Rabu, 07 Mei 2025

Bokong Yang Kusuka Part 20

Setahun kemudian

Bern, Swiss, April 2018.

Yusuf tiba di Bern ketika musim semi sedang menari-nari indah di setiap sudut kota. Bunga-bunga bermekaran, aroma tanah yang menghangat menguar pelan, tapi hati Yusuf terasa beku, berat oleh rindu yang sudah lama tak bersuara. Dengan alamat yang diberikan Andrew, ia berdiri di depan sebuah rumah singgah di pusat kota, menatap pintu kayu itu seakan menatap gerbang takdir. Tangannya gemetar saat menekan bel, dan ketika pintu terbuka, dunia seolah runtuh dalam tatapan nanar seorang wanita yang begitu dikenalnya.

“Ngapain lagi kamu ke sini! Kamu mau bikin saya mati!!” bentak Mama, suaranya meledak, mengiris-iris udara dengan kemarahan yang tak mampu disembunyikan.

“Siapa, Ma?” terdengar suara dari dalam—suara yang begitu Yusuf rindukan, yang selama ini hanya hidup di kepalanya, di dalam mimpi-mimpinya yang tak pernah pudar.

Mata Yusuf dan Mario bertemu. Dunia berhenti. Tak ada kata, hanya sepasang mata yang berbicara dengan bahasa luka dan rindu. Bibir Mario bergetar, hatinya gemetar, begitu getir saat satu kata lirih terlepas, “Mas…”

“Ma, Mama istirahat ya… nanti Mama kambuh lagi. Besok jadwal kita ke dokter. Rio janji, Rio akan urus semuanya…” suara Mario berusaha menenangkan, tangannya menuntun Mama kembali ke kamar. Tapi matanya, hanya untuk Yusuf—tak lepas, tak berkedip, penuh luka yang tak pernah sembuh.

Sejurus kemudian, Mario kembali. Tak ada kata. Tak ada kalimat panjang. Hanya pelukan, hanya bibir yang saling berpagut, hanya dua hati yang akhirnya bicara lewat diam mereka. Dunia di luar hancur, tapi di antara mereka, waktu seolah membeku.

“Mas kangen sama kamu… maafin mas…” bisik Yusuf lirih, suaranya pecah, separuh menangis.

“Kenapa, Mas… baru nemuin aku?” suara Mario serak, penuh getar, penuh sesal yang tak mampu ditahan.

“Maafin mas…” hanya itu yang sanggup Yusuf ucapkan. Ia tak menceritakan bagaimana ia mencari ke Manado, bagaimana ia bertanya pada langit malam setiap malam, bagaimana Andrew akhirnya menemukan jejak itu—melalui satu foto kecil di media sosial, takdir yang setengah iseng akhirnya mempertemukan mereka lagi.

Tapi kebahagiaan itu rapuh.

“Maafin aku juga, Mas… tapi aku mohon, Mas pulang. Kita harus lupain tentang kita berdua. Kita… kita nggak seharusnya mementingkan ego. Kalau kita terusin ini… yang bahagia cuma kita. Tapi berapa banyak hati yang kita sakiti, Mas? Aku mohon, Mas… jangan temui aku lagi. Aku nggak sanggup liat Mama makin tersiksa. Aku janji, Mas… nggak akan ada laki-laki lain di hatiku. Setelah ini, aku akan coba mencintai perempuan. Aku mohon, Mas juga lakuin itu… lupain kita…”

“Nggak bisa, Yo… Mas cinta sama kamu… bahkan sampai detik ini… Mas nyari kamu, tapi selalu gagal. Kali ini, Mas nggak mau sia-sia… Mas mohon, Yo… ikut sama Mas… Mas mohon…” Yusuf mengiba, suaranya pecah di ujung harap.

Mario menggeleng pelan, air mata menggantung di sudut matanya. “Nggak bisa, Mas… maaf… aku nggak mau nyakitin perasaan orang banyak cuma demi kebahagiaan kita. Aku nggak bisa, Mas. Pergilah… jangan dateng lagi…”

“Mas nggak akan pergi! Mas mau kita nikah! Ikut Mas kabur dari sini!” tangan Yusuf menggenggam tangan Mario, erat, seakan ingin menyelamatkannya dari dunia yang begitu kejam.

Mario menepis pelan, hatinya hancur saat berkata, “Pergi, Mas!” suaranya lantang, tapi hatinya nyaris roboh. “Jangan bodoh, Mas… jangan cuma ngutamain logika… pikirin juga semuanya pake hati… kamu tega ngeliat orang-orang menderita demi kita? Aku nggak mau, Mas… aku nggak bisa…”

“Yo… kamu janji sama Mas… kamu akan ikut Mas, apapun yang terjadi. Mas datang untuk kamu… Mas rela kehilangan keluarga Mas demi kamu… apa salahnya kita cari bahagia kita sendiri… tanpa harus peduli orang lain…” suara Yusuf lirih, tapi penuh getaran emosi.

“Mas… lupain kita… kita nggak bisa bersama lagi… perasaan kita… nggak lebih penting dari keluarga kita… jangan maksa, Mas… jangan egois…” suara Mario nyaris patah. “Maaf… aku lebih milih kesehatan Mama… dan nama baik keluarga…”

Yusuf mematung. Matanya menatap dalam, sebelum akhirnya bibirnya bergerak pelan, “Baiklah… kalau itu yang kamu mau… aku akan pergi.” Napasnya berat, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih… untuk kebahagiaan yang pernah kamu kasih. Kalau kamu mau kita lupain semua ini… aku akan ngelupain kamu. Makasih, Yo… kamu berhasil bikin aku cinta terlalu dalam… tapi kamu nggak bertanggung jawab atas keberhasilanmu…”

“Pergilah, Mas…” suara Mario pecah, air matanya jatuh tak tertahan.

“Aku akan pergi… selamanya dari hidupmu. Yo… aku nggak pernah nyesel mencintaimu. Semoga kamu bahagia… tapi nggak sebahagia kamu saat sama aku… terima kasih…”

Yusuf berbalik, langkahnya berat, dadanya nyeri seakan ribuan jarum menusuk sekaligus. Ia tak menoleh. Di baliknya, rumah itu perlahan menelan kembali cinta yang tak sampai, dan langit musim semi di atas Bern jadi saksi hati yang remuk.

Malam itu, Yusuf menyeret langkahnya ke sebuah klub malam. Alkohol jadi pelarian, mabuk jadi pengganti pelukan. Di tengah dentuman musik, Yusuf hanyut dalam obrolan setengah sadar dengan seorang pria bule. Takdir malam itu berakhir di ranjang hotel, di mana Yusuf menumpahkan amarah, dendam, dan kesedihan dalam pelukan asing, di tengah pergulatan yang liar dan kosong.

“Bisakah aku bergantian mencicipi bokongmu?” tanya laki-laki bule itu pelan.

“Tidak… aku tidak menyukai itu,” jawab Yusuf tegas, suaranya dingin—dingin seperti hatinya yang malam itu, untuk pertama kalinya, terasa benar-benar kosong.


* * *

Desember 2020.

Di ujung malam yang perlahan luruh, kokok ayam jantan memecah sunyi, menggiring Yusuf bangkit dari lelapnya. Kicauan burung berkejaran di udara, melantunkan simfoni pagi yang membasuh hati. Dengan gerakan pelan, Yusuf membuka jendela kayu kamarnya, membiarkan udara pagi yang segar menyusup ke paru-parunya, menyingkirkan debu-dua kelam di dalam dada. Anak-anak ayam berlarian riang, kambing-kambing mengembik seolah ikut menyapa, dan senyum tipis mengembang di wajah Yusuf — senyum yang lama terkubur di balik reruntuhan luka.

Di tengah keheningan itu, Yusuf berdamai dengan masa lalunya. Duka yang dulu mengekang, kini ia lipat rapi, menyimpannya di sudut terdalam. Tak ada guna terperangkap dalam bayang, pikirnya — hidup harus berjalan, walau langkah tertatih.

Tiba-tiba, dering ponsel memecah kesunyian, bersenandung lirih seolah membawa kabar dari dunia lama. Yusuf melirik layar dan tersenyum — nama Yogi, sahabat lamanya, muncul di sana.

“Halo, pelerr, gimana kabar?” suara Yusuf mengalir, diselingi tawa kecil yang tulus.

“Baik, gue udah dapetin hak asuh anak. Lama-lama gue butuh anak juga nih sama Andrew. Lu gimana, bro?”

“Better lah, walaupun… ya lu tau sendiri,” jawab Yusuf pelan, seolah ada awan kelabu yang menutupi ceritanya.

“Bukannya sebelum pandemi lu ke Bern? Itu alamat dari Andrew bener nggak?”

“Iya, bener… gue udah ketemu Mario.”

“Terus…?”

“Dia tinggal sama nyokapnya di sana. Nyokapnya sakit jantung, parah. Kita sepakat buat saling lupain. Udahlah, jalannya emang begini…”

“Sekarang lu di mana? Beneran resign?”

“Iya, gue resign. Gue di Palembang sekarang, di kebun om gue, pedalaman banget. Dari kota Palembang delapan sampai sembilan jam, dari kota kabupaten dua jam lagi. Untungnya internet dan listrik masuk, jadi gue sambil nunggu pondok om gue selesai, bantu-bantu sepupu di kebun, sama ngurus bisnis olshop gue bareng Samuel.”

“Maksudnya gimana tuh?”

“Gue sama Sam bisnis clothingan, modal dari gue hasil oper kredit apartemen. Sam yang jalanin, duitnya tetep masuk ke rekening gue.”

“Sam resign juga? Apartemen lu dijual?”

“Iya… nggak lama abis gue resign. Lagian kan pandemi ini nggak kelar-kelar.”

“Lu nikah aja sama Sam, ler! Hahaha.”

“Tolol, kalo nikah gue maunya sama Mario. Kalo nggak sama Mario, gue nggak mau lagi jatuh cinta.”

“Tapi kalo kangen… lu tau lah…”

“Ya nggak tau juga. Kalo cuma fun, bolehlah. Tapi pake perasaan lagi? Capek hati, bro.”

“Lu nggak bete di kampung? Nggak mau nikah?”

“Nyaman nggak nyaman ya dibikin nyaman. Namanya juga kabur, keluarga gue nggak tau gue di sini. Sekalipun mereka ke kampung, nggak bakal ketemu. Gue jauh di kebon. Nikah? Entar aja, kalo rasa ke cowok udah bener-bener ilang.”

“Lu kan bisa bisex, nikah sama cewek, terus… ya tau lah.”

“Si tolol!”

“Cewek kampung gimana? Masih suka cewek kan?”

“Liat cewek cakep, masih doyan. Cowok cakep juga doyan. Tapi di kampung nggak ada yang menarik, ler.”

“Bete banget pasti.”

“Nggak juga. Gue nulis cerita buat ngilangin bete, nuangin khayalan.”

“Nulis di mana?”

“Di aplikasi baca-tulis gitu lah. Ada Webnvel, ada Wattpd.”

“Baru denger gue.”

“Gue juga baru tau. Dulu kerja mulu, nggak sempet.”

“Lu nulis cerita apaan?”

“Tadinya mau nulis soal gue sama Bella, Dina, Amanda, Resti, Silvy, Juwita. Eh, yang keluar malah cerita gay. Ya sekalian, udah lama nggak curhat.”

“Yaudah, cerita gay aja, ler. Jarang tuh, cerita hetero kebanyakan. Sukses dah! Nanti gue telpon lagi.”

“Oke, abis pandemi gue kesana deh. Mau bikin cerita dulu.”

“Siap! Ntar gue kenalin ama cowok Belanda, boti di sini lebih… pinky, ler!”

“Ngehek! Yaudah, sukses buat lu ya, salam buat Andrew.”

Malam itu, Yusuf mengeluarkan laptop dari laci, benda kecil yang menyimpan dunia lain tempat ia menumpahkan segalanya. Dengan jari-jari gemetar, ia mengetik password: MAUYAAJA. Sebuah dunia maya terbuka — akun bernama Youshouldbe22 menanti. Dan hari itu pun menjadi saksi: di antara bisikan daun dan nyanyian jangkrik, Yusuf mulai menulis, tentang teman-temannya, kenalannya, dan akhirnya… tentang dirinya sendiri. Sebuah cerita yang lahir dari luka, tapi juga dari keberanian untuk terus hidup.


0 komentar:

Posting Komentar