Sabi mempercepat langkahnya, langkah yang seolah dikejar oleh bayang-bayang rindu yang tak sanggup lagi ia bendung. Sosok Mario sudah menghilang dari pandangannya, tertelan lorong sepi di lantai itu. Namun hatinya tahu—tak ada ruang lain selain aula dan toilet yang sempat ia datangi tadi. Langkahnya semakin cepat, napasnya semakin berat.
Dan benar, setibanya di toilet, matanya langsung menangkap punggung yang begitu dikenalnya. Mario berdiri di depan wastafel, mencipratkan air ke wajahnya, mencoba menyeka sesuatu yang lebih dari sekadar debu atau lelah: mencoba menyeka gejolak yang tak mampu dia redam. Jemarinya gemetar saat menarik tisu, mengeringkan pipi yang masih basah.
Pandangan mereka bertemu di cermin besar. Dua pasang mata yang saling mengabarkan lebih dari ribuan kata. Mario mematung, tubuhnya kaku, napasnya tertahan. Tisu di tangannya jatuh perlahan, seolah waktu ikut membeku bersama mereka. Wajah kikuk itu tak bisa ia sembunyikan, sama kikuknya dengan wajah Sabi yang kini mencoba menenangkan diri dengan senyum tipis yang malu-malu muncul di bibirnya.
“Hai,” bisik Sabi, lembut, nyaris seperti doa.
Mario buru-buru memungut tisu yang jatuh, membuangnya ke kotak sampah kecil di sampingnya.
“Mas,” jawabnya pelan, anggukan kecil menyertai suara itu, seakan hatinya ikut menunduk.
Mario mencoba mengalihkan pandangan, melangkah pelan, hendak meninggalkan ruang sempit yang kini hanya diisi oleh getaran tak terucap di antara mereka. Namun Sabi lebih cepat, tangan dinginnya menggenggam lengan Mario.
“I need to talk,” ucapnya, menarik Mario dengan paksa masuk ke dalam bilik toilet.
Klik.
Pintu bilik terkunci rapat.
Mario terpojok, punggungnya menyentuh dinding, jantungnya berdentam kencang.
“Aku kangen kamu, Yo,” suara Sabi pecah, tubuhnya memeluk Mario, erat, tanpa izin, tanpa aba-aba.
“Mas, lepasin…” bisik Mario, lembut, berusaha menyingkirkan tangan yang melingkar di tubuhnya.
Namun Sabi tak mengindahkan. Matanya menatap dalam, tajam, jemarinya kini membelai pipi Mario, menghafal kembali setiap lekuk, setiap garis wajah yang dulu begitu ia rindukan. Wajah itu… wajah yang telah lama ia usahakan untuk lupa, namun takdir mempermainkannya, mempertemukan mereka di ujung yang tak terduga. Dan kalau takdir memang mau bermain, biarlah Sabi ikut menari dalam permainan itu.
Sabi mendekat, ingin mengecup bibir Mario. Tapi Mario memalingkan wajahnya, membuat kecupan itu mendarat di pipi.
“Jangan, Mas…” lirih Mario hampir tak terdengar.
“Aku pengen denger langsung dari kamu,” Sabi menatapnya tajam, penuh tuntutan, “bilang kalau kamu nggak kangen sama aku.”
Mario terdiam, lirikan kecil mengendap di matanya, tapi tak ada kata yang keluar.
"Aku nggak minta, aku maksa" Sabi tersenyum tipis, mengulang kata-kata lama yang hanya mereka berdua pahami.
Perlahan, Sabi melepaskan genggamannya dari wajah Mario, memberi jarak.
“Bilang sekarang, biar aku pergi…” lanjutnya, suara itu hampir pecah.
Mario tetap diam, wajahnya dipenuhi keraguan yang tak mampu ia sembunyikan. Hingga akhirnya… satu menit kemudian, ia menarik Sabi ke dalam pelukan, hangat, erat. Bibirnya mendaratkan kecupan lembut yang segera disambut Sabi dengan ciuman penuh kerinduan, bertubi-tubi, seolah menumpahkan semua perasaan yang selama ini mereka tahan sendiri-sendiri.
Ciuman yang liar, menggairahkan, namun juga menyedihkan. Karena keduanya tahu: mereka tak perlu kata-kata untuk mengerti apa yang sedang terjadi di antara mereka.
Mereka berdua tersenyum, kecil, mengakhiri hujan ciuman yang menggetarkan itu. Jemari Mario merapikan jas dan kemeja Sabi, sementara Sabi membenahi rambut Mario yang sedikit kusut.
“Apa aku harus masih tetap jawab?” tanya Mario, menatap penuh kehangatan.
Pelukan kembali terjalin, kali ini lebih erat, seolah mereka berdua takut terlepas.
“Aku sangat… amat… kangen, Mas,” ucap Mario dalam pelukan itu.
Namun pelukan itu akhirnya juga dilepas. Mario menunjuk dadanya, senyumnya muram.
“Kamu masih ada tempat di sini,” bisiknya, “tapi sekarang udah beda, Mas.”
Wajah Mario berubah sedikit kelabu, perasaan yang tak bisa terbaca bahkan oleh mata Sabi. Tarikan napas panjang terdengar dari Mario sebelum ia melanjutkan, menata kata demi kata seperti menata luka.
“Aku udah punya Seira. Nggak cuma itu… aku punya Cica. Aku kangen kamu, kangen banget… tapi aku nggak mau jadi orang yang egois. Maaf… Mas Yusuf.”
Sabi menelan ludah, perlahan. Namanya, Mas Yusuf, terucap begitu lembut dari bibir Mario, namun terasa seperti belati kecil yang menusuk perlahan ke jantungnya.
Hening.
Sabi hanya berdiri di sana, matanya bergetar menahan kilatan perasaan yang bergemuruh. Udara di dalam bilik sempit itu semakin menyesakkan.
"Aku ngerti," ucap Sabi akhirnya, suaranya serak, nyaris retak. Jemarinya mengusap pipi Mario perlahan, seolah mencoba menghafalkan lagi lekuk wajah itu, menyimpannya untuk terakhir kali.
"Aku ngerti... tapi ngerti nggak selalu berarti ikhlas."
Mario memejamkan mata, menarik napas panjang, seolah ingin menghapus udara berat yang menekan di antara mereka.
"Mas..." bisiknya pelan, "aku nggak pernah nyesel ketemu kamu. Tapi aku juga nggak mau ngerusak hidup siapapun sekarang."
Sabi mengangguk pelan. Matanya kini menatap lantai, senyum getir tergurat di bibirnya, senyum yang penuh luka, senyum yang tak pernah benar-benar sembuh.
"Aku cuma mau denger itu langsung dari kamu. Supaya aku bisa jalan lagi. Supaya aku berhenti nyalahin takdir."
Mario menggenggam tangan Sabi, menggenggam erat.
"Aku juga nggak tahu kalau bisa benar-benar berhenti, Mas. Karena Aku juga masih belajar ngerelain sampai detik ini."
Mario tersenyum, mengecup punggung tangan Sabi dengan penuh kelembutan, "aku pernah bilang, selamanya kamu jadi pemilik hati ini sampai kapanpun. Ibaratkan rumah, pemilik nggak harus selalu selalu ada di rumahnya, bukan?"
Dan di sana, di bilik toilet sempit yang dipenuhi kenangan dan sisa rindu, dua insan itu berdiri, saling menggenggam, saling menyimpan luka yang tak terucapkan.
Akhirnya, Sabi yang lebih dulu melepaskan genggaman itu.
"Terima kasih, Yo." Ucapannya pelan, begitu pelan seperti bisikan malam kepada fajar.
"Terima kasih karena pernah bikin aku bahagia. Meski sekarang harus begini..."
Mario hanya tersenyum kecil, matanya mulai berkaca-kaca, namun ia cepat-cepat mengedipkannya.
"Mas... jaga diri ya."
Mario melangkah mundur, menghela napas panjang, lalu membuka pintu bilik perlahan. Cahaya lampu toilet yang pucat menyambut mereka, menghapus kehangatan yang baru saja mereka bagi.
Saat Sabi berjalan keluar, Mario hanya berdiri mematung, matanya menatap punggung itu, punggung yang perlahan menjauh. Tak ada pelukan lagi, tak ada ciuman lagi, hanya bayang-bayang yang akan tinggal diam di hati masing-masing.
Di lorong panjang itu, hanya ada langkah-langkah yang semakin menjauh. Sabi berjalan tanpa menoleh, membiarkan hatinya tertinggal sesaat di balik pintu itu, sebelum akhirnya ia menguatkan diri, melanjutkan hidup, meski dengan perih yang akan tetap bersembunyi di balik senyumnya.
“Mas,” panggil Mario, membuat langkah Sabi terhenti. Ia menoleh, mata mereka bertemu sekali lagi.
“Kirimin aku alamat hotel kamu.”
Senyum merekah, indah, mekar di wajah Sabi. Sebuah kebahagiaan yang tak bisa dilukiskan kata-kata. Ia mengangguk penuh semangat, nyaris ingin bersorak, namun selebrasi itu ia tahan.
Sabi berbalik, melangkah kembali menuju aula pesta—namun kali ini dengan langkah yang tak lagi lunglai. Ada semangat kecil, api kecil yang mulai menyala di hatinya. Meski jalan di depan masih penuh tanda tanya, setidaknya, malam itu, Sabi tahu: dia belum sepenuhnya kehilangan.
0 komentar:
Posting Komentar