"Mau kamu duluan atau aku duluan yang mandi?"
Pertanyaan itu meluncur ringan dari bibir Addie, namun dalam diam yang menggantung di antara mereka, ia terasa seperti kelopak mawar yang jatuh perlahan ke permukaan air tenang, namun membekas.
Malam telah larut. Jam dinding yang berdetak pelan di sudut kamar apartement milik Addie menunjukkan pukul dua belas. Di luar, langit Singapura menyimpan bintang-bintang yang malu-malu bersembunyi di balik kabut kota. Mereka baru saja pulang dari Gardens by the Bay, tempat di mana lampu-lampu berpadu dengan dedaunan, dan waktu seolah menepi dari langkah.
Sabi menoleh pelan, memandang wajah Addie yang disinari lembut oleh lampu tidur di meja. Keringat tipis masih membekas di pelipisnya, dan di mata lelaki itu ada lelah yang indah, lelah karena bersama, bukan karena beban.
"Kayaknya kamu duluan aja," jawab Sabi, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan angin malam. "Kalau aku duluan, nanti kamu kedinginan nunggu."
Addie tersenyum. Bukan senyum yang lebar, tapi yang menyentuh dasar hati. Senyum yang menyimpan makna, seperti buku yang tak seluruh halamannya perlu dibaca untuk mengerti ceritanya.
"Tapi kalau kamu duluan, aku bisa siapin teh hangat sambil nunggu kamu selesai," balas Addie, pelan namun mantap.
Mereka saling menatap sejenak. Hening, tapi bukan sunyi, karena di antara mereka, diam pun bicara.
"Kamu aja" ujar Sabi tetap teguh dengan keinginannya.
Akhirnya, Addie meraih handuk dan melangkah menuju kamar mandi. Namun sebelum pintu tertutup sepenuhnya, ia menoleh dan berkata dengan nada menggoda, “Tapi jangan kaget ya, air hangatnya suka manja, kadang ngambek.”
Sabi tertawa pelan, tawa yang lelah tapi tulus, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa kecil dekat jendela. Ia menatap langit kota yang temaram, memikirkan betapa sederhana momen ini dan betapa ia ingin mengulangnya berkali-kali, seperti puisi yang tak pernah bosan dibaca.
Di kamar mandi, suara air mulai mengalir. Di ruang tamu, aroma melati dari pengharum ruangan mulai menguar. Gemericik suara air itu mengingatkan Sabi pada suasana saat dirinya bercinta dengan Mario. Sabi memberanikan diri melangkah mendekati pintu kamar mandi yang berada di luar kamar. Tanpa sabi sadari, tangannya sudah memutar tuas pintu, dan nyatanya pintu itu tidak terkunci, pemiliknya seolah mengizinkan Sabi untuk ikut masuk.
"Sabi!!" Addie memekik tanpa menoleh, "aku belum selesai."
Sabi tak perduli, ia tetap masuk, menutup pintu lagi dan melucuti pakaian yang ia kenakan. Sabi semakin dekat, kini dirinya sudah berdiri di belakang Addie, di bawah pancuran shower yang membasahi tubuh keduanya. Tak ada lagi jarak yang memisahkan, kulit Sabi dan Addie sudah bersentuhan, bahkan penis Sabi sudah menyentuh belahan bokong Addie.
"Aku mau kamu malam ini" bisik Sabi dalam hangatnya air yang mengalir membasahi tubuhnya.
Tangan Sabi melingkar di perut Addie, membelai busa sabun yang masih tersisa di dada Addie. Bibir Sabi tak tinggal diam, bibir itu mengecup pundak Addie yang basah.
Addie menghentikan air shower, ia menghindar dari pelukan Sabi, mengambil handuk yang ia letakkan di dekat wastafel kamar mandi itu, lalu kembali mendekat pada Sabi.
"Ya ..." ujar Addie mengeringkan tubuh Sabi dengan handuk miliknya, "tapi nggak disini."
"Padahal enak di shower" ujar Sabi kecewa, namun ia membiarkan Addie membelai dirinya menggunakan handuk berwarna putih itu.
"Dasar nggak sabaran" gerutu Addie kini bergantian mengeringkan tubuhnya, "aku udah prepare, nggak usah khawatir, malam ini malamnya kamu."
"Serius?" Sabi memicingkan mata seakan menelisik setiap raut wajah Addie.
Adi tersenyum, mengecup pipi Sabi dan mengalungkan handuk putih itu di pundak Sabi. "Aku siap buat malam ini, Sab. Lakuin apapun yang mau kamu lakukan."
Tanpa banyak pikir panjang, Sabi mendaratkan ciuman lembut di bibir Addie, melumat bibir itu pelan seakan takut jika bibir itu bisa mengalami keretakan. Ciuman itu sangat lembut, pelan, namun membuat Addie terbuai. Addie membalas ciuman itu dengan sedikit membuka bibirnya yang semula mengatup, membiarkan lidah Sabi menari di dalam rongga mulutnya, mengecap setiap inci lidahnya.
Dalam ciuman hangat itu, kaki Addie melangkah mundur, diikuti Sabi yang melangkah maju dan menopang tangannya di pinggang Addie, berjaga-jaga agar tubuh Addie tidak jatuh dari pelukannya.
Langkah itu pelan namun pasti, bahkan ketika Addie membuka pintu kamar mandi, ciuman itu tak juga lepas, sampai akhirnya mereka tiba di kamar tidur milik Addie.
Addie mendorong tubuh Sabi, membuat Sabi terhempas di kasur, ia menuju lemari kecil yang memiliki dua laci di samping tempat tidurnya, mengambil benda yang katanya telah ia siapkan untuk Sabi.
"Apa itu?" Sabi mengernyitkan dahi saat melihat dua buah botol yang ada di tangan Addie.
"Pelicin" jawab Addie tersenyum.
"Yang kecil" Sabi memperjelas maksudnya, ia tahu jika botol besar bening itu adalah pelicin namun Sabi tidak tahu fungsi botol kecil berwarna coklat di tangan Addie.
"Poppers" jawab Addie santai.
"Buat apa?" tanya Sabi lagi.
"Kamu beneran nggak tau?" Addie balik bertanya, Sabi hanya menggeleng.
Sungguh, Sabi memang tidak tahu fungsi benda itu. Sabi tidak pernah menggunakannya saat bersama Mario dulu.
"Nanti juga kamu bakal tau" ujar Addie tak menjelaskan.
Addie berbaring di samping Sabi, saat botol kecil itu ia buka, baunya langsung menyeruak ke hidung Sabi. Sabi tidak menyukai baunya, tak bisa digambarkan oleh Sabi, seperti perpaduan alkohol dan entahlah, baunya mirip seperti spritus, bensin dan cairan sejenisnya.
"Aku nggak suka baunya" ujar Sabi mengalihkan hidungnya, "apa itu aman?"
Addie menggeleng, "Yang aku tau ini nggak bagus, tapi ini buat aku, biar aku relax dan nggak sakit. Ini pertama kalinya setelah sekian lama, aku janji kalau udah terbiasa, aku nggak akan pakai ini lagi" Addie menjelaskan dengan lembut dan tersenyum.
"Kamu beli cuma demi aku?" tanya Sabi menatap Addie dengan penuh kehangatan.
Addie mengangguk, "Karena aku mau, Sab. Aku mau coba lagi sama kamu."
Mendengar ucapan Addie, Sabi tak mengambil pusing tentang obat itu, ia akan mencari tahu tentang obat itu nanti, yang terpenting malam ini Sabi juga memang sangat menginginkan Addie.
Addie menyodorkan pelicin, memberikannya pada Sabi. Dengan cekatan, Sabi yang mengerti segera melumasi penisnya dengan pelicin itu sampai merata.
"Wait," Addie menarik nafas panjang, ia membuka botol kecil itu, menghirup isi botol menggunakan hidungnya dan kembali menutup botol itu karena ia sudah tahu Sabi tidak suka baunya, "we can try."
Pelan-pelan, hati-hati. Dengan penuh kelembutan dan kesabaran Sabi mendorong penisnya. Addie meringis, ia kembali membuka botol kecil itu lalu kembali menghirup cairan itu lagi untuk kedua kalinya.
"Teruskan, Sab" pinta Addie dengan nada yang amat sangat siap dibobol oleh Sabi.
Pelan namun pasti, penis Sabi sudah setengah jalan mengarungi anus Addie. Nikmat yang tak bisa dilukiskan oleh Sabi itu membuatnya dikendalikan hasrat, ia ingin penisnya bertengger utuh di dalam sana, sehingga Sabi sedikit memaksa mendorong pinggulnya.
"Aghhhh....."
Sabi mengerang, diiringi rintihan Addie yang berhasil dibobol Sabi.
"Masuk ya?" lirih Addie mengatur ritme nafasnya yang tersengal.
Obat itu berhasil, entah hanya pemikiran Addie saja atau memang obat itu manjur, namun keberhasilan Sabi membobol Addie ada sangkut pautnya dengan obat yang digunakan Addie.
"Sakit?" tanya Sabi mengusap sedikit peluh yang muncul di dahi Addie.
"Sedikit, but better then yesterday" jawab Addie tersenyum dan membelai pipi Sabi.
Addie mengecup bibir Sabi, melumatnya sebentar sebelum akhirnya berkata, "Now, yours is in my body. Do it."
Sabi menggerakkan pinggulnya, sangat pelan, takut akan dirinya menyakiti Addie malam ini. Ritme itu Sabi atur sedemikian lambat, hingga nafas Addie yang tersengal perlahan menjadi desahan yang menggairahkan.
"You can do it harder" desah Addie seakan berbisik di telinga Sabi.
"I will do it" Sabi ikut berbicara dalam keadaan berbisik.
Ritme gerakan pinggul itu perlahan Sabi kendalikan menjadi cepat, amat cepat dan semakin cepat. Addie mengalungkan tangannya di leher Sabi, membiarkan hentakan demi hentakan yang Sabi ciptakan menjadi nada-nada yang menggema di telinganya, ditambah lagi desahan mereka berdua seakan menjadi senandung nyanyian yang menyertai nada-nada yang menggema.
"Sabi .... Ahhhh ... I like it" lirih Addie dalam desahannya yang tertunda.
"Apa? Aku nggak bisa denger kamu" goda Sabi disela pinggulnya yang terus naik turun menghujamkan penisnya di dalam anus Addie.
"Aku suka, Sab." lirih Addie lagi yang tak kuasa menahan nikmatnya pergumulan mereka malam ini.
Sabi mendaratkan kecupan ke bibir Addie, dibalas Addie dengan lumatan lembut yang tak berlangsung lama karena baik Addie dan Sabi sepertinya ingin fokus pada bagian intim mereka dibawah sana.
"Aku juga" balas Sabi kembali mendaratkan kecupan di dahi Addie.
“Aku suka malam seperti ini,” bisik Addie, jemarinya perlahan menyentuh lengan Sabi.
Jari-jari Addie bergerak, mencari tangan Sabi. Saat akhirnya mereka saling menggenggam, detak jantung mereka pun seolah menemukan nada yang sama.
"Peluk aku" pinta Sabi dalam desahannya yang kian membara.
Dan dalam pelukan itu, tubuh mereka menyatu, hangat yang membakar kian menjalar. Tak ada kata. Hanya desah napas yang beradu, dan detak yang setia menemani.
Addie membiarkan dirinya larut dalam dekapan Sabi. Tak terburu, tak juga ragu. Tubuhnya mengikuti lekuk tubuh lelaki itu seperti sungai yang telah lama tahu jalan pulangnya. Kulit mereka bersentuhan di atas kasur yang menjadi saksi, dan dari sana, malam perlahan berpendar.
“Jantung kamu kencang,” gumam Addie, menempelkan telinganya ke dada Sabi. Sedangkan dibawah sana penis Sabi terus menggali seakan sedang mencari benda yang berharga.
“Bukan jantungku, tapi kamu yang terlalu dekat,” jawab Sabi, separuh bercanda, separuh jujur.
Mereka tertawa pelan dalam peluh yang mulai membasahi badan. Tawa yang tak menggema, hanya bergulung lembut seperti bisikan embun di tepi pagi. Di kamar yang temaram itu, tak ada hal lain yang lebih nyata selain dua tubuh yang saling mencari, dan dua jiwa yang saling percaya.
Addie mengangkat wajahnya, menatap Sabi dalam remang. Matanya berbinar bukan karena lampu, tapi karena sesuatu yang tak bisa ditulis, seperti rasa yang hanya bisa dirasakan, bukan dijelaskan.
Sabi membelai garis wajah Addie dengan punggung jarinya, seperti seseorang menyentuh halaman terakhir dari buku kesayangan yang belum ingin ditutup.
“Aku suka cara kamu ngelihat aku,” ujar Addie nyaris berbisik.
“Kenapa?"
“Soalnya… ahhh ... kamu .... nggak pernah lihat aku seperti benda yang harus dimiliki. Tapi kayak lagu yang pengin kamu dengar tiap malam" jawab Addie sedikit tersengal karena ia harus menahan sedikit rasa sakit yang bercampur nikmat di antara kedua pahanya.
Sabi tak bisa berkata-kata. Sebagai gantinya, ia membalas dengan satu ciuman di dahi Addie, lama, sunyi, dan penuh makna, sambil terus menggoyang pinggulnya.
Malam ini tak ada keinginan untuk menguasai, hanya keinginan untuk tenggelam bersama. Jemari saling menyusup di antara sela, napas perlahan menyatu, dan tubuh mereka berbicara dalam bahasa yang hanya mereka berdua mengerti, bahasa kepercayaan, kelembutan, dan rasa yang tulus.
Malam itu terasa abadi. Tak ada waktu, tak ada dunia luar. Hanya detak perlahan dan desir yang tumbuh di bawah kulit. Mereka mengecup, memeluk, dan mendekap bukan karena ingin meraih akhir, tapi karena ingin menikmati setiap jeda, seperti musik yang terdengar paling indah saat didengar pelan-pelan.
Dan di tengah gelap yang bersinar dari keintiman itu, Sabi membisikkan sesuatu ke telinga Addie, pelan, nyaris tak terdengar.
“Aku mau kamu jadi milikku satu-satunya, Ad.”
Addie tak menjawab dengan kata. Ia hanya memeluk Sabi lebih erat, hingga tak ada lagi jarak antara keduanya, kecuali napas dan harapan. Hingga akhirnya Sabi merasa tubuhnya akan meledak. Sabi tuntas, hasratnya terpuaskan, gairahnya tersalurkan, semuanya ia biarkan mengalir di dalam tubuh Addie, denyut penisnya masih terasa, liang Addie seakan membuat saraf penisnya semakin terjepit, disertai desahan yang bersahutan. Sabi begitu puas, sama halnya dengan Addie, tak ada raut penyesalan di wajahnya setelah memberikan dirinya secara utuh pada Sabi.
Sabi merebahkan tubuhnya di samping Addie, memeluk lelaki itu dan menyelimutinya, tak lupa ia kembali mendaratkan kecupan hangat di pelipis Addie.
"I love you, Ad," bisik Sabi pelan, hampir tak terdengar, seperti hembusan angin yang hanya menyapa lalu pergi.
Tapi Addie tak menjawab. Ia sudah terlelap, wajahnya bersandar damai di dada Sabi, napasnya tenang, seperti ombak kecil yang pulang ke pantai setelah menempuh lautan panjang.
Sabi tak kecewa. Tak ada luka di balik diam itu. Ia tahu, cinta tak selalu dibalas dengan kata. Kadang, cinta menjelma dalam bentuk kepercayaan untuk tertidur di pelukan seseorang… dalam rasa aman yang tak bisa dibuat-buat.
Ia mencium pucuk kepala Addie sekali lagi, lama, membiarkan aroma rambut yang masih lembap itu mengendap dalam memorinya. Lalu ia memejamkan mata, memeluk tubuh lelaki yang kini terasa seperti bagian dari dirinya sendiri.
Di luar, malam terus berjalan. Lampu-lampu kota perlahan meredup, dan langit mulai menua. Tapi di kamar kecil itu, waktu seolah diam. Tak bergerak. Seperti ingin memberi mereka ruang yang lebih luas untuk mencintai dalam senyap.
Dan sebelum Sabi benar-benar tertidur, pikirannya melayang sebentar, bukan pada masa depan, bukan pada masa lalu. Tapi pada momen ini, pelukan ini, detak ini, dan rasa yang mengalir di antara kulit dan napas.
Ia tak tahu apakah Addie akan membalas kata itu esok pagi. Ia juga tak tahu akan seperti apa hari-hari selanjutnya. Tapi malam ini, ia memilih untuk percaya bahwa cinta yang tulus tak butuh tergesa. Ia tumbuh, diam-diam, seperti bulan yang setia menyinari malam, meski kadang tertutup awan, tak pernah benar-benar hilang.
Dan dengan pelukan yang tetap erat, malam akhirnya menutup matanya.
Dengan tenang. Dengan hangat.
* * *
Pagi datang pelan-pelan, seperti tamu yang tahu diri. Sinar mentari menyusup lewat celah tirai, menggantikan temaram lampu yang semalam menyaksikan dua hati saling mendekap.
Sabi terbangun lebih dulu. Matanya masih berat, tapi hatinya ringan. Di sebelahnya, Addie masih tertidur, membelakangi, selimut setengah menyelimuti tubuhnya. Napasnya lembut, tapi terasa sedikit jauh.
Sabi tersenyum kecil. Ia mendekat, mengecup bahu Addie, harapannya sederhana, bisa memulai pagi seperti malam yang mereka akhiri dengan hangat, dengan tenang.
Namun Addie menggeliat pelan, lalu bangkit dari ranjang tanpa menoleh. Ia duduk di tepi kasur, mengikat rambutnya dengan cepat, lalu berdiri. Suara langkahnya menuju dapur terdengar biasa saja, seperti pagi pada umumnya tapi bukan pagi setelah malam seperti itu.
Sabi menyusul, mengenakan kaus seadanya. Di dapur, Addie sedang menyeduh kopi, membelakangi Sabi. Aroma robusta memenuhi ruangan, tapi tak menghangatkan udara seperti seharusnya.
“Pagi,” sapa Sabi, pelan, nyaris ragu.
Addie menoleh sekilas, mengangguk. “Pagi,” balasnya datar. Ia menyerahkan cangkir kopi, lalu berbalik lagi tanpa kata.
Tak ada pelukan. Tak ada senyum setengah mengantuk. Yang ada hanya diam yang terasa tipis tapi dingin, seperti embun di cermin kamar mandi, bening, tapi membuat segalanya tak terlihat jelas.
Sabi duduk di sofa, menatap Addie yang kini sibuk membuka-buka ponselnya. Mungkin membaca email. Mungkin pura-pura membaca.
Sabi menyesap kopi, berusaha menenangkan pikirannya.
“Malamnya enak tidur?” tanya Sabi, mencoba menyentuh sesuatu, sekecil apa pun.
Addie hanya mengangguk sambil berkata, “Lumayan.”
Tak ada yang menyebut pelukan. Tak ada yang mengulang bisikan. Tak ada tanya tentang ‘I love you’ yang sempat meluncur lirih malam tadi.
Sabi diam, menatap wajah Addie yang kini tampak seperti Addie yang lain, versi yang rapi, sadar diri, dan menjaga jarak. Versi yang tak sama dengan lelaki yang semalam tidur dalam pelukannya, dengan napas yang percaya dan tubuh yang melebur tanpa kata.
Sabi tahu, kadang pagi mengubah segalanya. Mungkin karena realitas datang menyapa. Mungkin karena ada hal-hal dalam hati Addie yang belum selesai.
Tapi tetap saja, rasa itu mengganjal. Seperti seseorang yang bangun dari mimpi indah, lalu mendapati kenyataan yang tak mengakuinya.
“Ad…” gumam Sabi, pelan.
Addie menoleh, alisnya sedikit terangkat, “Hm?”
Tapi Sabi tak melanjutkan. Ia hanya menggeleng dan meminum kopinya lagi, pahit, tapi lebih jujur dari apapun pagi ini tawarkan.
Dan di antara dua cangkir kopi, dua tubuh yang hanya berjarak satu meter, hati mereka perlahan menjauh. Bukan karena tak cinta, mungkin. Tapi karena ada rasa yang tak dibicarakan, dan keheningan yang terlalu fasih menyembunyikan.
* * *
Pagi menjingga menyibak langit Singapura, menyelimuti gedung-gedung tinggi dengan cahaya hangat yang nyaris seperti pelukan dari kejauhan. Di dermaga menuju Sentosa, Sabi berdiri di samping Addie, mengenakan jaket tipis, rambutnya ditiup angin pagi. Ia melirik ke arah Addie yang sibuk membeli tiket, lalu menunduk sedikit tersenyum.
Addie menepati janjinya. Bahkan setelah malam penuh godaan dan tawa yang bisa saja mengaburkan arah, ia tetap menggenggam niatnya: mengajak Sabi mengenal tempat-tempat yang ia cintai, dengan cara yang sederhana namun penuh makna.
Kereta gantung meluncur pelan di atas perairan, membawa mereka menjauh dari keramaian kota dan masuk ke dunia kecil bernama Sentosa, tempat di mana pasir, laut, dan waktu berjalan lebih lambat.
“Dulu aku sering ke sini sendirian,” kata Addie lirih, saat mereka menyusuri pantai Siloso. Suaranya seperti berbaur dengan ombak yang lembut menggerus pasir. “Tempat ini rasanya selalu memberi ruang untuk aku bernapas. Tapi hari ini... rasanya beda.”
Sabi menoleh, matanya tak bertanya, hanya menunggu.
“Hari ini aku nggak cuma berbagi tempat. Aku berbagi bagian dari diri aku.”
Sabi menggenggam tangan Addie, pelan, tanpa kata. Bukan sebagai klaim, tapi sebagai pengakuan bahwa kehadiran mereka kini tak lagi hanya tentang berbagi pemandangan, tapi juga menyelami isi hati.
Mereka duduk di tepi Palawan Beach. Air laut bergelombang ringan, langit menjingga berubah menjadi biru keemasan. Tak banyak orang di sekitar, hanya mereka dan beberapa langkah sunyi yang menjadi saksi.
“Kamu cepet berubah ya” ujar Sabi setelah keheningan yang panjang. “Sampai aku nggak susah baca pikiran kamu.”
Addie memandangi garis cakrawala, lalu menoleh dengan tatapan yang teduh, "maksudnya?"
"Nggak apa-apa" Sabi menggeleng pelan.
Langit Sentosa mulai menyiratkan warna, jingga keemasan membias di permukaan laut seperti lukisan yang bergerak perlahan. Ombak kecil menyapu pasir, meninggalkan jejak lembut yang segera hilang terganti. Sabi berdiri agak menjauh dari Addie, matanya menatap horizon, namun pikirannya tak tenang sebab bukan laut yang membuat dadanya beriak, melainkan seseorang yang kini tengah tertawa pelan di sampingnya.
Pagi tadi, Addie nyaris tak menoleh, bahkan senyumnya tampak dipaksa. Sabi tak bertanya, hanya memendam diam dan segunduk tanda tanya. Namun kini, di antara desir pantai dan desir suara, Addie seolah berubah menjadi versi yang lebih hangat, bahkan kalimat-kalimatnya mengalir seperti aliran mata air yang menggoda.
“Kamu kenapa diem aja?” tanya Addie sambil berjalan mendekat, jemarinya memainkan ujung lengan baju Sabi. “Biasanya kamu udah mulai ngelucu dari tadi.”
Sabi menoleh, menatap mata Addie yang bening oleh cahaya senja. Ia ingin menjawab santai, tapi hatinya tak pandai pura-pura.
“Aku cuma lagi bingung…” kata Sabi pada akhirnya. “Pagi tadi kamu kayak jauhan. Sekarang kamu... kayak balik lagi ke versi yang kemarin. Yang hangat. Yang nyentuh.”
Addie terdiam. Angin laut meniup anak rambutnya yang jatuh ke wajah. Ia mengusapnya perlahan, lalu duduk di pasir, menatap laut. Sabi mengikutinya, duduk di sampingnya tanpa berkata.
“Maaf ya,” ujar Addie setelah jeda yang panjang. “Kadang aku takut sama rasa sendiri. Aku jadi dingin buat jaga jarak. Padahal aku juga nggak bener-bener pengen jauh.”
Sabi menunduk, menghela napas pelan. “Aku cuma pengen tau, kamu beneran mau aku di sini, atau cuma sesekali ketika sepi datang.”
Addie menoleh, wajahnya serius tapi lembut. “Kalau aku nggak mau kamu di sini, aku nggak akan ajak kamu ke tempat-tempat ini. Tapi aku juga belum sepenuhnya berani, karena aku takut, kalau aku terlalu dekat, aku jadi kehilangan kontrol atas semua yang udah lama aku simpan.”
Kata-kata itu menggantung di udara seperti nada yang belum selesai dimainkan.
Sabi mengulurkan tangan, menyentuh punggung tangan Addie. “Aku nggak minta kamu buka semuanya sekarang. Aku cuma pengen kamu tau, aku di sini bukan buat numpang lewat.”
Addie menggenggam tangan itu, erat tapi tak terburu. Matanya menatap ke laut, tapi suaranya bicara pada Sabi.
“Aku denger yang kamu bisikin semalem, Sab. Aku sengaja nggak jawab karena aku belum selesai belajar percaya, tapi aku nggak mau kamu berhenti menunggu. Aku egois ya.”
"Kalau kamu butuh waktu, aku akan kasih tanpa batas, sampai kamu percaya kalau aku berbeda" Sabi menggenggam lebih erat dan meyakinkan.
Dalam keheningan itu, ombak kembali datang. Tapi kini tak ada kebingungan, hanya dua jiwa yang sama-sama rapuh tapi mencoba saling kuatkan. Mereka duduk di sana, membiarkan angin menghapus kegelisahan, dan membiarkan hati perlahan membuka, meski belum sepenuhnya berani.
Angin laut berembus perlahan, membawa aroma garam dan kenangan yang belum reda. Di tepi dermaga, lampu-lampu menggantung rendah seperti bintang-bintang yang memilih turun ke bumi demi menemani dua jiwa yang saling diam dalam kebersamaan.
Addie menggenggam tangan Sabi lebih erat dari sebelumnya. Keheningan di antara mereka bukan kebekuan, tapi undangan sebuah ruang untuk kejujuran tumbuh perlahan, seperti bunga yang hanya mekar saat malam.
"Kamu masih punya hutang" ucap Addie, suaranya dibawa hembusan angin yang menerpa wajahnya.
Sabi menaikkan alisnya, berusaha mengingat hutang yang Addie maksud, "hutang apa?"
"Kamu belum cerita tentang luka-luka kamu." suara Addie nyaris seperti desir angin, lembut dan tulus.
Sabi menatap jauh ke lautan, matanya menyapu gelombang namun jiwanya menyelam ke dalam kenangan yang dalam dan tak pernah benar-benar ia jamah selama ini. Ia menarik napas yang berat seakan menyelam dulu ke luka itu sebelum mengangkatnya ke permukaan.
“Namanya Mario,” Sabi membuka kisahnya seperti membuka pintu rumah yang telah lama dikunci rapat. “Dia itu rumah pertama yang pernah aku punya dalam bentuk seseorang.”
Addie diam. Tapi dalam diamnya, ada pelukan yang belum dilayangkan, ada pelindung yang ia siapkan.
“Kami saling cinta. Dalam diam, dalam tawa, dalam rahasia yang nggak bisa kami bagikan ke dunia.” Sabi tersenyum getir. “Kami ngerencanain hidup bersama seutuhnya. Tapi rencana nggak selalu sama dengan realita, apalagi realita yang nggak ramah sama cinta kayak begini.”
Matanya mulai berkaca, namun suaranya tetap pelan. “Keluarga. Pandangan orang. Tradisi yang nolak keberadaan kami. Hingga akhirnya... dia pergi. Nggak cuma dia, tapi aku juga pergi. Cuma kepergian yang sepi, yang nyisain tanya di tiap detak waktu.”
Addie menoleh, dan perlahan, ia menyandarkan tubuhnya lebih dekat. Saat Sabi mengusap matanya, Addie meraih wajahnya, ibu jarinya menyapu pelan sisa air mata yang jatuh, seolah ia ingin menghapus kesedihan dari wajah itu, bukan hanya dari kulit, tapi dari jiwa yang telah terlalu lama sendiri.
“Jangan kasihan sama aku, aku nggak suka dikasihani,” bisik Sabi.
“Aku nggak pernah kasihan sama kamu, Sabi.” suara Addie dalam, mengalun seperti musik malam. “Yang aku rasain… justru kekaguman. Karena kamu masih bisa mencintai dengan utuh meski pernah dihancurkan.”
Sabi menatapnya. Mata mereka bertemu, tak ada yang bersembunyi, tak ada yang pura-pura kuat.
“Terima kasih…” Sabi bicara lirih, suaranya nyaris tenggelam di dada Addie yang kini menjadi tempatnya berteduh.
Addie lalu memeluknya, begitu erat, seperti ingin menyatukan retakan-retakan lama itu dengan tenang, tanpa paksaan.
"Kalau suatu saat nanti aku siap nemenin kamu untuk ngebangun rumah itu lagi… aku pasti berdiri di samping kamu. Mungkin... kita bisa ngebangunnya lagi pelan-pelan, bareng-bareng."
Sabi terdiam. Hatinya seperti direngkuh pelan, lembut tapi dalam. Kalimat itu—kalimat yang sederhana tapi penuh janji tak bersyarat—terdengar seperti nada yang selama ini ia tunggu dalam keheningan panjang hidupnya.
Ia menoleh pelan, menatap Addie yang kini menunduk sedikit, seolah masih ragu akan keberanian dirinya sendiri. Tapi justru dalam keraguan itu, Sabi melihat ketulusan yang tak bisa disembunyikan.
"Aku nggak butuh kamu jawab sekarang," ucap Sabi, suaranya serupa desir angin yang menyapu pelan kulit mereka. "kamu bilang kalo kamu denger… itu aja udah cukup untuk bikin aku ngerasa nggak sendirian lagi."
Addie mendongak, dan mata mereka bertemu dalam diam yang penuh arti. Laut Sentosa masih menyuarakan ombaknya, angin masih menari-nari di sekitar mereka, tapi dunia seolah mengecil hanya menjadi ruang milik berdua.
"Rumah itu…" lanjut Sabi, suaranya mulai gemetar karena emosi yang meluap namun tak ingin jatuh menjadi air mata, "…aku udah pernah ngebangunnya sendiri, dan saat roboh, aku pikir nggak akan bisa berdiri lagi. Tapi kamu datang… kamu bawa cahaya di jendela yang udah lama mati."
Addie merapat lebih dekat. “Kalau kamu bersedia sabar… aku juga bersedia belajar. Kita bisa mulai dari fondasi yang paling jujur, saling mengenal lagi, tanpa buru-buru, tanpa paksaan.”
Sabi mengangguk pelan, seperti meneken kesepakatan yang tak tertulis. Pagi menjadi saksi dua hati yang belum sepenuhnya sembuh, tapi memilih untuk merawat satu sama lain. Bukan karena mereka pasti akan selamanya, tapi karena mereka tahu luka tak selalu butuh jawaban, kadang cukup diberi pelukan.
Dan di ujung jembatan Sentosa yang sepi, Addie dan Sabi masih berdiri. Tak ada yang harus mereka lakukan, karena diam mereka pun sudah cukup untuk membangun pondasi pertama dari rumah yang pernah runtuh, rumah yang kali ini mungkin akan mereka bangun bersama.
* * *
Langit siang menggantung biru cerah di atas kepala mereka, seakan tak ada awan yang ingin mengganggu kedamaian hari itu. Matahari bersinar hangat, bukan membakar, tapi menyentuh kulit seperti tangan lembut yang mengusap luka-luka lama. Udara laut yang asin dan jujur membawa aroma pohon-pohon tropis yang tumbuh tinggi di sepanjang jalur setapak.
Di tengah kehijauan Labrador Nature Reserve, di mana sejarah dan alam berbisik dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang pernah patah, Addie dan Sabi berjalan berdampingan. Tak terburu-buru, seolah tiap langkah adalah semacam doa yang mereka lafalkan dalam diam.
“Tempat ini tenang banget, ya…” gumam Sabi sambil mengangkat wajah, memejamkan mata, membiarkan cahaya siang menari di kulitnya
Addie menoleh, tersenyum. “Aku lupa kapan terakhir aku kesini.”
Suara burung mynah yang bersahutan di kejauhan, dedaunan yang bergetar oleh sapuan angin lembut, dan gemuruh ombak yang menghantam batu karang—semuanya menjadi orkestra alam yang mengiringi kebersamaan mereka siang itu.
Mereka tiba di sebuah spot sepi, sebuah paviliun kecil dari kayu tua, menghadap langsung ke laut yang membentang tanpa ujung. Cahaya matahari memantul di permukaan air, menciptakan kilau keemasan yang seperti menyambut mereka masuk ke dunia lain, dunia yang hanya milik mereka berdua.
Addie duduk lebih dulu, menyandarkan punggung pada tiang kayu, pandangan tak lepas dari laut yang seolah bernapas. Sabi menyusul, dan untuk sesaat, hanya suara alam yang berbicara.
“Dulu, aku nggak suka sama laut,” kata Addie lirih, menatap ombak. “Tapi setelahnya justru laut jadi tempat pelarian.”
Sabi menoleh, matanya berbinar dalam terangnya siang, namun lembut, seperti seseorang yang ingin berkata banyak tapi memilih untuk mendengar lebih dulu. “Kalau kamu laut… aku rela jadi pantai. Menunggu semua gelombang kamu datang, meski kadang pasang, kadang surut.”
Addie terdiam. Hatinya bergemuruh, tapi wajahnya tenang. Ia mengulurkan tangan, menyentuh jari Sabi, lalu menggenggamnya pelan, seperti ingin memastikan bahwa kehadiran itu nyata, bukan sekadar mimpi sore hari.
“Kamu tahu… aku takut bahagia,” kata Addie pelan. “Terlalu sering kecewa bikin aku belajar menghindari harapan. Tapi kamu ... kamu datang kayak cahaya di siang hari ini. Nggak menyilaukan, tapi cukup buat aku berhenti menutup mata.”
Addie mengangkat tangan Sabi, membawanya ke dadanya sendiri. “Kalau kamu takut bahagia, izinin aku jadi tempat kamu sembunyi. Aku nggak janji bisa sempurna, Ad… tapi aku bisa janji satu hal.”
“Apa?”
“Kalau hati kamu retak, aku akan duduk di sampingnya. Bukan buat nambal, tapi buat ngejaga supaya tetap berdetak.”
"Gombal!!"
Addie tersenyum samar yang tumbuh di bibirnya, lalu ia bersandar di bahu Sabi. Siang itu tetap tenang, tak ada hujan, tak ada badai, hanya dua hati yang akhirnya belajar untuk tidak melawan kelembutan.
Setelah berjalan menyusuri jalur setapak yang teduh di Labrador, mereka berbelok menuju dermaga kecil yang menghadap pelabuhan. Laut di depan mereka tenang, nyaris seperti kaca, memantulkan warna langit siang yang biru pudar. Kapal-kapal kecil bergoyang perlahan di kejauhan, sementara camar-camar terbang rendah mencari jejak sisa angin.
Sabi datang dengan dua cone es krim di tangan, satu rasa vanilla, satu rasa salted caramel. Ia menyodorkan vanilla ke Addie sambil duduk di bangku kayu panjang yang menghadap langsung ke laut. Kayu bangku itu sudah tua dan penuh coretan nama, tapi justru terasa akrab seperti tempat yang menyimpan banyak cerita cinta yang tak sempat ditulis.
“Kenapa kamu pilih salted caramel?” tanya Addie, sambil menjilat es krimnya pelan.
Sabi tersenyum. “Karena kayak hubungan kita. Manis… tapi ada bagian yang asin. Yang nggak selalu mudah. Tapi tetap enak dinikmatin.”
Addie tertawa kecil. “Nggak usah romantis banget. Kamu ngincer eskrimku kan? jangan harap aku mau tukeran es krim, ya.”
“Siapa juga yang mau?” Sabi mengangkat dagunya dengan gaya sok angkuh, tapi matanya menyimpan tawa.
Angin laut mengibaskan rambut Addie yang sedikit panjang, membuat beberapa helainya jatuh ke wajah. Sabi mengangkat tangannya, menyelipkan rambut itu pelan ke belakang telinga Addie. Gerakan kecil yang tak banyak bicara, tapi cukup untuk membuat jantung Addie berdetak sedikit lebih cepat.
“Sab…”
“Hm?”
“Kalau kita punya kapal sendiri, kamu mau kita berlayar ke mana?”
Sabi memutar tubuhnya sedikit, menatap wajah Addie yang kini separuh tertutup bayangan pohon dan sinar matahari yang memantul dari air. “Ke tempat yang nggak ada sinyal. Tapi kamu ada di sana. Jadi aku nggak butuh apa-apa lagi.”
"Kamu masih usaha biar aku cepet jawab pertanyaan kamu yang semalem" ujar Addie mencolek sisa eskrimnya ke pipi Sabi.
"Aku nggak mau lap sendiri, bersihin" ujar Sabi menyodorkan pipinya.
Addie mengedarkan pandangan matanya untuk mengetahui situasi, namun disana hanya ada mereka berdua, dengan cepat Addie menjilat eskrim di pipi Sabi.
"Itu kan yang kamu mau, dasar mesum" ledek Addie tak serius.
"Nggak," Sabi menggeleng, "aku maunya kamu, seutuhnya ... selamanya."
Addie diam. Bibirnya melengkung sedikit, tapi bukan karena tawa. Melainkan karena rasa yang tumbuh pelan-pelan, tanpa didorong, tanpa dipaksa. Seperti air laut yang tahu kapan harus menyentuh pantai.
Mereka duduk bersebelahan, menikmati es krim yang mencair lambat, sementara waktu pun ikut mencair. Tak ada jam yang perlu mereka patuhi. Tak ada tempat yang lebih penting dari bangku kayu itu.
Dan dalam kesederhanaan: satu rasa vanilla, satu salted caramel, dua hati yang duduk sejajar di tepi dunia, cinta tumbuh seperti napas yang akhirnya bebas.
0 komentar:
Posting Komentar