Sabtu, 17 Mei 2025

Bokong Yang Kusuka New Era Part 9

Pagi datang dengan sinar yang masih malu-malu menembus kaca gedung tinggi di pusat Singapura. Di balik dinding kaca kantor tempat mereka bekerja, dunia tampak berjalan seperti biasa—cepat, sibuk, dan penuh tuntutan. Tapi bagi Sabi, pagi ini berbeda. Ada yang mengendap dalam hatinya, seperti embun yang enggan menguap meski matahari telah naik. Perasaan hangat semalam masih tertinggal, masih membekas di jemarinya yang pernah menggenggam milik Addie di atas bangku kayu Sentosa Boardwalk.

Saat ia melangkah ke pantry kantor, aroma kopi menyambutnya, dan suara langkah sepatu yang familiar membuatnya menoleh. Addie—dengan kemeja biru yang sedikit tergulung di lengan, dan senyum yang ia sembunyikan di balik cangkir kopi.

“Pagi,” sapa Addie ringan, seolah malam tadi hanyalah mimpi. Tapi matanya... matanya masih menyimpan cahaya yang sama.

“Pagi,” balas Sabi pelan, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.

Belum sempat mereka duduk atau melanjutkan percakapan, notifikasi di layar ponsel keduanya berbunyi nyaris bersamaan. Sebuah email dari tim manajemen.

[Subject: New Client Project – Indonesia Deployment]

Sabi membaca cepat isi emailnya. Sebuah proyek kolaborasi lintas departemen. Klien besar. Lokasi: Indonesia. Durasi: 1 minggu. Dan yang paling mengejutkan—

Assigned Team: Jeffadie Kiernandi & Yusuf Asabi.

Mereka saling menatap. Sabi membulatkan mata kecilnya sambil tersenyum heran. “Kita satu tim? Ke Indonesia?”

Addie meneguk kopinya sebelum menjawab, “Kayaknya semesta denger semua bisikan kamu semalem, Sab.”

Sabi terkekeh. “Kalau gitu, semesta emang pintar cari celah.”

"Aku udah lama banget nggak ke Indonesia" Addie tersenyum bahagia.

Addie berjalan ke arah Sabi, berdiri di sampingnya seperti yang selalu ia lakukan dalam diam-diam. “Kita bakal kerja bareng, tidur di zona waktu yang sama, bangun lihat matahari yang sama.”

“Kamu lupa satu hal,” sela Sabi sambil mengangkat alisnya.

“Apa?”

“Kita bakal punya banyak waktu buat saling ngerti… tanpa harus ada alasan lain.”

Addie menatap Sabi, lebih lama dari biasanya. Ada banyak hal yang tak bisa diucapkan di kantor. Tapi di matanya, Sabi tahu, semua yang semalam ditanam perlahan tumbuh di sana.

“Siap kerja bareng?” tanya Addie, suaranya rendah tapi tegas.

“Kalau kamu di sampingku, aku nggak pernah nggak siap,” jawab Sabi.

Dan pagi itu, di antara deru mesin kopi, tumpukan berkas, dan cahaya matahari yang menyusup malu-malu—dua hati kembali disandingkan oleh takdir. Bukan hanya untuk sebuah proyek kerja, tapi untuk perjalanan yang mungkin... akhirnya akan menyembuhkan.

* * *

Langit Jakarta menyambut mereka dengan warna kelabu dan hangat yang khas. Mereka baru saja tiba di pintu kedatangan bandara ketika Sabi melihat deretan wajah yang sudah tak asing menantinya dari balik pagar pembatas kedatangan. Ada ibunya, dengan senyum yang tetap sama sejak terakhir kali mereka bertemu. Di sampingnya berdiri Harun, kakak laki-laki Sabi, bersama istrinya dan dua anak kecil yang melambai-lambaikan tangan penuh semangat.

Addie melirik ke arah keluarga itu. “Keluargamu ya?”

Sabi mengangguk pelan. “Iya. Aku ngabarin mereka...  dan mereka sengaja datang jemput.”

Ada nada ragu dalam suaranya, dan Addie bisa merasakannya, tapi ia tak bertanya lebih jauh. Ia hanya berjalan di samping Sabi, membiarkan udara Jakarta yang lengas menyerap semua kecanggungan.

Ketika akhirnya mereka tiba di hadapan keluarga itu, pelukan hangat sang ibu langsung menyergap tubuh Sabi. Tak ada kata-kata, hanya genggaman yang lama dan usapan di punggung yang terasa seperti rumah.

“Ini temen kerja kamu?” tanya Harun, menatap Addie yang berdiri di belakang dengan sopan.

Addie menjabat tangan Harun, senyumnya ringan tapi penuh hormat. “Addie, senang bisa ketemu, Mas.”

“Wah, seneng banget deh kamu bisa ikut ke sini. Yusuf dari dulu jarang banget bawa temen ke rumah,” ujar istri Harun sambil tersenyum ramah.

"Yusuf" Addie mengernyitkan dahi karena panggilan Yusuf cukup asing di telinganya.

"Nasib dikenal pake dua nama, kadang ada yang panggil Yusuf, kadang ada yang panggil Sabi" Istri Harun tersenyum menjelaskan.

“Makanya sekalian aja nginep di rumah kami, ya? Hotel nanti-nanti aja, sekarang mah ngumpul dulu,” tambah Harun tanpa memberi ruang untuk penolakan.

"Iya om, nginep dong di rumah Albi, Albi kan belum pernah main sama om" si kecil yang sejak tadi bergelayut manja di tangan Istri Harun ikut angkat bicara.

Sabi memandang anak kecil itu. Sabi menatap haru, bukan tanpa sebab, karena ia sendiri tidak pernah bertemu dengan anak bungsu Harun itu sejak menghilang dari keluarganya, bahkan Sabi sendiri tidak tahu kapan ia punya keponakan lagi dari Harun.

"Kayak kenal aja, kamu kan nggak pernah ketemu Om Sabi" celetuk si sulung mengejek adiknya.

Sabi tertawa mendengar celoteh kakak beradik yang tak lain keponakannya itu, mereka mengingatkan Sabi akan dirinya dan Harun yang sering meributkan sesuatu saat kecil dulu.

"Kai nggak boleh gitu sama adeknya" Omel istri Harun pada si sulung.

Sabi sempat menoleh ke arah Addie, seolah meminta konfirmasi lewat pandangan. Addie hanya mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa semuanya baik-baik saja.

"Iya, Om bakal nginep nemenin Kai sama Albi" ujar Sabi membuat dua keponakannya tersenyum bahagia.

"Asyiik, rumah Albi jadi rameee" celoteh si kecil.

Hari itu, mereka tinggal di rumah sederhana Harun yang kini menetap di Tangerang. Rumah itu tidak besar, tapi hangat dan penuh tawa. Anak-anak Harun langsung lengket pada Addie, yang entah bagaimana selalu punya cara untuk membuat anak kecil nyaman. Sabi mengamatinya dari sudut ruang tamu dengan mata yang menyimpan campuran rasa antara syukur dan kekhawatiran.

Tangerang, malam itu, tak hanya menjadi kota transit dalam perjalanan kerja mereka. Tapi juga menjadi titik temu antara masa lalu yang perlu dirangkul, dan masa depan yang, entah bagaimana, mulai terasa mungkin.

* * *

Malam di rumah Harun turun perlahan, bersama dengan aroma tumisan bumbu dapur dan suara anak-anak kecil yang mulai mengantuk. Sabi duduk di ruang makan, satu cangkir kopi hangat di tangannya, sementara ibunya duduk di seberangnya dengan tatapan yang tak pernah benar-benar lepas dari wajah anak bungsunya itu.

Addie sedang berada di teras rumah, mengobrol bersama Harun yang sedang direpoti dengan dua krucil yang tidur di pahanya. Istri Harun sedang mencuci piring bekas makan malam, mereka seakan membiarkan ruang itu menjadi milik Sabi dan ibunya untuk sementara.

“Suf,” suara ibunya pelan memanggil nama depan Sabi yaitu Yusuf, tapi menusuk lembut ke dalam ruang yang sudah lama tak dibuka, “kamu kelihatan capek. Tapi bukan capek kerja, ya kan?”

Sabi tersenyum kecil, menatap kopi yang mengepul di tangannya. “Mungkin... capek pura-pura, Bu.”

Ibunya mengangguk pelan. “Ibu ngerti.”

“Ibu ngerti, tapi nggak setuju?” tanya Sabi hati-hati, separuhnya takut, separuhnya pasrah.

Perempuan paruh baya itu terdiam. Jemarinya meremas sudut jilbabnya perlahan, sebelum akhirnya berkata, “Dulu ibu pikir... semua bisa diperbaiki kalau kamu kembali seperti dulu. Tapi sekarang, ibu sadar, siapapun kamu, kamu gak pernah pergi ke mana-mana dan kamu tetap anak Ibu. Cuma kami yang terlalu sibuk menyembunyikan kamu dari kenyataan. Maafkan Ibu.”

Sabi mengangkat wajahnya, mata yang semula sembunyi kini menatap lekat ke wajah ibunya. Ada air yang mulai menggenang, tapi belum jatuh.

“Ibu akhirnya belajar, dari Mario” lanjut ibunya pelan. “Dia pernah kirim surat ke rumah buat kamu, maaf kalau ibu nggak pernah kasih ke kamu. Ibu juga lupa waktu itu tarok mana, pas kamu pergi” air mata menitik dari kelopak mata Ibunya.

Sabi tercekat. Napasnya tertahan sejenak. “Mario?”

“Iya,” ibunya tersenyum samar. “Ibu lupa isinya, tapi yang Ibu ingat ... Dia bilang dia nyerah bukan karena dia nggak cinta sama kamu, tapi karena dia nggak mau kalian milih antara cinta dan keluarga. Itu surat yang bikin ibu pelan-pelan buka mata. Nanti kalau ibu pulang ke Yogya, Ibu akan cari ya dimana suratnya.”

Sabi menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang mulai memenuhi dadanya.

"Nggak perlu dicari, Bu" senyum Sabi getir, "Mario udah bahagia sama istri, sama anaknya."

"Dia udah nikah?" tanya Ibu Sabi sedikit terkejut.

Sabi mengangguk, "maaf ya, Bu. Aku masih belum bisa jadi sesuai keinginan Ibu."

Sabi menarik napas dalam-dalam. “Aku nggak minta ibu sepenuhnya nerima, Bu. Tapi... kalau bisa, jangan tolak aku lagi. Aku capek jadi tamu di keluarga sendiri.”

Ibunya bangkit pelan, lalu berpindah duduk di sebelah Sabi. Tangan tuanya menyentuh kepala anak lelakinya, mengusapnya perlahan seperti saat kecil dulu ketika Sabi takut petir atau kehilangan mainannya.

“Ibu nggak akan nolak kamu, Suf. Kamu tetap anak ibu. Selalu. Kalau kamu bahagia... itu udah cukup buat ibu. Apapun pilihan kamu, jalan kamu, ibu akan tetap jadi orang yang menyambut kamu saat kamu pulang.”

Sabi menutup mata. Hening turun dalam, tapi keheningan yang hangat dan menenangkan. Ia bersandar pelan di bahu ibunya, seperti seorang anak yang akhirnya tahu: rumah bukan tempat, tapi pelukan yang tak lagi membandingkan atau bertanya.

Dari teras luar yang langsung terhubung ke ruang makan, Addie dan Harun duduk dalam diam. Mereka menyaksikan pelan adegan itu, dengan mata yang lembut dan senyum tipis yang tak membutuhkan suara. Hatinya ikut hangat, karena tahu, tanpa ia harus masuk dalam percakapan itu, ia kini menjadi bagian kecil dari dunia yang akhirnya menerima Sabi, tanpa syarat.

"Aku udah tau," Harun tersenyum menatap Addie dengan hangat, "jagain adikku ya, Di."

Addie masih terdiam, berusaha menelaah kata-kata Harun. Harun meninggalkan Addie sendirian di teras rumah, membawa kedua anaknya masuk ke dalam kamar untuk ditidurkan.

* * *

Malam di Tangerang sunyi seperti doa yang tertahan di ujung lidah—lirih, tak ingin mengganggu, namun penuh harap. Udara menggantung hangat, tapi tak menyesakkan. Teras rumah Harun menjadi ruang sunyi tempat segala percakapan tak terucap menemukan bentuknya. Lampu kuning yang menggantung di langit-langit memantulkan cahaya temaram ke permukaan lantai keramik, menciptakan bayang-bayang lembut di sekitar kaki dua insan yang duduk diam dalam ruang waktu yang seolah berhenti berdetak.

Di halaman kecil, suara jangkrik menyusup di sela angin yang pelan menyisir dedaunan. Malam terasa seperti halaman kosong yang siap ditulisi kisah paling jujur dari hati yang rapuh namun berani mencinta.

Sabi menyandarkan tubuhnya ke kursi rotan, membiarkan bahunya meresapi dinginnya malam dan panasnya kopi yang perlahan mendingin di tangan. Jemari kanannya melingkari cangkir keramik, menampung kehangatan yang tinggal sisa. Di sampingnya, Addie duduk dengan punggung sedikit membungkuk, mengaduk-aduk isi gelas dengan sendok kecil, bukan karena ingin mencicipi, tapi karena perlu sesuatu untuk meredakan degup yang mulai tak karuan.

“Kamu denger semuanya, ya?” suara Sabi keluar perlahan, seperti rahasia yang diserahkan pada malam agar tak jatuh ke tangan sembarangan.

Addie hanya mengangguk, senyumnya samar, getir seperti rasa kopi yang tak dicampur gula. “Iya.” Ia tertawa kecil. “Hebat ya, dunia bisa berubah banyak cuma karena satu surat dari masa lalu.”

Sabi menoleh, matanya menelisik wajah Addie yang setengah tenggelam dalam bayang lampu. “Dunia berubah karena aku tetap bertahan jadi diri sendiri. Bukan karena surat itu.”

Ia tahu. Di balik sikap tenang Addie, ada riak kecil yang menyimpan cemburu. Bukan karena takut kalah oleh masa lalu, tapi karena ingin tahu apakah dirinya punya tempat di masa depan. Dan Sabi ingin memastikan—bahwa tidak akan ada ‘pemenang’ di antara kenangan dan harapan. Karena rumah yang ia bangun bukanlah tempat untuk memilih masa lalu atau masa depan, tapi tempat untuk memulai ulang, bersama seseorang yang mengerti.

Addie menatap langit malam, yang perlahan bersih dari awan, seolah semesta sedang bersolek untuk jadi saksi. “Waktu kecil aku pernah nulis surat juga buat masa depan. Isinya ... aku pengin punya rumah pohon, satu anjing golden retriever, dan seseorang yang mau baca puisi sebelum tidur.”

Sabi tersenyum kecil, senyum yang terbit dari tempat paling jujur dalam hatinya. “Udah ada satu yang kejadian.”

Addie melirik, “Yang mana?”

Sabi memiringkan kepala, senyumnya berubah menjadi lembut, penuh keyakinan. “Yang seseorang itu.”

Dan di antara mereka, sunyi pun hadir bukan sebagai jeda, tapi sebagai bahasa. Hening yang berbicara lebih fasih daripada kata, yang menampung segala rasa tanpa perlu deskripsi.

“Kamu…” suara Addie nyaris retak, “aku belum bilang iya.”

“Belum bukan berarti nggak mau,” balas Sabi cepat. Ia menatap dalam, seolah hendak menambatkan seluruh harapannya di mata Addie. “Emang kamu beneran tega nolak cowok seganteng aku?”

Tawa Addie meledak pelan. Tawa yang tak hanya menyimpan geli, tapi juga lega—karena akhirnya, malam ini, segalanya menjadi jujur.

Perlahan, Addie menyentuh tangan Sabi yang dingin. Bukan genggaman, tapi sentuhan penuh makna. Isyarat sunyi yang berkata: aku di sini, kalau kamu butuh pegangan.

“Aku mau,” bisik Addie, “aku mau jadi rumah yang lagi kamu bangun itu. Aku capek… tapi kalau rumahnya kamu… mungkin aku mau istirahat sebentar.”

Sabi menoleh cepat, matanya memburu kepastian. “Bentar, ini maksudnya kamu nerima aku jadi pacar kamu?”

Addie tak langsung menjawab. Ia hanya bergeser, mendekatkan tubuhnya, membiarkan jarak di antara mereka lenyap seperti batas waktu yang tak lagi relevan. Kepala Sabi bersandar pelan di pundaknya, dan malam menghembuskan napas hangatnya, merestui dua hati yang akhirnya tak bersembunyi.

“Kamu banyak tanya, kayak nggak ngerti aja,” gumam Addie, lalu menggigit manja pundak Sabi dengan sentuhan ringan yang lebih terasa dari seribu kata. “Iya, aku mau jadi pacar Yusuf.”

Sabi ingin berteriak, ingin melakukan selebrasi, namun Addie keburu menahannya saat Sabi ingin berdiri, "kamu mau ngebangunin Kai sama Albi?"

Sabi terkekeh, ia kembali duduk, memeluk Addie erat.

Dan langit Tangerang, yang penuh bintang malu-malu, menjadi saksi. Bahwa malam itu, dua orang tak lagi hanya saling menemani. Mereka mulai saling memilih.

* * *

Pagi di Jakarta menyambut dengan kesibukan yang tiada henti. Dari jendela gedung kantor yang tinggi, jalanan terlihat seperti urat nadi yang berdenyut tanpa jeda—mobil dan motor saling berebut ruang, sementara langit sedikit tertutup kabut panas yang perlahan naik bersama matahari.

Addie dan Sabi berdiri berdampingan di depan ruang rapat, mengenakan kemeja rapi dan name tag dari perusahaan. Meski penampilan mereka formal, ada sesuatu dalam tatapan yang masih membawa jejak malam di teras rumah Harun, sebuah kehangatan sunyi yang tidak semua orang bisa pahami.

“Siap?” bisik Addie sambil melirik Sabi yang sedang memeriksa catatan di tangannya.

Sabi mengangguk, menatapnya cepat. “Siap. Tapi deg-degan juga, ya. Pertama kalinya kerja bareng kamu dalam satu project.”

Addie terkekeh pelan, suaranya nyaris tertelan bising pendingin ruangan. “Tenang aja. Aku nggak bakal bikin kamu jatuh… kecuali jatuh cinta lagi.”

Sabi mendesah, menahan senyum. “Gombalan sebelum meeting itu dosa nggak sih?”

“Nggak, kan sekarang pacarku sendiri,” balas Addie cepat.

Mereka masuk ke ruang rapat bersama, duduk berdampingan di ujung meja panjang. Di hadapan mereka, klien dari Jakarta sudah siap, beberapa orang dari tim lokal, lengkap dengan proposal dan presentasi yang dibawakan Addie dibahas pagi itu.

Meski suasana profesional menyelimuti ruangan, ada kerjasama diam-diam yang mengalir lancar antara Addie dan Sabi. Kode-kode kecil dalam tatapan, anggukan pelan saat satu sama lain berbicara, dan dukungan diam di bawah meja, entah itu sentuhan lutut yang tak sengaja atau bisikan cepat sebelum menjawab pertanyaan penting.

Saat jam makan siang tiba dan para peserta rapat mulai bubar untuk istirahat, Addie dan Sabi memilih duduk di café kecil di lobi gedung. Suasananya lebih santai, aroma kopi dan suara gelak tawa dari meja lain mengisi ruang-ruang yang tak bisa diisi di ruang rapat tadi.

“Kamu keren tadi,” ujar Addie sambil menyeruput cappuccino-nya.

“Kamu juga. Bagian kamu ngejelasin tentang strategi distribusi digital itu... mulus banget.” Sabi menatap Addie sebentar. “Kayak kita udah kerja bareng bertahun-tahun, ya.”

"Tapi kalau bukan karena kamu yang bikin perkiraan budgetnya, aku nggak akan bisa apa-apa" Addie masih memuji Sabi.

"Iya udah, aku emang yang paling keren disini" ujar Sabi ikut menyeruput americano yang ia pesan.

"As always, also in my heart" balas Addie mengedipkan mata.

"Kamu banyak belajar ya dari aku, gombalnya" ucap Sabi berusaha menahan rasa gemasnya yang ingin memeluk Addie.

Addie menyandarkan punggung, matanya mengamati lalu lintas di luar jendela kaca café. “Mungkin karena kita udah belajar nyesuaiin ritme… bukan cuma dalam kerjaan.”

Sabi terdiam. Tapi tatapannya lembut, dan senyum di ujung bibirnya tak bisa disembunyikan.

“Jakarta keras,” kata Sabi tiba-tiba. “Tapi kalau ada kamu di tengahnya, rasanya jadi lebih bisa dihadapi.”

Addie tersenyum, kali ini lebih lebar. “Dasar nggak mau kalah, gombal”

"Rasanya aku masih pengen disini" ujar Addie lirih.

Sabi mengamati sekeliling cafe. “Tapi cafe ini tutup pas sore, nggak mungkin kamu nginep disini.”

"Bukan itu!!" Addie melempar tissue yang tepat mengenai selangkangan Sabi, "maksudnya aku masih mau lebih lama di Jakarta."

"Kamu ngelempar tepat kena Sabi Junior, kamu pengen ya" ujar Sabi yang justru mengalihkan obrolan ringan itu menjadi obrolan mesum.

"Nggak," jawab Addie sigap, "jangan macem-macem, kita udah janji mau bawa Ibu dan yang lain ikut nginep sama kita di hotel."

"Kan beda kamar" Sabi bersikeras. "Moment bagus buat honeymoon di Jakarta" lirih Sabi berpura-pura kecewa.

"Akting sedihnya dapet banget, Sab. Ya udah deh ... Aku jadi kasian" ujar Addie tertawa terbahak-bahak.

Dan saat pelayan datang membawa dua piring nasi goreng yang mereka pesan, Addie dan Sabi saling menatap sejenak, sebuah momen tenang di tengah kota yang tak pernah tidur. Jakarta mungkin penuh tekanan, tapi bagi mereka berdua, kota ini mulai terasa seperti tempat belajar berjalan berdua.

Dengan pekerjaan sebagai alasan dan rasa sebagai alasan yang lain, mereka perlahan menulis kisahnya, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai dua orang yang sedang belajar merawat sesuatu yang lebih dari sekadar kebersamaan profesional.

* * *

Sore di Jakarta datang perlahan, menurunkan suhu panas yang sedari siang menggantung malas di udara. Langit mengambang dalam nuansa oranye keemasan, menyinari bangunan tinggi yang mengelilingi kawasan hotel bintang lima itu dengan pantulan cahaya yang nyaris magis. Kolam renang terletak di lantai lima, bagian terbuka dari rooftop garden yang ditata rapi dengan pohon-pohon palem kecil dan bunga kamboja dalam pot beton. Air kolam berwarna biru jernih memantulkan cahaya senja, menciptakan gerakan cahaya yang menari di dinding putih dan ubin marmer di sekitarnya.

Beberapa kursi malas berjejer menghadap kolam, dilengkapi payung besar berwarna krem. Aroma lembut klorin bercampur dengan wangi daun basah dan lotion matahari. Angin sore berembus ringan, membawa suara tawa anak-anak dan gemericik air. Di sudut kanan kolam, ada bagian dangkal dengan air hangat, tempat anak-anak bisa bermain dengan aman, dilengkapi perosotan mini berwarna cerah.

Di sanalah Sabi dan Addie berada, duduk di kursi malas beralaskan kain putih, tanpa sepatu, kaki menyentuh air sambil mengawasi Kai dan Albi yang sibuk berlomba menyelam. Addie mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek kain, rambutnya sedikit acak diterpa angin. Sabi mengenakan hoodie tipis abu-abu dengan celana chino santai. Mereka tampak rileks, dikelilingi tawa bocah dan kelembutan cahaya sore yang menyelimuti dunia seolah tak ada beban.

“Aku baru sadar,” gumam Addie sambil menatap matahari yang mulai turun perlahan di balik gedung-gedung, “...kalau bahagia bisa sesederhana ini. Liat anak-anak ketawa, dan duduk di sebelah kamu.”

Sabi tersenyum kecil, matanya tak lepas dari dua bocah kecil yang kini sibuk berlomba menyelam di kolam dangkal. “Iya. Kadang kita terlalu sibuk ngejar sesuatu yang jauh, sampai lupa... ternyata yang bikin tenang itu deket banget.”

“Termasuk kamu?” tanya Addie sambil melirik cepat, nakal.

“Termasuk kamu,” jawab Sabi cepat, tak kalah nakal.

"Om, lihat nih, aku bisa ngambang!!" Albi memamerkan aksinya pada Sabi dan Addie.

Di kejauhan, suara kendaraan dari jalan raya hanya terdengar samar, tertahan oleh dinding tinggi hotel. Yang tersisa di telinga hanyalah ketenangan dan percakapan ringan antara dua orang dewasa yang mulai merasa nyaman menjadi rumah bagi satu sama lain.

Namun, seperti gelombang kecil yang memecah air tenang, suara yang datang dari belakang mengubah segalanya.

“Mas Sabi?”

Sabi menoleh. Dalam satu detik, waktu terasa mengental. Seorang pria berdiri di dekat sisi kolam, berpakaian kasual, mengenakan polo biru laut dan celana pendek. Di tangan kirinya, seorang anak perempuan  menggenggam erat jarinya, sementara di sisi kanan, seorang wanita berdiri dengan senyum sopan dan sikap tenang.

Mario.

Dan bersamanya, keluarga kecil yang tak pernah ada dalam rencana hidup Sabi, namun kini nyata di hadapannya.

Mata Sabi membeku sejenak. Angin terasa berhenti bertiup. Percikan air, tawa anak-anak, bahkan denyut jantungnya sendiri seakan tertelan oleh hening yang mendadak menggantung di antara mereka. Tapi Addie, yang duduk di sebelahnya, langsung tahu. Ia membaca perubahan ekspresi itu seperti peta lama yang pernah disentuh berulang kali.

Sabi menegakkan badan. Ia bangkit perlahan, menyembunyikan getar yang belum selesai di dalam dada. Namun suaranya tetap tenang, matang seperti seseorang yang sudah memilih berdamai dengan dirinya sendiri.

“Mario….” gumam Sabi, mencoba mengulur senyum kecil. “Nggak nyangka ketemu di sini.”

"Kebetulan ya" sahut Mario, "Mas Sabi ngapain disini? nginep disini juga?"

"Anu .... " Sabi gugup, "iya .. lagi nemenin ponakan, berenang."

"Kebetulan, gua juga nginep disini, mas. Ini lagi nemenin anak mau berenang" ujar Mario memberikan anaknya pada gendongan istrinya, "mama temenin cica dulu ya, papa ada urusan sebentar sama Mas Sabi, temennya David yang waktu nikahan itu lhoo."

"Oh iya, aku baru inget" Seira menggendong anaknya, "pantes aku berusaha inget, kayak pernah liat dimana gitu."

"Tapi Cica mau berenang sama papa" gadis kecil di gendongan Seira memekik.

"Iya, nanti Cica berenang sama papa, ya" Seira berusaha menenangkan dengan lembut, "papa lagi ada urusan sama temennya."

Mario tersenyum kaku, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa ditutup rapat oleh formalitas. Ada genangan halus di sana—bukan air mata, tapi kenangan yang masih hangat. Wanita di sampingnya mengangguk sopan pada Sabi,  seolah tahu ini bukan percakapan yang ia harus ikuti. Mereka berjalan pelan menjauh, memberi ruang pada Sabi dan Mario.

"Bisa ngobrol bentar mas, berdua" ujar Mario tersenyum, "ada smoking area disana."

Sabi bimbang, ia melirik Addie yang masih duduk di tepi kolam, mata Addie masih awas menjaga Kai dan Albi yang sedang asyik bermain air tanpa memperhatikan Sabi dan Mario yang bertemu kembali.

Sabi mengangguk, ia melangkah berbarengan dengan Mario. Angin sore berembus pelan, membawa aroma air dari kejauhan dan suara tawa keponakan Sabi yang kembali memercik air. Namun dunia Sabi dan Mario terasa terkurung dalam gelembung waktu mereka sendiri. 

“Kamu inget nggak, mas” kata Mario tiba-tiba, lirih. “Kita pernah bilang, kalau takdir yang mempertemukan, baik aku maupun kamu akan saling menghampiri.”

Sabi tersenyum kecil, getir. “Apa iya kita pernah bilang gitu?”

Mario mengangguk, menunduk sebentar. “Aku seneng, akhirnya takdir itu datang lagi.”

Sabi tak menjawab, dilema merasuki tubuhnya. Ia bahkan tak berani mengakui jika dirinya kini berbeda, ia sudah memiliki Addie yang menggantikan Mario sepenuhnya.

"Kamar 1102, Seira sama Cica pulang duluan jam 8 malem ini" ujar Mario tersenyum meninggalkan Sabi sendirian disana.

Setelah Mario pergi menyusul anak dan istrinya, Sabi berdiri membisu sejenak. Senja pun lenyap perlahan, menyisakan langit ungu dan lampu-lampu kolam yang mulai menyala seperti kunang-kunang buatan. Dunia terus berputar. Tapi hati Sabi hari itu, mulai gundah lagi, nyatanya setiap bertemu, tak sepenuhnya hati Sabi siap menutup kenangan masa lalunya.

0 komentar:

Posting Komentar