Dengan sentuhan lembut, jemari itu menekan bel di depan kamar bernomor 1102. Hanya sekejap waktu berlalu, dan Mario pun tampak di ambang pintu, senyum hangatnya menyambut malam. Tanpa sepatah kata, ia menggenggam tangan Sabi, mengajaknya melangkah masuk ke dalam ruang yang menyimpan sunyi, cerita, dan mungkin rindu yang tak terucap.
Mario mencumbu Sabi, mencium pipi lalu beralih ke bibir laki-laki itu. Sabi hanya diam tak membalas, namun jiwa kelelakiannya sudah pasti bangkit karena tangan Mario merangsang bagian sensitifnya.
Tanpa izin terlebih dahulu, Mario duduk bersimpuh. membuka resleting celana Sabi seakan tak sabar ingin melahap bagian dalam celana itu.
"Aku kesini, serius cuma buat ngobrol" ucap Sabi membuat Mario menghentikan aksinya.
Resleting yang baru turun setengah itu kembali ditutup oleh Mario, ia berdiri mensejajari Sabi, menatap laki-laki itu tajam, menelusuri setiap raut wajah Sabi yang terlihat serius menolak permintaan Mario.
"Kamu bercanda" Mario membelai dada Sabi, "kamu mau aku yang keliatan binal? oke kalau itu mau kamu."
Mario merapatkan tubuhnya, jemarinya kian buas membelai tubuh dan menggenggam penis Sabi yang masih terbungkus celana.
"Aku serius, Yo" Sabi memegang lengan Mario cukup kuat untuk menghentikan gerakan belaian itu.
“Mas, aku nggak minta... kamu juga nggak minta. Tapi mungkin takdir yang sengaja mempertemukan kita lagi,” ucap Mario lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh di dadanya. “Aku cuma nepatin janji…”
Mario menatapnya dalam diam, seolah mencari sisa-sisa masa lalu di mata Sabi. Perlahan, ia mengangkat tangannya, menempatkannya di pundak laki-laki itu. Lembut, hangat, dan penuh rindu. Jemarinya kemudian menyentuh pipi Sabi, membelainya pelan, seakan waktu tak pernah memisahkan keduanya.
Hati Sabi tengah bergemuruh, bertarung dengan bisikan-bisikan yang tak henti menggema. Ia berdiri di persimpangan rasa, tak tahu harus melangkah ke mana. Tak bisa ia pungkiri, sebagian jiwanya masih merindukan Mario, masih menyimpan bayang yang tak lekang oleh waktu. Namun di sisi lain, ia telah memilih jalan bersama Addie, telah mengikat janji dan menanam komitmen dalam pelukan yang baru.
Tapi kini, di hadapannya berdiri masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Mario, lukisan kenangan yang pernah ia coba hapus, nyatanya masih mampu menggetarkan hatinya. Dan Sabi pun sadar, bahwa beberapa perasaan, betapapun kita menguburnya dalam-dalam, akan selalu tahu jalan pulang.
Mario kembali menorehkan kecupan di kening Sabi, lalu merengkuh tubuhnya erat seolah tak ingin melepaskan. Pelukannya penuh rindu, hangat, dan tak tergesa. Tangannya mengusap lembut punggung Sabi, tempat yang dulu pernah menjadi rumah bagi segala resahnya. Hembusan napasnya, yang berat oleh kerinduan, mengalun pelan di telinga Sabi, membuat waktu seakan berhenti sejenak.
Namun, di antara keheningan yang menggantung, suara Sabi pecah, pelan namun penuh gemetar,
"Mau sampai kapan kita begini?"
Pertanyaan itu membuat Mario tersentak. Ia perlahan menarik diri dari pelukan, menatap wajah Sabi dengan kerutan di dahi, matanya menyiratkan tanya yang belum sempat dijawab.
"Apa maksud kamu, Mas?" ujarnya, mencoba memahami, namun hatinya mulai diselimuti cemas yang tak bisa disembunyikan.
Addie bersandar pada pagar balkon, menggenggam besi dingin dengan jemari yang gemetar pelan. Ia diam, membiarkan udara mengusap wajahnya yang sembab oleh tangis yang tidak jadi tumpah. Ia bukan orang yang mudah patah, tapi ada luka yang tidak bisa lagi disangkal, dan luka itu berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Sabi menatap punggung Addie dengan napas terengah, bukan karena berlari mengejarnya, tapi karena hatinya seperti kehabisan ruang untuk berkata jujur.
“Gimana rasanya ketemu dia lagi?” suara Addie lirih, tapi tajam. Seperti bisikan dari tempat paling sunyi dalam hati yang baru saja dihancurkan.
Sabi diam beberapa saat. Lalu menjawab dengan suara yang retak, “Aku minta maaf, Ad. Aku... aku bingung dengan perasaanku sendiri.”
Addie mengangguk pelan, lalu melirik ke arahnya, senyum kecil tanpa daya muncul begitu saja di bibirnya yang pucat. “Kamu nggak harus minta maaf, Sab. Cinta nggak pernah bisa disetir pakai logika.”
Ia lalu melangkah pelan ke sisi Sabi. Mereka berdiri berdampingan. Tidak bersentuhan. Hanya berdiri sejajar, dalam jarak yang sebenarnya lebih lebar dari yang terlihat.
“Aku liat kok, cara kamu liat dia,” lanjut Addie, nadanya tetap tenang, terlalu tenang hingga terasa menyakitkan. “Itu bukan pandangan orang yang udah selesai. Itu mata seseorang yang masih punya rumah di masa lalu.”
Sabi menggeleng cepat. “Nggak, Addie. Aku...” suaranya tersangkut. “Kamu datang pas aku udah siap buat mulai hidup baru.”
Addie menatap ke depan, ke lautan lampu kota yang berpendar jauh. “Tapi kamu belum selesai ngubur yang lama. Dan aku bisa ngerasain, tempat yang pernah dia tempatin di hati kamu... masih hangat. Bekasnya belum sepenuhnya ilang.”
Ia menghela napas, pelan, sangat pelan. Lalu bersandar penuh pada pagar, seolah tubuhnya sudah lelah menyangga semuanya sendirian.
“Kamu tahu, Sab, cinta itu kayak rumah. Dan aku nggak keberatan bantu kamu bangun dari puing-puing. Tapi gimana caranya aku bisa bantu kalau ternyata fondasinya masih nama orang lain?”
Sabi membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Semua pembelaan terdengar sia-sia di kepalanya sendiri.
“Aku cuma mau kamu tahu,” lanjut Addie, suara itu seperti bisikan doa yang tak ingin didengar siapa-siapa, “Kalau kamu belum selesai... tolong jangan dulu memulai.”
Ia menoleh menatap Sabi, kali ini dengan air mata yang tak bisa ia tahan lagi. Tapi tangis itu jatuh tanpa suara. Ia terlalu dewasa untuk mengemis cinta. Terlalu tulus untuk memaksa tempat di hati yang belum siap.
“Jangan tawarin aku tempat yang masih berantakan, Sab. Aku mau dapet cinta yang utuh, bukan sisa-sisa dari perang batin kamu.”
Sabi maju satu langkah. “Addie, aku cinta dan sayang sama kamu.”
Addie tersenyum pilu, mengangguk. “Aku tahu. Tapi kadang sayang itu nggak cukup kalau kamu belum selesai sama orang lain.”
Ia meraih tangan Sabi, menggenggamnya hangat, lalu melepaskannya perlahan.
“Aku di sini... tapi aku nggak akan maksa kamu milih aku. Jalan pulang itu harus kamu tentuin sendiri.”
Lalu Addie masuk ke dalam kamar, meninggalkan Sabi sendiri di balkon, di antara langit yang gelap dan kota yang tetap berjalan tanpa peduli hati siapa yang hancur malam itu.
Dan di sanalah Sabi berdiri. Sendirian, dengan rasa bersalah yang menggantung seperti kabut di dadanya. Ia tahu, Addie tidak marah. Tapi kadang... diam adalah bentuk kecewa yang paling tajam karena di dalamnya ada cinta yang terlalu besar untuk dilawan, tapi terlalu hancur untuk bertahan.
* * *
Pagi menjelang pelan di Jakarta. Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar hotel, melukis garis-garis lembut di dinding. Kota di bawah sana sudah mulai bising deru kendaraan, klakson yang bersahut-sahutan, dan rutinitas yang tak menunggu siapa pun.
Sabi terbangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, mengenakan kaus abu tipis yang semalam bahkan tak sempat ia ganti. Matanya bengkak. Tidur hanya sebatas merem melek, pikirannya tak benar-benar tenang.
Addie masih di tempat tidurnya, membelakangi Sabi. Punggungnya terlihat tegang meski tubuhnya diam. Ia tidak tertidur, hanya berpura-pura, atau mungkin mencoba menunda kenyataan pagi ini.
Beberapa menit berlalu dalam senyap, hingga akhirnya Addie bangkit. Ia tidak menatap Sabi. Hanya duduk, lalu langsung meraih ponselnya, memeriksa pesan-pesan masuk seperti pagi itu tidak membawa luka apa pun.
Sabi mencoba bicara, suaranya serak, pelan, “Add…”
“Jam sembilan kita dijemput, kan?” potong Addie tanpa menoleh. Ia berdiri, berjalan ke arah koper di sudut ruangan.
“Iya,” jawab Sabi pelan. “Aku…”
“Aku mau sarapan duluan.” Addie langsung memotongnya lagi, suaranya datar, nyaris seperti formalitas. Ia membuka koper, memilih baju tanpa suara, lalu masuk ke kamar mandi.
Pintu tertutup dengan tenang. Tapi bagi Sabi, bunyinya seperti tembok yang mendadak menjulang di antara mereka.
Beberapa menit kemudian, Addie keluar. Sudah rapi dengan kemeja putih dan celana bahan hitam. Wajahnya polos, tanpa riasan tebal, tapi ekspresinya jauh. Jauh seperti orang yang menarik diri pelan-pelan dari sesuatu yang dulu ia anggap rumah.
Sabi berdiri, mencoba mendekat. “Addie… aku ketemu nggak ngapa-ngapain.”
Addie berhenti di depan pintu. Ia menatap Sabi sejenak, tatapan yang bukan marah, tapi kosong. “Sab, aku percaya. Lagian kita ke Jakarta bukan buat urusan hati. Jadi kamu tenang aja, aku nggak akan bikin drama.”
“Tapi bukan itu yang aku khawatirin…”
Addie mengangkat tangannya, memberi isyarat cukup.
“Kalau kamu masih butuh waktu buat ngelurusin isi hati kamu, aku nggak akan ganggu. Tapi aku juga punya hak buat ngelindungin diri aku sendiri dari sakit yang bisa aku hindari.”
Ia lalu menarik napas. “Aku nggak marah. Sab. Aku cinta sama kamu, cinta banget. Bahkan kalau aku harus nerima sakit yang lebih dari ini, aku tetep mau bertahan. Aku cuma... butuh sedikit waktu.”
Sabi terdiam, tubuhnya mematung.
"Aku kecewa bukan karena kamu ketemu Mario lagi, tapi aku kecewa karena kamu semalem jadiin Ibu alesan."
Addie tersenyum kecil, tapi senyum itu dingin, bukan karena benci, melainkan karena kecewa yang terlalu sering diabaikan.
“Aku tunggu di bawah ya.”
Lalu Addie membuka pintu dan pergi, meninggalkan Sabi sendiri di kamar yang kini terasa jauh lebih sunyi dibanding semalam. Kamar itu masih sama, tapi hatinya... sudah tidak.
Dan pagi itu, Jakarta menyambut dua orang yang masih berjalan bersama, tapi mulai melangkah dengan jarak yang tak kasat mata, jarak yang diciptakan bukan oleh pertengkaran, tapi oleh rasa yang tak diucapkan pada waktu yang tepat.
* * *
Hari itu Jakarta terik. Langit menggantung tinggi, nyaris tanpa awan. Gedung-gedung menjulang seperti saksi diam aktivitas manusia yang tak pernah jeda. Di dalam salah satu kantor pusat milik perusahaan client mereka, ruangan meeting ber-AC itu sejuk, tapi Sabi merasa panas. Bukan karena cuaca, melainkan karena jarak yang tak terlihat antara dirinya dan Addie.
Addie duduk di sisi kanan meja panjang, mencatat sesuatu di laptopnya. Ekspresinya fokus, sesekali menanggapi rekan kerja dengan senyuman tipis. Namun tak sekalipun ia menatap ke arah Sabi.
Sabi mencuri pandang. Ada sesuatu yang hampa dalam kebisuan itu. Mereka bicara saat perlu tentang data, timeline, anggaran. Tapi tidak lebih.
Saat sesi meeting selesai, semua orang keluar pelan-pelan. Tinggal mereka berdua di ruang itu. Addie mulai berkemas, hendak pergi. Tapi Sabi berdiri, memberanikan diri.
“Addie…” panggilnya.
Addie menoleh, tangan masih di atas tas kerja. “Ada yang mau dibahas?”
Sabi mengangguk. “Bukan soal kerjaan.”
Addie menghela napas. “Sab, aku...”
“Aku tahu. Dan aku salah.” Sabi mendekat beberapa langkah. “Aku salah karena nggak jujur dari awal. Bukan cuma ke kamu... tapi ke diriku sendiri.”
Addie menatapnya, akhirnya. Tatapan itu tak lagi dingin, tapi lelah. Seperti seseorang yang sudah terlalu sering jatuh cinta pada tempat yang belum siap ditinggali.
“Aku pikir... kamu udah selesai sama masa lalu kamu.”
“Aku juga pikir gitu,” suara Sabi nyaris bergetar. “Tapi ternyata, masa lalu itu belum selesai karena aku nggak pernah benar-benar menutupnya. Maafin aku” Sabi menarik napas panjang, mencoba jujur. “Tapi aku bersumpah, Sekarang aku udah nutup semua itu karena aku sayang sama kamu.”
Addie menatapnya lama. “Kamu tau, Sab… disayangi itu bukan hal yang bikin orang tenang. Tapi dipercaya. Itu yang bikin kita bisa bertahan.”
Sabi menunduk. “Aku belajar dari kamu sekarang. Aku mau berubah, Add. Bukan karena aku takut kamu pergi... tapi karena kamu pantas dapat yang lebih dari seseorang yang masih gamang. Aku janji aku nggak akan jadi orang yang gamang.”
Mereka saling diam, lalu Addie mengangguk pelan. Tapi bukan anggukan yang menjanjikan apa-apa, hanya bentuk penerimaan bahwa luka butuh waktu, dan perbaikan tidak terjadi dalam sehari.
“Aku nggak tahu, Sab, kita bakal ke mana. Tapi kalau kamu beneran mau berubah… buktiin, bukan ke aku, tapi ke diri kamu sendiri.”
Ia lalu berjalan melewati Sabi, perlahan. Saat melewatinya, ia berkata pelan, “Aku masih di hati kamu, tapi aku nggak janji bisa bertahan kalau yang aku dapetin cuma setengah hati.”
Pintu tertutup. Kali ini, bukan dentuman yang terasa. Tapi pelan, seperti seseorang yang memilih menunggu di luar, sambil berharap kau datang menyusul, bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan yang mencerminkan semua hal yang tak sempat terucap.
Dan Sabi pun berdiri di tengah ruangan itu, lebih sunyi dari sebelumnya. Tapi juga lebih yakin bahwa perjuangan kali ini bukan tentang memenangkan seseorang, tapi tentang memperbaiki dirinya sendiri... agar bisa menjadi tempat pulang yang tak lagi goyah.
0 komentar:
Posting Komentar