“Lu belum cerita kenapa lu resign, dan sekarang lu mau kemana?” Erick masih berceloteh, suaranya menyerupai seorang ibu yang tengah menasihati anaknya. Namun di balik gerutunya, tampak ketulusan tak bersyarat ketika Erick membantu Sabi menurunkan koper dari bagasi mobilnya yang terparkir di pelataran Bandara Soekarno-Hatta.
Hari ini, adalah hari Sabi melepas jejak-jejak langkahnya di tanah kelahiran. Di bandara yang ramai ini, Sabi dan Erick bertemu untuk terakhir kalinya. Sahabat yang pernah berbagi atap di negeri seberang, Filipina, kini berdiri di ambang perpisahan.
“Nih,” lirih Sabi, menyodorkan tiket yang diapit erat dalam paspor hijau kesayangannya.
“Singapore?” Erick memicingkan mata, menatap lekat tiket dari maskapai Singapore Airlines yang tersemat di tangan Sabi. “Sejak kapan lu ngelamar kerja di sana?”
“Udah lama,” jawab Sabi, pelan, seraya hendak mengambil alih kopernya, yang baru saja Erick keluarkan.
“Biar gua aja,” ujar Erick, cepat merebut kembali gagang koper itu. “Lu brengsek, nggak cerita.”
“Waktu itu suasana hati lu lagi nggak enak karena mertua lu. Ya kali gua cerita dan seneng-seneng depan lu,” bela Sabi sambil melangkah beriringan menuju terminal 3 keberangkatan.
“Lu emang temen gua paling pengertian, mas,” puji Erick dengan tulus, senyum samar terbit di wajahnya. “Kalo gua tau waktu itu, fix gua bakal iri dan ngelempar lu dari lantai 8 apartemen kita di Manila.”
Sabi terkekeh, tatapannya menelusup dalam ke wajah Erick. Ada perasaan hangat yang menyeruak, bukan hanya persahabatan, melainkan ikatan yang nyaris menyerupai saudara. Tiga tahun telah mereka lalui bersama di negeri orang; suka, duka, tawa, bahkan air mata, mewarnai perjalanan itu. Namun, Erick lebih dulu pulang ke tanah air, meninggalkan Sabi yang baru sekarang menyusul.
“Lu hebat, Mas. Di umur lu yang nggak muda lagi, lu masih aja ngejar cita-cita lu. Sedangkan gua … hidup gua kayak udah mentok di sini aja, pengen gua terbang bebas kayak lu,” lirih Erick, nada suaranya sendu di antara derap langkah kaki yang riuh.
“Segala sesuatu yang kita jalani, nggak ada yang perlu disesali. Lu kenal gua yang sekarang. Coba lu kenal gua yang dulu,” bisik Sabi, matanya menerawang pada bayang-bayang masa lalu. Dirinya yang dulu rapuh, nyaris tak sanggup berdiri, kini menjelma jadi sosok yang mampu melangkah, menata serpihan hidup yang sempat runtuh karena perpisahan dengan Mario.
“Apa yang kurang dari lu, tinggal kurang bini doang lagi,” celetuk Erick, ringan, namun cukup untuk membuat jakun Sabi bergerak menelan kenyataan pahit.
Ah, istri. Batin Sabi berbisik lirih. Seandainya Erick tahu, yang ia rindukan bukanlah seorang istri, melainkan suami dari seorang istri nan cantik: Mario Stevanus. Namun janji telah terucap, janji untuk saling melupakan, untuk membiarkan kenangan larut bersama waktu. Meski telah tiga tahun berteman, Sabi tak pernah sekalipun membuka tabir dirinya di hadapan Erick.
Langkah-langkah mereka terus mengalun, membawa koper, membawa kenangan, menuju gerbang perpisahan yang tak terelakkan.
“Lu emang paling jahat, sumpah,” gerutu Erick, suaranya pelan namun cukup tajam, saat mereka tiba di pintu keberangkatan.
“Iya, maaf,” Sabi melunak, bibirnya mengulas senyum tipis. “Sebenernya gua nggak niat pulang, gua pulang cuma buat resepsi David doang.”
Tak ada jawaban dari Erick. Wajahnya mengerut pelan, diselimuti kecewa yang tak sempat diucapkan.
“Gua janji,” ucap Sabi pelan, jemarinya menggenggam erat gagang koper, “gua bakal pulang lagi, sengaja buat ketemu lu sama bini lu doang.”
Secercah senyum merekah di wajah Erick, seperti matahari yang perlahan menembus awan kelabu.
“Beneran?” sorot mata Erick menangkap dalam-dalam janji Sabi, seakan menggenggamnya di relung hati.
“Anjing!” Sabi menepuk pelan lengan Erick sambil tergelak, “tahun depan gua pulang, udah janji sama Ibu. Kebetulan kakak gua pindah tugas ke Tangerang, jadi bakal deket buat nyamperin lu.”
“Kakak yang mana?” tanya Erick penasaran, bibirnya mengulas senyum geli. “Kakak lu kan banyak, Mas.”
Erick memang sudah mengenal silsilah keluarga Sabi, meski tak pernah tahu luka-luka lama yang pernah memisahkan Sabi dari mereka. Yang Erick tahu, keluarga Sabi kini adalah rumah yang hangat dan utuh.
“Harun,” jawab Sabi singkat, senyumnya tipis, seakan menyimpan ribuan cerita di balik satu nama.
“Ooh, yang cowok! Baguslah,” Erick berseri-seri, “nanti gua temenin Kak Harun setelah dia jadi warga Tangerang.”
“Ya udah, sampe di sini aja,” ucap Sabi, tangannya perlahan menarik koper dari genggaman Erick. Ia menarik napas pelan, tersenyum, lalu merengkuh sahabatnya itu dalam pelukan hangat yang penuh makna. “Makasih ya, lu udah nganterin gua, Rick.”
“Lu hati-hati di sana,” Erick menatap Sabi serius, “kalo lu butuh bantuan … lu tau kan siapa yang harus lu hubungi.”
“Damkar,” jawab Sabi, cekikikan, seolah ingin mencairkan suasana yang mulai berat.
“Ya, itu bener. Tapi gua yang jadi Damkarnya,” balas Erick sambil menepuk dada, menekankan bahwa dirinya selalu siap direpotkan oleh sahabatnya itu.
Sabi melangkah perlahan, menjauh, sementara Erick masih mematung, memandang punggung sahabatnya yang kian menjauh menuju gerbang perpisahan. Tangan Erick terangkat, melambai, menepis angin yang membawa jejak kepergian Sabi.
“I love you, Mas Sabi!” teriak Erick lantang, membuat beberapa pasang mata menoleh, memandang mereka dengan senyum geli. Erick tertawa lepas, puas berhasil membuat Sabi merona malu di tengah kerumunan.
“Putang ina mo!” balas Sabi sambil mengacungkan jari tengah, tawanya menggema pelan, seperti serpihan kenangan yang akan ia bawa jauh melintasi awan.
* * *
Sabi menarik napas panjang, lalu merebahkan tubuhnya dengan perlahan di atas ranjang apartemen barunya yang masih asing. Di sinilah ia kini berpijak—Singapura, tanah baru yang belum sempat ia kenali, namun akan segera menjadi bagian dari hidupnya. Perjalanan panjang dari tanah air menyisakan lelah di tubuhnya, pegal yang menggigil diam-diam di otot-ototnya. Ingin rasanya dipijat, dimanjakan, namun Sabi belum tahu harus melangkah ke mana—segala yang ada di negeri singa ini masih misteri baginya. Yang ia tahu, saat ini ia berada di sebuah sudut kota bernama Orchard.
Masih dalam posisi berbaring, Sabi meraih ponselnya yang tergeletak di sisi ranjang. Jarinya menyentuh layar, membuka galeri foto. Senyum perlahan merekah di wajahnya saat beberapa gambar Mario muncul—foto-foto yang ia ambil diam-diam saat Mario tertidur dalam pelukannya, dulu, saat cinta masih lekat di dada. Senyum itu bukan lagi tentang rindu, tapi tentang keikhlasan yang mulai tumbuh. Dengan hati yang mantap, satu per satu foto itu ia hapus. Sabi ingin menepati janjinya—janji pada diri sendiri, dan pada Mario—untuk berhenti berharap, untuk membuka pintu hatinya yang baru.
Sesaat lamunan itu beralih, pikirannya mulai menjelajah ke hal lain. Terbesit ide nakal dalam benaknya: mendownload aplikasi kencan. Ia masih ragu, masih menimbang-nimbang, aplikasi macam apa yang harus ia pilih—apakah yang dikhususkan untuk lawan jenis, atau justru untuk sesama jenis. Tapi otaknya yang jenaka menggoda, “Kayaknya cowok Singapore lucu-lucu juga, coba aja kali ya.”
Tak lama, aplikasi bernama Grindr berhasil diunduh. Tanpa banyak ragu, Sabi memasang foto dirinya, foto asli yang ia ambil saat berlibur ke Thailand—tidak sensual, tidak mencolok, hanya dirinya dalam bentuk yang paling sederhana. Ia memilih untuk tidak mengisi kolom biodata, sebab menurutnya, kata-kata hanya membuat segalanya terasa terlalu panjang, terlalu bertele-tele.
Jari-jarinya mulai menjelajah. Ia menelusuri profil demi profil, sebagian besar menampilkan tubuh-tubuh yang dipamerkan dengan gaya menggoda, dengan kepercayaan diri yang tak dimiliki Sabi.
“Lucu nih. Ini juga lucu,” gumamnya pelan, sambil terus menggeser layar. Namun meski berkali-kali menyebut lucu, tak satu pun membuatnya benar-benar ingin mengetik, menyapa, atau memulai sesuatu.
Sampai akhirnya … layar tak lagi bisa digeser.
“Ya elah, brengsek. Harus bayar segala,” umpat Sabi sambil memanyunkan bibirnya, kecewa karena tak bisa lagi melihat profil pengguna lain tanpa membayar.
Sabi meletakkan ponselnya di samping bantal, menghela napas pelan seperti ingin meniup jauh segala kekosongan yang menggelayut di dadanya. Malam telah turun sepenuhnya di Orchard, namun lampu-lampu kota masih menyala terang, seakan tak memberi ruang bagi gelap untuk menguasai. Dari jendela kamarnya yang terbuka sedikit, suara deru kendaraan dan nyanyian kota asing itu masuk perlahan, menjadi pengingat bahwa ia kini benar-benar sendirian.
Ia memejamkan mata, mencoba mencerna semuanya—keputusan untuk pergi, untuk memulai dari awal, dan untuk berani melepaskan bayangan Mario yang selama ini mengikat langkahnya.
Malam itu, tanpa disadari, matanya basah. Bukan karena penyesalan, tapi karena keberanian yang tak mudah—keberanian untuk melupakan, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri sepenuhnya.
“Gua harus bahagia,” bisiknya nyaris tak terdengar, seolah mantra untuk menenangkan diri.
Pagi menyambut dengan angin hangat dari ventilasi kecil di kamar itu. Sabi terbangun dengan mata sedikit sembab, tapi senyum terbit di wajahnya. Hari pertama di Singapura akan segera dimulai, dan entah kenapa, ada getar kecil dalam dadanya—campuran antara gugup, penasaran, dan harapan.
Setelah mandi singkat dan meneguk kopi instan yang ia temukan di laci dapur apartemen, Sabi membuka laptopnya. Ia mulai mencari tempat kerja yang akan ia datangi lusa—mencatat alamat, jalur MRT, jalur Bus dan berapa menit waktu tempuh dari apartemen ke kantor.
Namun, sebelum ia menutup laptop, jemarinya mengetik sesuatu di tab baru:
Massage & spa near Orchard Road, Singapore.
“Siapa tahu ada diskon buat orang galau,” katanya sambil terkekeh pelan.
Beberapa hasil pencarian muncul, dan salah satunya menarik perhatiannya—tempat kecil, bernuansa kayu dengan interior hangat dan ulasan pelanggan yang menyebut suasananya “tenang, seperti pelukan masa lalu yang tidak lagi menyakitkan.”
“Kayaknya oke juga,” gumamnya.
Sabi mengambil ponselnya kembali, membuka aplikasi Grindr sekilas. Notifikasi belum ada. Ia tersenyum kecil, lalu mematikan aplikasinya.
Hari itu ia memilih berjalan kaki menyusuri Orchard, membiarkan langkahnya mengenal aspal yang baru, gedung-gedung tinggi yang belum menyapanya, dan wangi udara yang belum sempat ia eja. Ia menyapa setiap penjaja kopi, setiap kursi taman, dan setiap bayangannya yang terpantul di kaca toko—seolah sedang memperkenalkan Sabi yang baru, yang kini sedang belajar untuk hidup sekali lagi.
Pintu kaca terbuka dengan desis pelan saat Sabi melangkah masuk ke dalam ruangan spa yang remang dan hangat. Aroma eucalyptus dan chamomile menyambutnya, seperti sapaan diam dari tempat asing yang ingin memberi pelipur. Di balik meja resepsionis berdiri seorang wanita muda berseragam krem elegan, wajahnya teduh dan profesional, dengan senyum yang menyiratkan keramahan khas tempat berkelas.
“Good afternoon, sir. Do you have a booking today?” tanyanya dengan suara tenang, nyaris seirama dengan musik instrumental yang mengalun dari speaker tersembunyi.
Sabi membalas dengan percaya diri, suaranya rendah tapi jernih.
“Good afternoon. No booking—I was just passing by and thought I’d try your massage service. It’s been a long flight and my back is killing me.”
Wanita itu mengangguk sambil mengetik cepat di layar komputernya.
“We can fit you in within the next 10 minutes, sir. May I know your name and nationality for the record?”
“Sabi. I’m from Indonesia,” jawabnya sambil tersenyum kecil, sopan tapi tak berjarak.
Senyum wanita itu mengembang sedikit.
“Ah, Indonesia! One moment, please.”
Ia menoleh ke arah lorong dan memanggil seseorang dengan suara yang lembut namun tegas.
“Addie, we have a walk-in guest. He’s Indonesian—can you take this one?”
Langkah kaki terdengar semakin dekat. Dari ujung lorong, muncul seorang pria tinggi dengan kulit cokelat bersih dan senyum hangat yang tak dibuat-buat. Matanya menyapu wajah Sabi dengan tenang, lalu berhenti sebentar di sana—seolah ada sesuatu yang terasa familiar, meski mereka belum pernah saling mengenal.
Addie menyodorkan tangan dengan gestur yang ringan dan bersahabat.
“Hi, I’m Addie. Welcome.”
Sabi menyambut uluran tangan itu, lalu menjawab dengan nada yang lembut, “Sabi. Thanks for taking me in.”
“Pleasure’s mine. A fellow Indonesian, huh?” Addie mengangkat alis sedikit, nada suaranya santai dan menyenangkan.
“Yeah. Just arrived yesterday. Still figuring out Orchard and everything else,” jawab Sabi sambil tersenyum.
Addie mengangguk sambil mempersilakan Sabi mengikuti langkahnya melewati lorong remang menuju salah satu ruang terapi.
“Then let me help you settle in a bit. We’ll start with a basic deep-tissue, unless there’s something specific you need?”
Sabi menjawab ringan, “Just trust your hands.”
Satu kalimat yang membuat Addie menoleh sebentar, tak berkata apa-apa, hanya tersenyum kecil—senyum yang mungkin tak semua orang bisa artikan, kecuali mereka yang pernah merasa betapa pentingnya disentuh bukan hanya dengan tangan, tapi dengan pengertian.
Lampu dalam ruangan terapi itu temaram, nyaris keemasan. Wangi lavender menggantung di udara, menenangkan. Di sudut ruangan, suara air mengalir dari miniatur air mancur membawa kesan alam ke dalam ruangan modern itu. Sabi berbaring tengkurap di atas ranjang pijat, tubuhnya dilapisi handuk tipis yang menghangat, sementara Addie tengah mempersiapkan minyak di tangannya.
“Do you feel comfortable?” tanya Addie lembut, nadanya nyaris seperti bisikan.
Sabi hanya mengangguk pelan, matanya terpejam, mencoba melepaskan beban yang tertinggal dari perjalanan panjang dan masa lalu yang masih membayang.
Sentuhan pertama Addie seperti aliran air hangat yang menyusup ke dalam otot-otot yang tegang. Jemarinya tak hanya memijat, tapi seolah mengerti ritme kelelahan seseorang. Hening yang tercipta bukan sunyi—melainkan ruang yang memungkinkan keduanya mendengar isi pikirannya sendiri.
Beberapa menit berlalu dalam kesenyapan yang tak janggal, hingga Addie akhirnya berkata, pelan dan tenang, “Sebenernya, aku juga dari Indonesia.”
Sabi membuka matanya perlahan, masih menatap lantai dari sela lubang wajah di ranjang pijat. Ada jeda, sebelum ia membalas, “Aku sempat curiga dari logat Inggris kamu. Tapi kamu menyebut namamu dengan sangat netral tadi. Dari nametag kamu harusnya dipanggil Eddi tapi kamu kedengeran nyebut Adi.”
Adi terkekeh pelan, “Sengaja. Terkadang aku butuh ruang di mana aku bisa jadi siapa saja.”
“Dan kadang justru ingin ditemukan oleh yang tahu dari mana kita berasal,” balas Sabi tanpa sadar, kata-katanya mengalir, nyaris seperti refleksi batin.
Adi tidak menjawab. Tapi pijatannya melambat, lebih dalam, seperti ada yang bergeser—dari profesional menjadi personal, dari rutinitas menjadi pertemuan dua keheningan yang saling bicara.
Tangan Adi bergerak ke bahu Sabi, lalu ke lengannya, lalu berhenti sebentar di sana, menggenggam sedikit lebih lama dari yang seharusnya.
“Kayaknya kamu bukan cuma capek badan,” ujar Adi lirih, nadanya seperti ingin menyelami, bukan menanyakan.
Sabi menghela napas panjang, tapi tak menjawab. Lalu ia berkata, nyaris seperti gumaman, “Kadang kita datang ke tempat seperti ini bukan cuma untuk rileks. Tapi buat merasa... dipegang. Dipahami.”
Adi tak menyela. Ia hanya berdiri diam, tangannya masih hangat di kulit Sabi, lalu berkata dengan suara yang nyaris tak terdengar, “Aku ngerti.”
Suasana di ruangan terapi itu seakan berubah menjadi milik mereka berdua—sunyi, tapi penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Setiap gerakan tangan Adi seakan menghubungkan Sabi dengan sesuatu yang lebih dalam, yang lebih lama terkubur dalam dirinya. Pijatan yang dimulai dengan profesional, perlahan menjadi lebih hati-hati, lebih penuh perhatian. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar otot-otot yang dipijat, seperti jiwa mereka saling bersentuhan tanpa sengaja.
Sabi merasakan hangatnya minyak yang meresap ke kulitnya, memberi rasa lega pada setiap tekanan yang terasa begitu akrab di bahunya, namun ada hal lain yang mulai terasa—suatu getaran halus yang mengalir melalui aliran darahnya, menggugah sesuatu yang selama ini terkubur dalam kedalaman hati.
Adi melanjutkan pijatan di sepanjang punggung Sabi, jarinya yang lentur dan terampil menyusuri otot-otot yang tegang. Setiap gerakan terasa begitu lembut, namun penuh dengan ketelitian, seakan tahu persis di mana titik-titik kelembutan itu tersembunyi.
“Relax, Sabi. Let yourself go,” suara Adi begitu dalam, seperti melodi yang menenangkan meski ada rasa lain yang timbul dari dalamnya.
Sabi menutup matanya, mendengarkan suara itu, meresapi sentuhan yang terasa begitu pribadi—lebih dari sekadar relaksasi fisik. Ada kedekatan yang sulit dijelaskan, seolah tubuh mereka berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh kedua jiwa yang tengah bersinggungan di ruang kecil itu. Setiap tekanan yang diberikan Adi semakin dalam, namun seiring itu pula ada perasaan lain yang mulai menggetarkan—sesuatu yang menyentuh sisi yang lebih sensitif dari dirinya, tapi tak sepenuhnya bisa ia pahami.
Jari-jari Adi melintasi kulitnya dengan lebih perlahan, dengan perhatian yang membuat Sabi merasa seperti ia adalah satu-satunya orang di dunia ini yang sedang diperlakukan dengan begitu istimewa. Rasanya seperti dunia mereka menyempit menjadi ruang itu, tak ada yang lebih penting selain setiap sentuhan, setiap helaan napas yang tercipta.
Adi kemudian berhenti sejenak, tangan besar itu bertumpu pada punggung Sabi, menekan perlahan di sepanjang tulang belakangnya. Hanya ada suara napas mereka yang saling bersaing dalam keheningan itu.
“Feeling okay?” tanya Adi, suaranya sedikit lebih dalam dari sebelumnya, tapi tidak terburu-buru. Ada ketenangan dalam kata-katanya yang membuat Sabi seakan ingin terus berada dalam momen ini, dalam ruang kecil yang penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan.
Sabi mengangguk perlahan, tetapi ada sesuatu yang ia rasa semakin menguat—perasaan yang melambung di dalam dirinya. Ia tak tahu apakah ini hanya karena rasa lelah yang mengaburkan pengertiannya atau apakah ada sesuatu yang lebih dalam yang tengah terjadi di antara mereka berdua. Namun satu hal yang pasti, detik-detik itu terasa begitu intens, seakan waktu melambat begitu mereka berada dalam keheningan ini.
Adi terus melanjutkan pijatannya, namun gerakannya semakin berhati-hati, semakin dalam. Tangan Adi meluncur dengan lebih lembut, menyusuri setiap lekuk tubuh Sabi dengan penuh perhatian. Tidak ada kata-kata yang lebih dibutuhkan. Hanya keheningan yang mengalir begitu dalam, begitu penuh makna.
Setiap jari yang menekan, setiap genggaman yang seakan berbicara tanpa kata-kata, terasa seperti percakapan yang lebih pribadi antara keduanya. Sabi merasa dirinya tertarik ke dalam dunia ini, dunia yang hanya terdiri dari suara napas dan sentuhan yang tidak bisa dijelaskan.
''Berbalik, Sab" titah Adi saat pijatan di bagian belakang Sabi sudah selesai.
"Sorry" ucap Sabi saat ia menyadari tak hanya bulu kuduknya yang berdiri, namun ada sesuatu yang mendesak ikut berdiri di bawah sana.
Sejak tadi Sabi memang ereksi merasakan pijatan lembut nan sensual dari Adi yang tak sengaja menyentuh area sensitifnya.
Adi tersenyum, "Never mind, aku bisa lakuin lebih kalau kamu mau?''
Sabi ikut tersenyum saat Adi berkata seperti menggodanya, walaupun Adi termasuk tipikal lelaki yang menurut Sabi berparas tampan dan menarik, namun Sabi tahu betul pekerjaan yang dilakukan Adi. Ada harga yang harus dibayar Sabi jika saja Sabi mengiyakan permintaan Adi.
"I don't have a lot of money" ucap Sabi memejamkan matanya, tak ingin membuang uang hanya untuk melakukan hal yang memang sangat ingin Sabi lakukan.
"I don't need your money" ujar Adi mulai berani menyentuh titik paling sensitif di tubuh Sabi.
0 komentar:
Posting Komentar