sebelumnya. Dari jendela kamar hotel, matahari seperti malu-malu menerobos tirai, menyinari koper-koper yang telah rapi di dekat pintu. Aroma teh, roti panggang, dan lotion tubuh bercampur jadi satu, seperti pertanda pagi yang akan menggantikan banyak hal.
"Jadi kesiangan kan, kamu sih lupa setel alarm abis ngebanting aku semaleman."
Addie berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya dengan tenang namun sedikit mengoceh. Tapi di balik gerakan yang terukur itu, ada gemuruh yang belum reda.
"Salah siapa tidur telanjang, udah tau pacarnya ngacengan."
Di belakangnya, Sabi membereskan paspor dan memeriksa kembali barang bawaan mereka.
Addie hanya tersipu malu. Setelah itu, susasana kembali hening, tapi keheningan mereka bukanlah dingin, melainkan pengertian yang pelan-pelan membungkus satu sama lain.
Di ruang sarapan hotel, mereka kembali duduk satu meja dengan keluarga Sabi. Suasana terasa berbeda, tidak lagi penuh rahasia, tapi belum juga lepas dari perasaan perpisahan yang menggantung di udara.
Kai dan Albi duduk di sisi Addie, sibuk berebut pancake, sementara ibu duduk tenang di sebelah Sabi, menyendokkan bubur perlahan untuk cucu kesayangannya.
“Besok-besok pulang ya, Om,” kata Albi dengan mulut penuh.
“Harus pulang, harus cerita Malaysia kayak apa,” tambah Kai sambil mengangkat tangan kecilnya, memberi tos yang langsung disambut tawa pelan Sabi.
Addie menatap anak-anak itu, lalu menoleh ke arah ibu. Mereka bertatapan sebentar, sebuah tatapan yang tidak lagi ragu, tapi dalam dan penuh harap.
Setelah sarapan, saat mereka bersiap turun ke lobi dan menunggu mobil menuju bandara, Sabi mendekati ibunya. Di tangannya ada sesuatu yang kecil: sebuah tas tangan batik cokelat tua yang telah lama disimpan di lemari rumah.
“Ibu masih ingat ini?” tanya Sabi, menyerahkannya.
Ibunya mengangguk. “Tas waktu kamu pertama kali kerja di luar kota... Ibu simpan. Masih harum sabun hotel.”
Sabi tersenyum. “Jaga diri ya bu, Yusuf akan telpon ibu tiap ada waktu.”
Ibunya tidak menjawab. Ia hanya menarik Sabi dalam pelukan yang sunyi, lama, seperti menyimpan aroma anaknya untuk waktu yang lama.
Addie berdiri beberapa langkah di belakang. Saat ibunya selesai memeluk Sabi, beliau melangkah ke Addie.
“Kalau nanti Yusuf terlalu keras kepala, ingetin dia, ya,” bisik Ibu, namun bisikan itu terdengar oleh Sabi.
Addie mengangguk pelan, matanya berkaca. “Ibu juga jangan terlalu sering nahan kangen sendirian. Kalo kangen sama Sabi, langsung telpon aja. Kalau Sabi nggak ngangkat, ibu telpon Addie.”
Pelukan pun terjadi. Tak banyak kata. Hanya tubuh yang saling menyentuh, dan air mata yang jatuh diam-diam di bahu masing-masing.
Mobil tiba. Koper dimasukkan. Anak-anak melambai di belakang kaca lobi bersama ibu mereka, Kai menggambar hati di embun jendela dengan jarinya.
Jakarta semakin mengecil di balik kaca mobil yang melaju. Tapi bagi Sabi dan Addie, kota itu tidak pernah benar-benar tertinggal. Ia ada di dada, dalam bentuk wajah-wajah yang mereka cintai. Dan pagi itu, mereka tidak sekadar berangkat ke negeri seberang. Mereka sedang memulai hidup yang baru, dengan keberanian yang tidak mereka miliki kemarin.
Dan langit, seolah tahu, akhirnya menjadi biru sepenuhnya.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar