Pagi itu, suasana di kantor terasa lebih berat dari biasanya. Sabi duduk di mejanya, matanya kehilangan fokus, seperti jiwanya terjebak dalam bayang-bayang malam yang belum selesai. Layar komputer di depannya hanya menjadi latar kosong, sementara pikirannya melayang jauh, menghantui setiap detik yang berlalu.
Kemudian, suara langkah kaki yang begitu familiar memecah kesunyian. Sabi menoleh, dan di ambang pintu, berdiri Addie, wajahnya dipenuhi ekspresi yang hati-hati, penuh perasaan yang tak terucap. Tak ada kata yang keluar dari mulut Sabi, hanya tatapan yang menyiratkan ketegangan dan kebingungan, seolah ada suatu perasaan yang menggantung di antara mereka.
"Aku mau minta maaf," suara Addie terdengar begitu pelan, namun penuh ketulusan. “Kemarin malam... itu bukan yang aku harapkan. Aku... aku nggak mau kita berubah jadi asing lagi."
Sabi menatapnya, matanya berusaha menembus lapisan kebingungan yang ada. Namun, di balik tatapan itu, ada sebuah perasaan yang lebih dalam, yang tak pernah terungkapkan sebelumnya. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, tapi ada di sana, mengalir perlahan di dalam dirinya.
“Kamu nggak perlu minta maaf,” jawab Sabi, suaranya lembut, hampir seperti bisikan angin yang meresap dalam kesunyian. “Aku ngerti."
Addie mengangguk, tatapannya menunjukkan kejujuran yang jarang ia tunjukkan, seperti membuka pintu hatinya dengan penuh kerentanan. “Aku mau kita bisa terus ngobrol, tetap bisa ada satu sama lain. Tanpa ada yang disembunyikan, tanpa ada canggung yang menghalangi.”
Keheningan mengisi ruang di antara mereka, seolah waktu terhenti sesaat. Masing-masing dari mereka tengah memikirkan kata-kata yang tepat untuk menanggapi, merangkai jembatan yang akan menghubungkan mereka kembali. Setelah beberapa detik, Sabi tersenyum, senyum yang tulus, meski masih ada sedikit kebingungannya. Namun, senyum itu penuh harapan, seolah ia percaya bahwa kedekatan mereka bisa dipulihkan dengan hati yang terbuka.
“Kita akan coba,” jawabnya pelan, dengan tatapan yang lebih tenang, lebih dalam. “Sebagai teman. Pelan-pelan, seperti apapun yang perlu kita lewati.”
Addie tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat, memberi ruang bagi Sabi untuk merasa lebih nyaman, lebih aman. “Terima kasih... karena sudah mengerti,” ucapnya dengan lembut, suaranya seperti menyembuhkan segala ketegangan yang sempat mengganggu mereka. Meski hanya satu kalimat, itu seperti jembatan yang menghubungkan dua hati yang sempat terpisah oleh kebingungannya.
Setelah percakapan itu, suasana di kantor mulai kembali seperti biasa, namun ada sesuatu yang tak terungkapkan di antara Sabi dan Addie. Seperti dua jiwa yang saling mengenal tanpa perlu berbicara, mereka berjalan berdampingan dalam keheningan yang penuh makna. Ada ikatan tak terlihat yang semakin hari semakin terasa kuat, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan, meski keduanya masih takut untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan.
Setiap kali Sabi menatap Addie, hatinya bergetar dengan perasaan yang tak pernah ia duga. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan mata, seolah-olah mereka berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh keduanya. Ini bukan lagi sekadar persahabatan; ini adalah sesuatu yang lebih intim, lebih rawan, namun juga lebih tulus.
* * *
Hari demi hari berlalu, dan meskipun mereka berbicara lebih sering, ada kalanya percakapan mereka tak lebih dari sekadar tentang pekerjaan, tentang hal-hal ringan yang tak terlalu penting. Tetapi ketika mata mereka bertemu, ada sesuatu yang lebih berharga dari sekadar kata-kata. Keheningan itu sendiri berbicara lebih banyak daripada apa pun yang sempat terucap.
Pagi itu, Sabi sedang duduk di sebuah kafe kecil dekat kantornya di Singapura, menikmati secangkir kopi yang hangat. Suasana kota yang sibuk terasa sedikit asing baginya, meskipun ia sudah beberapa minggu tinggal di sana. Ia merasa kota ini menawarkan begitu banyak tempat yang belum sempat ia jelajahi, jalan-jalan sempit yang penuh warna, taman-taman yang tersembunyi, dan tentu saja, pemandangan megah yang terkenal di dunia.
Saat itulah, Addie datang menghampirinya, dengan senyum lebar yang selalu membuat Sabi merasa nyaman. "Besok libur kan, nggak lembur?" tanyanya, duduk di meja yang berseberangan dengan Sabi.
"Ya, kebetulan projectku udah selesai" jawab Sabi, matanya tidak bisa disembunyikan dari rasa ingin menatap Addie berlama-lama.
"Gimana kalau besok kita jalan?" tawar Addie dengan penuh semangat. "banyak tempat yang belum kamu lihat. Aku bakal nunjukin tempat-tempat favoritku di sini. Aku yakin kamu akan suka."
Sabi terkejut. "Bukannya besok kamu jadi sang penyembuh pegal-pegal."
Addie hanya tertawa pelan, "Aku udah resign. Ternyata ada yang lebih penting daripada cuma ngejar duit."
"Lagian dulu kan aku kesepian, sekarang nggak lagi" lanjut Addie menyunggingkan senyumnya.
Sabi memandang wajah Addie yang penuh keyakinan, dan akhirnya ia mengangguk. "Oke, aku ikut. Aku emang butuh lebih banyak eksplorasi tentang kota ini."
* * *
Hari itu, langit Singapura bersih seperti kanvas yang baru dibentangkan. Mentari turun perlahan, menyinari jalan-jalan sempit di Tiong Bahru, sebuah kawasan tua yang menyimpan denyut masa lalu, namun tetap berdegup dalam napas kota modern.
Addie berjalan lebih dulu, sesekali menoleh untuk memastikan Sabi mengikutinya. Wajah Sabi tampak terpukau, matanya menjelajahi dinding-dinding art deco yang berjejer anggun seperti puisi diam, tiap sudutnya menyimpan cerita yang belum usai.
“Tempat ini kayak kota kecil dalam mimpi,” ujar Sabi pelan, nyaris seperti gumaman.
Addie tersenyum, senyuman yang tak dibuat-buat. “Dulu aku sering datang ke sini saat hari libur. Rasanya… dunia melambat.”
Mereka menyusuri lorong-lorong toko buku kecil, galeri seni yang tersembunyi di balik tembok putih berlumut, dan kafe yang aroma kopinya seolah mengundang kenangan. Suasana Tiong Bahru membawa mereka pada ketenangan yang tak bisa dibeli oleh waktu, sebuah nostalgia yang lembut, tapi hidup.
Sabi berhenti di depan sebuah toko tua yang menjual barang-barang antik. Ia menyentuh bingkai foto berdebu yang memuat gambar keluarga dari masa silam. Matanya terdiam sejenak, seolah mencoba membaca kisah di balik senyum seseorang yang bahkan tak pernah ia kenal.
“Kamu suka tempat-tempat kayak gini?” tanya Addie, suaranya pelan namun menghangatkan, seperti matahari sore yang menyentuh kulit dengan lembut.
“Karena tempat kayak gini jujur,” jawab Sabi. “Tempatnya nggak menyembunyikan waktu. Menua dengan indah, dan nerima setiap jejak yang tertinggal.”
"Kamu itu seharusnya jadi sastrawan, malah jadi bagian keuangan" ledek Addie tak serius karena mendengar ucapan Sabi yang terlalu puitis di telinganya.
Mereka lalu duduk di bangku kayu di depan sebuah kafe kecil, menyeruput kopi sambil menatap kehidupan yang berjalan pelan di sekeliling mereka. Burung-burung gereja hinggap di kabel-kabel, dan angin membawa wangi roti dari toko sebelah.
“Di tempat ini,” kata Addie pelan, “Aku merasa bisa jadi siapa pun yang aku mau. Tanpa harus menjelaskan apa pun.”
Sabi menoleh. Tatapan mereka bertemu. Dalam diam, ada rasa yang tak terucap. Bukan cinta yang terburu-buru, tapi rasa tenang yang tumbuh seperti akar, pelan, tapi mengikat kuat.
“Mungkin itu alesannya kamu bawa aku ke sini,” bisik Sabi, “karena kamu pengen aku tahu diri kamu lebih dalam… melalui tempat-tempat yang kamu cintai.”
"Kamu terlalu kepedean."
Addie memalingkan wajahnya. Ia menatap ke depan, senyum samar mengambang di sudut bibirnya, seperti seseorang yang akhirnya menemukan seseorang yang bisa duduk bersamanya tanpa harus menjadi orang lain.
Sore perlahan turun, dan cahaya keemasan mulai merayap di dinding bangunan tua. Di antara derap langkah kaki yang perlahan dan aroma kopi yang masih tersisa di cangkir mereka, Sabi dan Addie duduk berdua, tanpa janji, tanpa harapan besar, hanya rasa nyaman yang tak bisa dijelaskan.
Dan mungkin, itu cukup. Karena di Tiong Bahru, yang tua tetap indah, dan yang sederhana terasa sangat berarti.
* * *
Malam perlahan menuruni langit Singapura, mengganti sinar mentari dengan kerlip lampu-lampu jalan yang redup dan bersahaja. Dari Tiong Bahru, mereka berpindah langkah ke Haji Lane, sebuah lorong sempit yang hidup dengan warna, namun malam ini justru menyajikan kesunyian yang indah.
Dinding-dinding mural menyapa mereka dengan riuh warna yang membisu. Seni jalanan menjadi semacam gema bisu dari jiwa-jiwa yang pernah melintas di sana. Jiwa yang patah, jatuh cinta, atau mungkin hanya ingin dikenang.
Addie berjalan sedikit di depan, dan Sabi mengikutinya dalam diam. Tak perlu banyak kata, karena malam itu, kehadiran satu sama lain sudah cukup untuk membuat langkah terasa ringan.
“Tempat ini selalu ngebuat aku ngerasa nggak sendiri,” ucap Addie tiba-tiba, matanya menyapu mural yang menggambarkan wajah-wajah tak dikenal.
Sabi menatapnya dari samping, dan dalam sorot mata Addie ia melihat bukan sekadar keramaian yang pernah dilalui, tapi juga ruang-ruang sunyi dalam hatinya yang belum pernah ia buka di hadapan siapa pun.
“Lucu ya,” kata Sabi pelan. “Di tengah tempat yang penuh warna dan cerita ini, yang paling menenangkan justru adalah diamnya kita.”
Mereka berhenti di depan sebuah toko kecil yang tutup lebih awal malam itu. Di balik kacanya, tergantung lampu kuning pucat yang menyala seperti kenangan lama, sayup, namun tetap hidup. Sedangkan diujung jalan terlihat keramaian namun baik Addie dan Sabi tidak tertarik mendekati keramaian di kafe-kafe itu.
Addie duduk di trotoar, menyandarkan punggungnya ke dinding yang hangat. Sabi ikut duduk di sampingnya. Bahu mereka nyaris bersentuhan, tapi tak ada yang bergerak lebih dekat. Seolah keintiman malam itu hadir bukan dari sentuhan, melainkan dari keberanian untuk saling diam bersama.
“Kamu pernah nggak ngerasa... takut untuk bahagia?” tanya Addie tiba-tiba, suaranya pelan, seperti takut jika pertanyaannya terlalu jujur.
Sabi menoleh perlahan. “Pernah. Karena kadang bahagia datang dengan batas waktu. Kita nggak tahu kapan bahagia itu harus pergi. Dan ... aku nggak siap kehilangan bahagia itu.”
"Kenapa nanya gitu?" tanya Sabi ingin tahu.
"Kamu masih inget waktu itu aku bilang mungkin udah 6 tahunan aku nggak ...."
"Nggak dimasukin" Sabi memotong ucapan Addie.
Addie mengangguk, menunduk sejenak. “Kamu mau denger cerita aku dan alasannya?”
Sabi mengulurkan tangannya pelan, tidak memaksa, hanya membiarkan jarinya menyentuh ujung jari Addie. Sentuhan yang ringan, tapi mengguncangkan.
"Aku sebenernya penasaran dan pengen tau, tapi aku nggak mau ngelanggar privasi kamu" ucap Sabi jujur.
"Lebih dari 6 tahun lalu, aku pernah cinta mati sama orang. Dia yang pertama tahu aku gay. Orang pertama yang bilang kalau aku layak dicintai. Tapi juga orang pertama yang ninggalin aku karena nggak siap memperjuangkan semua itu."
Suasana menjadi sunyi. Angin malam berhembus, mengibas wajah mereka.
“Aku udah berusaha lupain dia,” lanjut Addie, suaranya nyaris berbisik. “Tapi aku juga belum sepenuhnya selesai sama kenangan tentang dia.”
Sabi duduk semakin rapat. Ada rasa yang mengendap di dadanya. Sesuatu antara cemburu dan takut.
“Kamu masih cinta?” tanya Sabi, berani tapi getir.
Addie menggeleng pelan. “Nggak. Tapi kadang... rasa itu ninggalin bentuk. Kayak bekas luka. Nggak nyeri, tapi kita tahu itu pernah ada.”
Sabi menunduk, menatap bangunan lain di seberangnya. “Sama. Aku juga punya bekas luka.”
Sekilas bayangan Mario kembali hadir di pikiran Sabi, namun buru-buru ia menepisnya.
"Jadi ... apa karena ketemu aku, kamu ngerasa flashback ke kenangan hidup kamu sebelumnya?" tanya Sabi fokus pada topik obrolan mereka.
"Sedikit, karena aku harus di posisi itu lagi" jawab Addie termenung.
"Selama ini kamu ngentotin orang, udah nggak pernah dientot lagi."
Addie mendaratkan pukulan pelan di pundak Sabi, "aku lebih suka kamu yang puitis daripada kamu yang vulgar."
Sabi tertawa terbahak-bahak, "iya, maaf. Aku nggak akan ulangi lagi."
"Maaf ya, Sab. Aku nggak bermaksud jual mahal sama kamu. Sebenernya bukan cuma sakit di bagian itu yang jadi alasan aku, tapi ada rasa yang lain yang bikin aku ...."
"Aku udah pernah bilang, nggak perlu buru-buru" Sabi memotong lagi ucapan Addie, seperti tak ingin melihat Addie terlalu meresapi kesedihannya.
Sabi menatap Addie tajam, tak berkedip sedikitpun, "tapi sebetulnya kamu emang beneran mau dientot sama aku?"
"Mulutnya bener-bener" decih Addie pura-pura kesal.
"Terus aku harus pakai bahasa apa?" Sabi memutar otak dengan raut wajah bingung, "oh gini, sebetulnya terowongan casablanca kamu itu beneran mau dimasukin kereta berbiji dua punyaku?"
Tawa Addie pecah begitu saja, meledak dari dadanya seperti gelombang yang tak bisa ditahan. Perutnya sampai meringis kram, namun tawanya terus mengalir, jujur dan lepas. Suara Sabi barusan dengan istilah yang entah dari mana datangnya terlalu lucu untuk dilewatkan begitu saja.
Beberapa pasang mata yang melintas di Haji Lane sempat melirik ke arah mereka, tapi Addie tak peduli. Malam ini, ia hanya ingin menjadi manusia biasa yang bisa tertawa tanpa alasan yang rumit.
“Aku nggak mau jawab, nanti kamu terlalu percaya diri,” katanya sambil mengusap air mata kecil di ujung tawa, lalu berdiri perlahan, membenarkan letak tasnya.
“Yuk, kita lanjut ke tempat favoritku berikutnya,” ucap Addie sambil menoleh ke arah Sabi. Senyum masih tersisa di sudut bibirnya, tapi nada suaranya berubah, lebih dalam. “Kali ini gantian... Aku mau jadi pendengar dari luka-luka yang pernah kamu simpan diam-diam.”
Sabi ikut bangkit, debu tipis dari trotoar menempel di ujung celananya. Ia berdiri sejajar dengan Addie, menatap mata yang tak hanya jernih, tapi juga penuh keberanian untuk menyentuh masa lalu orang lain.
“Yakin?” tanya Sabi pelan, nyaris seperti bisikan yang takut ditelan angin malam. “Kamu benar-benar pengen denger?”
Addie mengangguk, lembut namun pasti. “Nggak akan ada satu pun suara dari hati kamu yang akan aku padamkan. Nggak akan ada satu luka pun yang akan aku lewatkan. Ceritalah… aku akan mendengarnya seperti seseorang yang mencintai keheningan karena tahu di dalamnya ada gema yang menunggu untuk disambut.”
"Kamu lebih cocok jadi sastrawan ketimbang design grafis" sahut Sabi mengulang kata yang pernah Addie lemparkan kepadanya.
Dan malam pun diam, seolah memberi ruang bagi dua hati yang mulai membuka diri. Di antara tembok-tembok yang bercerita lewat warna, di tengah lorong yang biasanya riuh oleh tawa turis, kini hanya ada dua jiwa yang saling memahami: bukan karena janji, tapi karena rasa yang tumbuh dalam tenang.
Haji Lane malam itu tak gemerlap, tapi bagi Sabi dan Addie, lorong itu menjadi saksi bahwa keintiman tak selalu datang dari pelukan, kadang ia tumbuh dari keberanian untuk duduk bersama, dalam diam, dan tetap merasa utuh.
Mereka melangkah lagi, menyusuri lorong sempit yang kini tak lagi sekadar jalur kaki, tapi juga lorong menuju jiwa masing-masing, saling membuka, saling mengizinkan.
* * *
Langkah mereka akhirnya terhenti di sebuah tempat yang seolah bukan milik bumi, Gardens by the Bay, taman futuristik yang menjelma seperti lukisan dari semesta lain. Dari kejauhan, Supertree Grove menjulang, siluetnya memahat langit malam yang mulai gelap, dihiasi cahaya lampu yang perlahan menyala satu per satu, seperti bintang-bintang yang jatuh dari langit dan bersarang di pepohonan besi itu.
Sabi berdiri terpaku, matanya membelalak pelan, seolah ia sedang menatap sebuah mimpi yang tiba-tiba menjadi nyata.
“Ini... tempat favorit kamu?” tanyanya lirih.
Addie mengangguk, berdiri di sampingnya. “Iya. Di sini, aku ngerasa kayak waktu berhenti sebentar. Semua hal berat dalam hidup, pekerjaan, luka, masa lalu, seakan mengecil saat berdiri di bawah pohon-pohon raksasa ini. Seolah kita cuma perlu bernapas... dan saling ada.”
Sabi tak menjawab, hanya membiarkan kata-kata itu mengendap di dalam dadanya. Lampu-lampu berwarna lembut mulai menari di sekitar mereka, menciptakan bayangan halus di wajah Addie. Sabi menoleh, memperhatikan tiap lekuk ekspresi itu, mata yang bersinar, bibir yang tenang, dan napas yang perlahan menyesuaikan ritme alam di sekelilingnya.
“Aku suka tempat ini,” gumam Sabi, “karena di sinilah kamu jadi paling jujur. Bukan karena kata-kata kamu, tapi karena cara kamu.”
Addie menoleh, senyumnya mengembang perlahan. “Kamu merhatiin aku?”
“Lebih dari yang kamu kira,” jawab Sabi pelan, namun nadanya hangat, seperti selimut tipis yang menutup pelan-pelan tubuh yang menggigil.
Mereka berjalan menuju akar-akar cahaya yang menjulur di bawah Supertree, dan ketika pertunjukan cahaya malam dimulai, lampu-lampu berwarna pastel yang menari mengikuti alunan musik klasik. Sabi dan Addie duduk berdampingan di bangku taman. Tak ada jarak yang terlalu dekat, tapi juga tak cukup jauh untuk menyembunyikan degup jantung yang tak biasa.
Addie menyandarkan kepalanya di bahu Sabi, perlahan dan tanpa kata. Tak ada pernyataan, tak ada pengakuan. Tapi dalam gestur sederhana itu, ada rasa yang tumbuh seperti benih yang diam-diam berakar.
Sabi tak berkata apa-apa. Ia hanya menoleh sedikit, memastikan bahwa kepala Addie betul-betul bersandar padanya, lalu menghela napas pelan, napas yang membawa harapan kecil, bahwa mungkin, malam ini adalah awal dari keberanian untuk merasa.
Dan di atas mereka, langit malam menggelap dengan anggun, sementara cahaya buatan menari, seolah menyanyikan lagu yang hanya bisa didengar oleh dua jiwa yang sedang belajar untuk saling menyembuhkan.
Sabi menoleh pelan, memandangi wajah Addie yang diterangi cahaya lembut dari lampu taman. Udara malam menyapu pelan, membawa aroma laut dan bunga yang mengembang di kejauhan. Suaranya keluar lirih, namun hangat—seolah kata-kata itu telah menunggu waktu yang tepat untuk dilahirkan.
“Terima kasih, ya… karena kamu udah bawa aku ke tempat-tempat yang kamu sayang. Dan ternyata… aku juga ikut jatuh cinta di tiap langkahnya.”
Addie menatap Sabi, sejenak tak berkata-kata. Tapi matanya .... mata itu sudah bicara lebih dulu, menyimpan rasa yang tak butuh banyak penjelasan. Malam terasa lebih utuh, karena mereka berdua saling menemukan bukan hanya di tempat-tempat yang indah, tapi juga di keheningan yang saling memahami.
Addie akhirnya bicara, suaranya serak ringan, seperti tawa kecil yang tertahan oleh rasa.
“Ini baru awal. Besok pagi aku mau ajak kamu lagi… ke tempat yang juga punya cerita.”
Sabi menyambut dengan senyum tipis, lalu menggoda pelan, suaranya seperti bisikan daun yang jatuh ke tanah basah.
“Kalau gitu… berarti aku harus nginep di kamar kamu malam ini.”
Addie menahan tawa, memiringkan kepala dengan tatapan penuh selera humor dan kedekatan yang mulai terasa akrab.
“Aku tahu itu cuma alasan manis yang dibungkus nakal. Tapi… aku juga tahu, aku nggak punya alasan yang cukup kuat untuk nolak.”
Mereka tertawa pelan. Bukan karena lelucon semata, tapi karena hati mereka tahu, ada rasa yang tumbuh perlahan, seperti taman yang sedang mekar saat fajar hampir tiba.
0 komentar:
Posting Komentar