Minggu, 18 Mei 2025

Bokong Yang Kusuka New Era Part 10

Dengan sentuhan lembut, jemari itu menekan bel di depan kamar bernomor 1102. Hanya sekejap waktu berlalu, dan Mario pun tampak di ambang pintu, senyum hangatnya menyambut malam. Tanpa sepatah kata, ia menggenggam tangan Sabi, mengajaknya melangkah masuk ke dalam ruang yang menyimpan sunyi, cerita, dan mungkin rindu yang tak terucap.

Mario mencumbu Sabi, mencium pipi lalu beralih ke bibir laki-laki itu. Sabi hanya diam tak membalas, namun jiwa kelelakiannya sudah pasti bangkit karena tangan Mario merangsang bagian sensitifnya.

Tanpa izin terlebih dahulu, Mario duduk bersimpuh. membuka resleting celana Sabi seakan tak sabar ingin melahap bagian dalam celana itu.

"Aku kesini, serius cuma buat ngobrol" ucap Sabi membuat Mario menghentikan aksinya.

Resleting yang baru turun setengah itu kembali ditutup oleh Mario, ia berdiri mensejajari Sabi, menatap laki-laki itu tajam, menelusuri setiap raut wajah Sabi yang terlihat serius menolak permintaan Mario.

"Kamu bercanda" Mario membelai dada Sabi, "kamu mau aku yang keliatan binal? oke kalau itu mau kamu."

Mario merapatkan tubuhnya, jemarinya kian buas membelai tubuh dan menggenggam penis Sabi yang masih terbungkus celana.

"Aku serius, Yo" Sabi memegang lengan Mario cukup kuat untuk menghentikan gerakan belaian itu.

“Mas, aku nggak minta... kamu juga nggak minta. Tapi mungkin takdir yang sengaja mempertemukan kita lagi,” ucap Mario lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh di dadanya. “Aku cuma nepatin janji…”

Mario menatapnya dalam diam, seolah mencari sisa-sisa masa lalu di mata Sabi. Perlahan, ia mengangkat tangannya, menempatkannya di pundak laki-laki itu. Lembut, hangat, dan penuh rindu. Jemarinya kemudian menyentuh pipi Sabi, membelainya pelan, seakan waktu tak pernah memisahkan keduanya.

Hati Sabi tengah bergemuruh, bertarung dengan bisikan-bisikan yang tak henti menggema. Ia berdiri di persimpangan rasa, tak tahu harus melangkah ke mana. Tak bisa ia pungkiri, sebagian jiwanya masih merindukan Mario, masih menyimpan bayang yang tak lekang oleh waktu. Namun di sisi lain, ia telah memilih jalan bersama Addie, telah mengikat janji dan menanam komitmen dalam pelukan yang baru.

Tapi kini, di hadapannya berdiri masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Mario, lukisan kenangan yang pernah ia coba hapus, nyatanya masih mampu menggetarkan hatinya. Dan Sabi pun sadar, bahwa beberapa perasaan, betapapun kita menguburnya dalam-dalam, akan selalu tahu jalan pulang.

Mario kembali menorehkan kecupan di kening Sabi, lalu merengkuh tubuhnya erat seolah tak ingin melepaskan. Pelukannya penuh rindu, hangat, dan tak tergesa. Tangannya mengusap lembut punggung Sabi, tempat yang dulu pernah menjadi rumah bagi segala resahnya. Hembusan napasnya, yang berat oleh kerinduan, mengalun pelan di telinga Sabi, membuat waktu seakan berhenti sejenak.

Namun, di antara keheningan yang menggantung, suara Sabi pecah, pelan namun penuh gemetar,
"Mau sampai kapan kita begini?"

Pertanyaan itu membuat Mario tersentak. Ia perlahan menarik diri dari pelukan, menatap wajah Sabi dengan kerutan di dahi, matanya menyiratkan tanya yang belum sempat dijawab.
"Apa maksud kamu, Mas?" ujarnya, mencoba memahami, namun hatinya mulai diselimuti cemas yang tak bisa disembunyikan.

"Mau sampai kapan kita sembunyi di balik kata takdir?” tanya Sabi lagi, suaranya pelan namun mengguncang seperti riak yang menyentuh dasar.

Mario tak menjawab. Diam menggantung di antara mereka, seperti selimut sunyi yang tak memberi ruang bagi kata-kata. Hanya napas mereka yang terdengar, pelan, rapuh, dan penuh beban.

Sabi menggenggam tangan Mario, menggenggam seolah ingin menahan waktu. Ia menunduk, mencium punggung tangan itu, seakan ingin menyerap segala kenangan yang pernah tinggal di sela-sela jemari pria itu.

“Bukan ini yang aku mau, Yo…” bisiknya lirih, namun sorot matanya kini tegas, menembus segala alasan yang menggantung di udara.

“Tapi aku mau kamu, Mas,” balas Mario, suaranya nyaris patah, lirih, seperti anak kecil yang takut kehilangan.

Sabi menahan napas sejenak. Matanya berkaca, tapi tak goyah.
“Aku juga mau kamu… tapi bukan dengan cara seperti ini,” ucapnya, tegas, serupa kebenaran yang tak bisa ditawar lagi.

"Jadilah Mario yang dulu, yang pernah pergi dari aku," ujar Sabi, nadanya tegas namun hatinya bergetar.

Mario menggeleng perlahan, matanya redup, menyimpan luka yang tak sembuh.
“Nggak bisa, Mas… Aku nggak pernah bisa berhenti mikirin kamu.”

“Jangan serakah, Yo,” balas Sabi, tanpa ragu, meski kata-katanya mungkin menggores. “Kamu udah punya Seira. Kamu juga yang dulu bilang kita harus saling ngelupain. Jangan saling nyari. Aku udah lakuin itu semua.”

Mario menatapnya, nyaris putus asa. “Kecuali... takdir,” katanya, hampir seperti bisikan.

Sabi menggeleng, sorot matanya tajam. “Kita bisa lawan takdir itu, Yo.”

“Aku masih butuh kamu, Mas,” desak Mario lagi, seperti ingin meyakinkan bukan hanya Sabi tapi dirinya sendiri.

Sabi kembali menggeleng. “Kamu nggak butuh aku, Yo…”

“Aku butuh, Mas!” Mario meninggikan suaranya, emosinya pecah tak tertahan.

Sabi menatapnya lurus, suaranya ikut naik, penuh tantangan.
“Kalau kamu butuh aku, ayo. Kita pergi dari sini. Tinggalkan semuanya, tinggalkan Seira, tinggalkan keluargamu. Bisa?”

Hening. Mario terdiam, seolah kata-kata tak lagi tahu jalan keluar. Tak ada jawaban. Hanya isakan pelan, dan akhirnya air mata mulai mengalir dari sudut matanya.

Sabi mendekat, menggenggam wajah Mario, ibu jarinya menyeka tetes air itu dengan lembut.
“Nggak bisa, kan, Yo?”

Air mata Mario jatuh semakin deras, menyatu dengan rintihan hati yang tak mampu lagi disembunyikan.

Sabi menatapnya dalam, suaranya pelan namun mengiris.
“Apa kamu tega ngejadiin aku opsi kedua dalam hidup kamu? Kamu masih mau pertahanin Seira, tapi kamu juga mau aku tetap ada buat kamu… Apa kamu tega?”

Kata-katanya menyayat pelan, namun penuh kejujuran. Dan Mario hanya bisa menangis, karena ia tahu jawabannya sudah ada, hanya saja terlalu berat untuk diucapkan.

“Apa kamu tega ngeliat aku kesepian… cuma duduk sendiri, nunggu takdir yang entah kapan bakal bikin kita ketemu lagi?”

Sabi tak menunggu jawaban. Karena ia tahu, tak ada jawaban yang bisa menyelamatkan mereka dari luka yang sudah terlanjur dalam. Dan seperti sebelumnya, Mario hanya diam. Tangisnya masih mengalir, satu-satunya bahasa yang mampu mewakili segalanya.

Sabi menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang yang bergemuruh di dadanya.
“Kita harus jalan masing-masing, Yo… Saling ngelupain, kayak yang dulu kamu bilang.”

Namun kalimat itu langsung dipatahkan oleh suara Mario yang serak dan goyah.
“Nggak mau, Mas… aku nggak bisa,” ucapnya sambil menggeleng, seakan menolak kenyataan yang mulai merenggut harapan terakhirnya.

Tangis masih menyesakkan ruang di antara mereka. Dan Sabi, meski hatinya ikut hancur, tahu betul: mencintai seseorang tak selalu berarti harus tetap bersamanya. Kadang, mencintai berarti merelakan. Meski itu menyakitkan.

“Aku janji… kita masih bisa ketemu. Kita masih bisa jalan… di belakang semuanya,” ucap Mario, nadanya nyaris memohon, seperti seseorang yang tengah menggenggam serpihan terakhir dari harapan yang akan runtuh.

Namun Sabi hanya menggeleng, pelan namun pasti. Tatapannya teduh, tapi penuh luka yang telah ia genggam terlalu lama.

“Nggak bisa, Yo…” katanya lirih, tapi tegas. “Aku nggak sejahat itu… aku nggak tega nyakitin orang lain yang udah cinta sama kamu.”

Mario terdiam. Kata-kata Sabi menusuk tepat ke inti hatinya, tempat di mana kebenaran tinggal dan tak bisa dipungkiri. Sabi bukan hanya menolak dia. Sabi sedang menjaga martabat cinta, bahkan ketika cinta itu menyakitinya sendiri.

Di antara mereka, cinta masih ada. Tapi jalan untuk bersatu telah berubah menjadi tembok dan mereka berdua tahu, memanjatnya berarti menginjak perasaan orang lain. Dan itu, bagi Sabi, bukanlah cinta... itu pengkhianatan.

“Maafin aku, Yo…” ucap Sabi dengan suara yang nyaris pecah, lalu membungkuk pelan dan mengecup kening Mario, hangat, singkat, penuh perpisahan yang tak terucap.

Mereka berpagutan sejenak, mengecap setiap inci lidah seakan itu adalah terakhir kalinya yang akan mereka lakukan.

“Kamu… selamanya akan tetap jadi kenangan terindah buat aku,” lanjutnya, menatap mata Mario yang basah oleh air mata, “tapi kenangan itu… nggak akan aku ulang lagi sama kamu.”

Kata-katanya jatuh pelan, tapi menghantam seperti gemuruh. Di dalamnya ada cinta yang belum padam, namun sudah rela. Ada luka yang tak akan sembuh, tapi sudah ikhlas.

Dan Mario hanya bisa diam. Keningnya masih terasa hangat oleh ciuman terakhir itu, sentuhan paling lembut yang juga menjadi tanda bahwa semuanya… benar-benar berakhir. Diiringi kepergian Sabi dari kamar itu dengan perasaan lega.

Sabi menutup pintu kamar Mario dengan perlahan dan rapat, seakan mengunci masa lalu di balik kayu itu, membiarkannya terperangkap di sana, terasing untuk selamanya.

“Sab…”
Suara itu menghentak pikirannya, suara yang begitu dikenalnya, membelah sunyi yang baru saja ia ciptakan. Sabi menoleh, menatap arah asal suara itu.

“Kamu ngapain dari kamar itu?” tanya Addie dengan nada yang samar antara bingung dan terluka. “Kamar ibu kan di sini.” Addie menunjuk kamar yang baru saja ia tinggalkan.

Sabi terdiam, tak mampu membalas. Namun di matanya, Addie membaca semuanya. Dia bukan orang bodoh, dia tahu, Sabi bertemu masa lalunya sore ini. Tapi tak pernah terduga, Sabi janjian bertemu di kamar Mario.

“Oh, ternyata benar ya… sekeras apapun berusaha, masa lalu tetap jadi pemenangnya,” lirih Addie, suaranya bergetar, berjuang menahan gelimang air mata yang mengancam jatuh.

“Add…” suara Sabi mencoba mengurai ketegangan, namun terhenti.

“Kita ngobrol di kamar saja. Nggak enak kalau kedengeran orang lain di sini,” potong Addie, berusaha menjaga wibawa meski hatinya remuk.

Sabi tahu betul, di balik kelembutan dan kesabaran Addie, ada kekecewaan, kemarahan, dan cemburu yang bergejolak dalam diri Addie. Namun sikap Addie tetap tenang, tak sekalipun emosi membuncah. Dengan langkah pelan namun pasti, ia mengajak Sabi menuju lift, melangkah menuju lantai delapan, tempat kamar mereka menanti, dan tempat percakapan yang sulit itu harus segera dimulai.

Angin malam menyusup masuk ke sela-sela balkon lantai delapan, membawa dingin yang tak sepenuhnya berasal dari cuaca. Langit Jakarta malam itu nyaris tak berbintang, seakan langit pun enggan menyaksikan dua hati yang mulai retak di bawah cahayanya.

Addie bersandar pada pagar balkon, menggenggam besi dingin dengan jemari yang gemetar pelan. Ia diam, membiarkan udara mengusap wajahnya yang sembab oleh tangis yang tidak jadi tumpah. Ia bukan orang yang mudah patah, tapi ada luka yang tidak bisa lagi disangkal, dan luka itu berdiri beberapa langkah di belakangnya.

Sabi menatap punggung Addie dengan napas terengah, bukan karena berlari mengejarnya, tapi karena hatinya seperti kehabisan ruang untuk berkata jujur.

“Gimana rasanya ketemu dia lagi?” suara Addie lirih, tapi tajam. Seperti bisikan dari tempat paling sunyi dalam hati yang baru saja dihancurkan.

Sabi diam beberapa saat. Lalu menjawab dengan suara yang retak, “Aku minta maaf, Ad. Aku... aku bingung dengan perasaanku sendiri.”

Addie mengangguk pelan, lalu melirik ke arahnya, senyum kecil tanpa daya muncul begitu saja di bibirnya yang pucat. “Kamu nggak harus minta maaf, Sab. Cinta nggak pernah bisa disetir pakai logika.”

Ia lalu melangkah pelan ke sisi Sabi. Mereka berdiri berdampingan. Tidak bersentuhan. Hanya berdiri sejajar, dalam jarak yang sebenarnya lebih lebar dari yang terlihat.

“Aku liat kok, cara kamu liat dia,” lanjut Addie, nadanya tetap tenang, terlalu tenang hingga terasa menyakitkan. “Itu bukan pandangan orang yang udah selesai. Itu mata seseorang yang masih punya rumah di masa lalu.”

Sabi menggeleng cepat. “Nggak, Addie. Aku...” suaranya tersangkut. “Kamu datang pas aku udah siap buat mulai hidup baru.”

Addie menatap ke depan, ke lautan lampu kota yang berpendar jauh. “Tapi kamu belum selesai ngubur yang lama. Dan aku bisa ngerasain, tempat yang pernah dia tempatin di hati kamu... masih hangat. Bekasnya belum sepenuhnya ilang.”

Ia menghela napas, pelan, sangat pelan. Lalu bersandar penuh pada pagar, seolah tubuhnya sudah lelah menyangga semuanya sendirian.

“Kamu tahu, Sab, cinta itu kayak rumah. Dan aku nggak keberatan bantu kamu bangun dari puing-puing. Tapi gimana caranya aku bisa bantu kalau ternyata fondasinya masih nama orang lain?”

Sabi membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Semua pembelaan terdengar sia-sia di kepalanya sendiri.

“Aku cuma mau kamu tahu,” lanjut Addie, suara itu seperti bisikan doa yang tak ingin didengar siapa-siapa, “Kalau kamu belum selesai... tolong jangan dulu memulai.”

Ia menoleh menatap Sabi, kali ini dengan air mata yang tak bisa ia tahan lagi. Tapi tangis itu jatuh tanpa suara. Ia terlalu dewasa untuk mengemis cinta. Terlalu tulus untuk memaksa tempat di hati yang belum siap.

“Jangan tawarin aku tempat yang masih berantakan, Sab. Aku mau dapet cinta yang utuh, bukan sisa-sisa dari perang batin kamu.”

Sabi maju satu langkah. “Addie, aku cinta dan sayang sama kamu.”

Addie tersenyum pilu, mengangguk. “Aku tahu. Tapi kadang sayang itu nggak cukup kalau kamu belum selesai sama orang lain.”

Ia meraih tangan Sabi, menggenggamnya hangat, lalu melepaskannya perlahan.

“Aku di sini... tapi aku nggak akan maksa kamu milih aku. Jalan pulang itu harus kamu tentuin sendiri.”

Lalu Addie masuk ke dalam kamar, meninggalkan Sabi sendiri di balkon, di antara langit yang gelap dan kota yang tetap berjalan tanpa peduli hati siapa yang hancur malam itu.

Dan di sanalah Sabi berdiri. Sendirian, dengan rasa bersalah yang menggantung seperti kabut di dadanya. Ia tahu, Addie tidak marah. Tapi kadang... diam adalah bentuk kecewa yang paling tajam karena di dalamnya ada cinta yang terlalu besar untuk dilawan, tapi terlalu hancur untuk bertahan.

* * *

Pagi menjelang pelan di Jakarta. Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar hotel, melukis garis-garis lembut di dinding. Kota di bawah sana sudah mulai bising deru kendaraan, klakson yang bersahut-sahutan, dan rutinitas yang tak menunggu siapa pun.

Sabi terbangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, mengenakan kaus abu tipis yang semalam bahkan tak sempat ia ganti. Matanya bengkak. Tidur hanya sebatas merem melek, pikirannya tak benar-benar tenang.

Addie masih di tempat tidurnya, membelakangi Sabi. Punggungnya terlihat tegang meski tubuhnya diam. Ia tidak tertidur, hanya berpura-pura, atau mungkin mencoba menunda kenyataan pagi ini.

Beberapa menit berlalu dalam senyap, hingga akhirnya Addie bangkit. Ia tidak menatap Sabi. Hanya duduk, lalu langsung meraih ponselnya, memeriksa pesan-pesan masuk seperti pagi itu tidak membawa luka apa pun.

Sabi mencoba bicara, suaranya serak, pelan, “Add…”

“Jam sembilan kita dijemput, kan?” potong Addie tanpa menoleh. Ia berdiri, berjalan ke arah koper di sudut ruangan.

“Iya,” jawab Sabi pelan. “Aku…”

“Aku mau sarapan duluan.” Addie langsung memotongnya lagi, suaranya datar, nyaris seperti formalitas. Ia membuka koper, memilih baju tanpa suara, lalu masuk ke kamar mandi.

Pintu tertutup dengan tenang. Tapi bagi Sabi, bunyinya seperti tembok yang mendadak menjulang di antara mereka.

Beberapa menit kemudian, Addie keluar. Sudah rapi dengan kemeja putih dan celana bahan hitam. Wajahnya polos, tanpa riasan tebal, tapi ekspresinya jauh. Jauh seperti orang yang menarik diri pelan-pelan dari sesuatu yang dulu ia anggap rumah.

Sabi berdiri, mencoba mendekat. “Addie… aku ketemu nggak ngapa-ngapain.”

Addie berhenti di depan pintu. Ia menatap Sabi sejenak, tatapan yang bukan marah, tapi kosong. “Sab, aku percaya. Lagian kita ke Jakarta bukan buat urusan hati. Jadi kamu tenang aja, aku nggak akan bikin drama.”

“Tapi bukan itu yang aku khawatirin…”

Addie mengangkat tangannya, memberi isyarat cukup.

“Kalau kamu masih butuh waktu buat ngelurusin isi hati kamu, aku nggak akan ganggu. Tapi aku juga punya hak buat ngelindungin diri aku sendiri dari sakit yang bisa aku hindari.”

Ia lalu menarik napas. “Aku nggak marah. Sab. Aku cinta sama kamu, cinta banget. Bahkan kalau aku harus nerima sakit yang lebih dari ini, aku tetep mau bertahan. Aku cuma... butuh sedikit waktu.”

Sabi terdiam, tubuhnya mematung.

"Aku kecewa bukan karena kamu ketemu Mario lagi, tapi aku kecewa karena kamu semalem jadiin Ibu alesan."

Addie tersenyum kecil, tapi senyum itu dingin, bukan karena benci, melainkan karena kecewa yang terlalu sering diabaikan.

“Aku tunggu di bawah ya.”

Lalu Addie membuka pintu dan pergi, meninggalkan Sabi sendiri di kamar yang kini terasa jauh lebih sunyi dibanding semalam. Kamar itu masih sama, tapi hatinya... sudah tidak.

Dan pagi itu, Jakarta menyambut dua orang yang masih berjalan bersama, tapi mulai melangkah dengan jarak yang tak kasat mata, jarak yang diciptakan bukan oleh pertengkaran, tapi oleh rasa yang tak diucapkan pada waktu yang tepat.

* * *

Hari itu Jakarta terik. Langit menggantung tinggi, nyaris tanpa awan. Gedung-gedung menjulang seperti saksi diam aktivitas manusia yang tak pernah jeda. Di dalam salah satu kantor pusat milik perusahaan client mereka, ruangan meeting ber-AC itu sejuk, tapi Sabi merasa panas. Bukan karena cuaca, melainkan karena jarak yang tak terlihat antara dirinya dan Addie.

Addie duduk di sisi kanan meja panjang, mencatat sesuatu di laptopnya. Ekspresinya fokus, sesekali menanggapi rekan kerja dengan senyuman tipis. Namun tak sekalipun ia menatap ke arah Sabi.

Sabi mencuri pandang. Ada sesuatu yang hampa dalam kebisuan itu. Mereka bicara saat perlu tentang data, timeline, anggaran. Tapi tidak lebih.

Saat sesi meeting selesai, semua orang keluar pelan-pelan. Tinggal mereka berdua di ruang itu. Addie mulai berkemas, hendak pergi. Tapi Sabi berdiri, memberanikan diri.

“Addie…” panggilnya.

Addie menoleh, tangan masih di atas tas kerja. “Ada yang mau dibahas?”

Sabi mengangguk. “Bukan soal kerjaan.”

Addie menghela napas. “Sab, aku...”

“Aku tahu. Dan aku salah.” Sabi mendekat beberapa langkah. “Aku salah karena nggak jujur dari awal. Bukan cuma ke kamu... tapi ke diriku sendiri.”

Addie menatapnya, akhirnya. Tatapan itu tak lagi dingin, tapi lelah. Seperti seseorang yang sudah terlalu sering jatuh cinta pada tempat yang belum siap ditinggali.

“Aku pikir... kamu udah selesai sama masa lalu kamu.”

“Aku juga pikir gitu,” suara Sabi nyaris bergetar. “Tapi ternyata, masa lalu itu belum selesai karena aku nggak pernah benar-benar menutupnya. Maafin aku” Sabi menarik napas panjang, mencoba jujur. “Tapi aku bersumpah, Sekarang aku udah nutup semua itu karena aku sayang sama kamu.”

Addie menatapnya lama. “Kamu tau, Sab… disayangi itu bukan hal yang bikin orang tenang. Tapi dipercaya. Itu yang bikin kita bisa bertahan.”

Sabi menunduk. “Aku belajar dari kamu sekarang. Aku mau berubah, Add. Bukan karena aku takut kamu pergi... tapi karena kamu pantas dapat yang lebih dari seseorang yang masih gamang. Aku janji aku nggak akan jadi orang yang gamang.”

Mereka saling diam, lalu Addie mengangguk pelan. Tapi bukan anggukan yang menjanjikan apa-apa, hanya bentuk penerimaan bahwa luka butuh waktu, dan perbaikan tidak terjadi dalam sehari.

“Aku nggak tahu, Sab, kita bakal ke mana. Tapi kalau kamu beneran mau berubah… buktiin, bukan ke aku, tapi ke diri kamu sendiri.”

Ia lalu berjalan melewati Sabi, perlahan. Saat melewatinya, ia berkata pelan, “Aku masih di hati kamu, tapi aku nggak janji bisa bertahan kalau yang aku dapetin cuma setengah hati.”

Pintu tertutup. Kali ini, bukan dentuman yang terasa. Tapi pelan, seperti seseorang yang memilih menunggu di luar, sambil berharap kau datang menyusul, bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan yang mencerminkan semua hal yang tak sempat terucap.

Dan Sabi pun berdiri di tengah ruangan itu, lebih sunyi dari sebelumnya. Tapi juga lebih yakin bahwa perjuangan kali ini bukan tentang memenangkan seseorang, tapi tentang memperbaiki dirinya sendiri... agar bisa menjadi tempat pulang yang tak lagi goyah.


0 komentar:

Posting Komentar