Yusuf dan Mario baru saja tiba di depan rumah Martha, namun bayangan beban yang mereka bawa seolah membeku di udara. Coffeeshop milik Martha yang biasanya riuh, kini tampak sepi, terkunci rapat dalam kesunyian yang mencekam. Yusuf mematikan mesin mobilnya, dan sejenak, mereka berdua terdiam, membiarkan dunia luar mengalir begitu saja. Nafas mereka berirama, seakan tubuh mereka saling menguatkan dalam ketegangan yang tak terucapkan. Di dalam hati Yusuf, sebuah doa mengalir, lirih namun penuh harap: "Tuhan, bantu aku sekali ini, walau aku tak tahu pantaskah aku meminta dalam kesulitan seperti ini."
Ketika mereka melangkah masuk, Martha menyambut mereka dengan ramah, seperti yang selalu ia lakukan, namun senyum itu terasa asing, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam. Di ruang tamu, orang tua Mario duduk di dekat cucu mereka, gelak tawa yang terdengar hangat, namun juga mengiris hati Yusuf, menyadarkannya bahwa segala keceriaan ini bukan untuknya. Tak lama kemudian, suami Martha, Hadi, ikut bergabung, dan percakapan pun mengalir begitu saja, tanpa ada yang menyadari bahwa di tengahnya ada sebuah takdir yang akan mengubah semuanya.
Obrolan ringan, tawa yang tulus, namun perlahan, seperti arus yang tak terhindarkan, arah pembicaraan mulai berubah.
"Jadi, kamu belum menikah, Suf?" tanya Papa Mario dengan nada tegas, tapi masih menyembunyikan kehangatan. Kerutan di wajahnya menceritakan banyak hal, namun suaranya tetap menunjukkan kepedulian.
"Iya, om, belum..." jawab Yusuf, malu, suara tercekat di tenggorokannya.
"Jangan lama-lama, nanti keburu tua, kasihan anak-anaknya kalau orang tuanya sudah uzur sementara mereka masih kecil." Papa menyampaikan dengan nada bercanda, namun dalam kata-katanya ada sebuah tekanan yang mulai terasa semakin nyata.
"Makanya, saya datang ke sini, om. Saya ingin bicara tentang pernikahan," kata Yusuf dengan tekad yang sudah membatu di dadanya, meski hatinya bergejolak tak menentu.
"Maksud kamu...?" tanya Papa, mata penuh tanda tanya, kebingungannya terlihat jelas, begitu juga dengan yang lain.
Di saat itu, Yusuf menatap Mario sejenak. Tanpa kata, Mario menggenggam tangannya erat, seakan memberi kekuatan. Namun, Mario lebih dulu memecah keheningan dengan kata-kata yang hampir tak terucapkan, dan semuanya berubah dalam sekejap.
"Pa, Ma," suara Mario serak, penuh perasaan, "Rio... gay, dan... Mas Yusuf pacar Rio." Ucapan itu terpotong, terbata-bata, namun ada kekuatan yang tersembunyi di dalamnya.
"Maafin Rio... ini pilihan Rio, Rio cinta sama Mas Yusuf. Rio mau menikah sama Mas Yusuf," Mario menambahkan, dan suara itu semakin pecah, bagaikan kepingan hati yang terjatuh satu per satu.
Mama terdiam sejenak, seakan terperangkap dalam kebisuan yang mencekam, sebelum akhirnya suara tangisnya mengisi udara. "Kamu mau menikah sama Yusuf!? Kamu sudah gila! Kamu sadar nggak dengan apa yang baru saja kamu katakan!?"
Martha dan Hadi hanya bisa diam, tak mampu berkata apa-apa, matanya penuh kecemasan, namun tak berdaya.
"Rio sadar, Ma...," Mario mulai terisak, suaranya penuh sesak, "Selama ini, Rio sembunyiin jati diri Rio yang sebenarnya. Rio gay, Rio nggak suka perempuan, Rio suka laki-laki, dan laki-laki itu yang ada di depan Papa sama Mama."
"Tidak!!! Tidak boleh!!! Ini sudah gila! Kamu tahu itu dosa! Walaupun kamu perempuan, Mama nggak akan pernah mengizinkan kamu menikah sama orang yang nggak seiman!" teriak Mama, suara itu berubah menjadi jeritan, penuh amarah dan kebingungan. "Kenapa Tuhan hukum Mama begitu berat!? Apa salah Mama?"
Tangan Mama menggenggam dada, seakan ingin melepaskan segala sakit yang menghimpit hatinya. Semua yang terjadi, semua yang dirasakan, seolah tak bisa lagi ditahan.
"INI PASTI KARENA KAMU, SUF! ORANG-ORANG SEPERTI KALIAN SELALU MEMBUAT ONAR! KAMU YANG MEMBUAT ANAK SAYA GILA!" Mama membentak Yusuf dengan penuh kebencian, matanya menyala-nyala seperti api yang tak bisa dipadamkan.
"Mas Yusuf nggak salah, Ma! Jangan salahin Mas Yusuf!" Mario berusaha membela, meski tangisannya semakin dalam.
"CUKUP!!!" teriak Mama, suara itu seperti petir yang menyambar, menggetarkan segalanya. "Jangan pakai kata cinta! Itu bukan cinta! Itu dosa terkutuk! Itu bisikan setan! Baik agama kamu maupun agama kami, tak ada yang membenarkan itu, SUF!"
Papa yang semula tenang, kini ikut angkat bicara dengan nada yang semakin keras. "Yusuf, kamu yakin? Kamu yakin dengan jalan yang kamu pilih ini?"
Yusuf mengangguk, dengan mata yang penuh air mata, dan suara yang hampir tak terdengar. "Yakin, Om. Saya nggak akan ngecewain Mario."
Papa menatapnya lebih lama, matanya penuh pertanyaan, penuh kebingungan, namun ia akhirnya mengambil napas dalam. "Kamu sudah izin sama orang tua kamu?" tanyanya, dengan nada yang berubah lebih serius.
Yusuf menggeleng pelan, hatinya semakin berat. "Telepon mereka," kata Papa, suara itu berat, penuh makna.
Ragu, namun akhirnya Yusuf mengambil telepon dan menekan nomor yang sudah sangat familiar. Ketika telepon itu tersambung, Papa meminta Yusuf untuk menyerahkan handphone-nya. Suara Abah, ayah Yusuf, terdengar dari seberang.
"Assalamualaikum Pak Iskandar, salam kenal saya Joseph" Papa terdengar sangat ramah menyapa ayahnya Yusuf.
"Waalaikumsalam Pak Joseph, saya Iskandar, ayahnya Yusuf. Yusuf kenapa, Pak?" suara Abah terdengar penuh kecemasan.
"Begini, Pak Iskandar... anak bapak, Yusuf, bermaksud melamar anak saya," kata Papa, suaranya tegas namun dengan nada yang mulai mengeras.
"Loh... kok nggak bilang-bilang, Yusuf nggak ada cerita sama saya. Aduh, mohon maaf Pak Joseph, harusnya saya yang mendampingi."
Namun, tiba-tiba suara Papa berubah, seperti amarah yang tak terbendung. "Masalahnya, Pak Iskandar, anak bapak ini gay! Anak bapak ini membawa penyakit terkutuk kepada anak saya! anak saya yang mau dilamar anak bapak ini laki-laki."
"Jangan asal bicara!" Abah berteriak, suaranya penuh kemarahan dan kekecewaan yang mendalam, "Yusuf, jelaskan sama Abah! apa maksud semua ini!!"
"Maafin Yusuf, Abah" Yusuf tak kuat mendengar hinaan itu sehingga merebut ponsel itu dari tangan Papa dan mengakhiri panggilan telepon.
Percakapan itu berubah menjadi pertempuran verbal yang tak terelakkan, kata-kata menyakitkan saling menghantam, menghancurkan segalanya. Yusuf ingin menangis, namun lidahnya kelu, hatinya hancur, tubuhnya lelah.
"Suf, kamu dengar sendiri kan? Ini semua salahmu! Tidak ada orang tua yang akan menerima ini!" bentak Papa, suaranya penuh kebencian, lalu Papa menatap Mario tajam, "Kamu lebih memilih dia daripada Mama, Ibu yang melahirkanmu, merawatmu, menyayangimu! Ini balasanmu! Anak nggak tau diuntung!"
Mama yang tak bisa lagi menahan sakitnya, pingsan di depan mereka, tubuhnya terjatuh lemah, terkulai di atas sofa, memecah keheningan yang mengerikan itu.
Yusuf hanya bisa menatap, tubuhnya kaku, hatinya retak, mengingat segala yang telah terjadi.
“Cukup, Mas… kita pergi saja… kamu jangan mau dipermalukan mereka…” suara Mario lirih, bergetar, namun penuh pengabdian, tatapannya tak lepas dari Yusuf yang kini hanya mampu tertunduk, tenggelam dalam pikirannya yang mengawang, dalam badai batinnya yang tak mampu ia redakan.
Namun sebelum langkah mereka sempat menyatu, tangan Papa mencengkeram lengan Mario, keras, dingin, seolah tak lagi mengenal darah dagingnya sendiri. Tamparan demi tamparan mendarat, membelah udara malam dengan suara menyakitkan, menghujam wajah Mario, membuat tubuh rapuh itu akhirnya tersungkur ke lantai. Tapi bahkan ketika Mario jatuh, amarah Papa tak jua reda. Tangan itu masih melayang, menghantam, menghancurkan sisa-sisa harapan di mata anak lelaki satu-satunya.
“Om… jangan sakiti Mario! Saya mohon!” jerit Yusuf, suaranya pecah, parau, penuh luka. “Saya akan pergi… saya tidak akan bawa Mario… tapi saya mohon… jangan sakiti Mario…” suara itu menggantung di udara, memohon belas kasihan yang tak kunjung turun, memohon pada hati yang telah tertutup oleh gengsi dan harga diri. Yusuf berdiri kaku, kedua tangannya mengepal, matanya memerah menahan air mata yang menggenang, yang tak kuasa ia tahan.
“Maksud kamu apa, Mas… kita yang pergi… bukan cuma kamu… bawa aku, Mas…” ucap Mario, suaranya pecah, menahan sakit yang menyeruak di sekujur tubuhnya. Namun lagi-lagi, tamparan itu datang, memotong kalimatnya, memutuskan harapannya.
“Hadi! Bawa adik kamu ke kamar!” bentak Papa, nadanya dingin seperti besi yang membelah senja. Hadi bergerak cepat, menyeret paksa tubuh Mario yang lemah, menahan tangisan dan teriakan, menyeretnya ke kamar tamu, lalu mengunci pintu dari luar. Dari balik pintu, suara Mario menggema, memanggil nama Yusuf, memanggil dengan sisa tenaga yang ia punya.
“KAMU PERGI DARI SINI!! PERGI!!!” suara Papa menggelegar, menenggelamkan suara tangis di ruangan itu. Yusuf berdiri membeku, nyaris tak percaya bahwa semua mimpi-mimpinya hancur secepat ini, sekejam ini.
Tak ada lagi yang bisa Yusuf lakukan, hanya tangis pedih yang pecah begitu saja, tanpa malu, tanpa jeda, hanya luka yang tumpah tanpa mampu dibendung. Ketakutan yang selama ini ia pendam kini menjelma nyata, merobek-robek dadanya. Inilah alasan kenapa Yusuf tak pernah berani meminta restu, inilah alasan kenapa ia selalu memilih diam. Jika saja, jika saja sejak awal mereka memilih untuk pergi, mungkin segalanya tak akan seburuk ini. Mungkin mereka sudah bahagia di tempat lain, di mana cinta tak perlu diperjuangkan hingga berdarah-darah.
Dengan langkah gontai, Yusuf meninggalkan rumah itu, meninggalkan jeritan, air mata, dan luka yang menggantung di dinding-dindingnya. Di halaman, kekacauan masih berlangsung, Mama pingsan, tangisan menggema, namun Yusuf sudah tak sanggup lagi memandang ke belakang. Di dalam hatinya, ia terus menggumamkan permintaan maaf untuk Mario, berkali-kali, tak putus, seolah jika ia mengulangnya cukup banyak, luka itu akan sedikit reda.
Tiba-tiba, handphone Yusuf bergetar pelan di saku celananya. Layar yang berkedip memantulkan nama: Mba Lisa. Dengan tangan gemetar, Yusuf mengangkatnya.
“H-hallo… Mba…” suaranya serak, pecah, seolah baru saja dihempas badai.
“Suf… kamu bikin ulah apa sih, Dek? Abah masuk rumah sakit, kata Ibu gara-gara nerima telpon dari kamu! Mba mohon, kamu pulang ya, liatin dulu keadaan Abah…” suara Lisa terdengar cemas, bingung, dan Yusuf hanya bisa terdiam sebentar, menelan gumpalan kesedihan yang hampir mencekiknya.
“Iya, Mba… Yusuf pulang sekarang…” jawabnya pelan, nyaris tak terdengar.
Tanpa peduli pada air mata yang membasahi wajahnya, tanpa peduli pada kehampaan yang menggerogoti dadanya, Yusuf melangkah pergi, meninggalkan halaman rumah Mario, meninggalkan cinta yang sementara ini harus ia kubur. Dalam hatinya, ia tahu: ini belum selesai. Setelah semua ini, ia akan kembali. Ia akan pulang, menemui keluarganya, menjelaskan semuanya, dan setelah itu—setelah itu ia akan kembali pada Mario. Akan kabur. Akan melawan. Akan memperjuangkan yang tersisa dari cinta mereka.
Namun malam itu, di bawah langit yang sunyi, Yusuf berjalan dengan tubuh yang menggigil, dengan hati yang hancur, memeluk satu-satunya yang tak pernah meninggalkannya: kesedihan.
* * *
Setelah sepuluh jam perjalanan yang melelahkan, Yusuf akhirnya tiba di Yogyakarta, dengan harapan yang kini semakin pudar di ujung mata. Ia langsung menuju alamat rumah sakit yang diberikan oleh Mba Lisa, melangkah lemah menuju ruang ICU. Begitu sampai, pandangannya tertuju pada lima kakak perempuannya dan satu kakak laki-laki, Harun, yang sudah berkumpul di depan pintu ruangan itu. Semua diam, terbungkus dalam duka yang tak terucapkan, namun jelas terpancar di mata mereka—mata merah, tanda luka batin yang tak bisa disembunyikan. Kesedihan ini, seolah sudah membeku di udara, menutupi segalanya.
“Siapa yang nyuruh manusia laknat ini kesini!!” suara Harun pecah, penuh kemarahan, seolah tiap kata adalah api yang membakar. Yusuf hanya bisa diam, terluka oleh kata-kata yang seperti duri menusuk jantungnya.
Yusuf, anak bungsu dari tujuh bersaudara, satu-satunya yang tidak berkeluarga, hanya bisa menahan deru hatinya yang hancur. Keempat kakak perempuannya, yang semuanya berhijab, menatapnya penuh kebencian, seolah Yusuf bukan lagi bagian dari mereka. Harun, satu-satunya kakak laki-laki yang punya jarak dua tahun lebih tua darinya, berdiri di tengah, seolah ingin mengusir Yusuf dari kehidupan ini selamanya.
“Kaum sodom, kaum laknatullah kayak dia ini nggak pantes jadi anak Abah, darah orang kayak dia ini halal dibunuh!!” Harun masih melontarkan kata-kata kasar, yang membuat hati Yusuf terpecah, terluka oleh kata-kata yang begitu dalam.
Mba Lisa, satu-satunya yang tetap memberi pelukan, mencoba menenangkan. “Sudah, Run! Abah itu ayah kita semua, Yusuf berhak melihat Abah,” kata Mba Lisa dengan lembut, meski suaranya mulai gemetar menahan air mata.
Namun lima kakak perempuan Yusuf tetap diam, tak mengindahkan kata-kata Mba Lisa. “Kaum sodom!” kata Mba Meira, dengan mata yang penuh amarah, sementara Mba Risna dan Mba Desi hanya bisa memandang Yusuf dengan penuh penghakiman.
Di tengah amarah mereka, Yusuf tak bisa lagi menahan semua yang ada di dalam hatinya. “Silahkan... bunuh Aku jika itu yang kalian mau! Aku nggak pernah menginginkan ini. Aku nggak pernah memintanya! Aku nggak meminta cinta ini, nggak pernah!” teriak Yusuf, dengan air mata yang tak bisa lagi dibendung. Ia ingin melarikan diri, tapi tak ada tempat lagi bagi dirinya di dunia ini. Semuanya terasa asing, termasuk keluarga yang seharusnya memberi kasih sayang.
Mba Lisa, dengan hati yang penuh kasih, mencoba membela Yusuf, namun Ibunya yang datang dengan kata-kata tajam, “Ibu nggak punya anak yang homoseksual. DIA BUKAN ANAK IBU!” Mengucapkan itu, seolah mengubur seluruh harapan Yusuf dalam satu kalimat yang mengiris hati. Kata-kata itu seperti pisau yang mengiris begitu dalam.
Yusuf berdiri diam, seolah semuanya hilang dalam dirinya. Apa yang dikatakan keluarganya tak sepenuhnya salah menurut ajaran mereka, tapi bagi Yusuf, ini bukanlah pilihan. Cinta itu datang dengan cara yang tak bisa ia kendalikan, dan yang ia cintai hanya satu—Mario Stevanus. Namun, kini bahkan untuk mencintai dengan tulus, ia harus menanggung segala beban ini. Cinta yang tak dapat diterima, rasa yang harus disembunyikan dalam kekosongan.
Ibunya mengusirnya dengan kata-kata yang lebih menusuk, “Selagi kamu nggak bawa istri di depan Ibu, Ibu nggak akan pernah anggap kamu anak!”
Yusuf melangkah pergi tanpa berkata apa-apa. Ia tahu, tak ada tempat lagi untuknya. Semua pintu tertutup rapat, bahkan yang seharusnya memberi pelukan hangat. Ia berjalan, meninggalkan keluarga yang seharusnya menjadi tempatnya pulang, namun kini menjadi tempat yang menyakitkan.
Mba Lisa, satu-satunya yang masih bisa memahami, mengejar Yusuf. "Yusuf...!" teriaknya, tapi Yusuf tetap melangkah, tanpa menoleh sedikit pun. Ia berusaha tegar, meski dalam hatinya, ada ribuan air mata yang tak pernah bisa dikeringkan.
Mba Lisa memeluknya erat, merasakan betapa dalamnya luka yang terpendam. “Jangan khawatir, Dek. Kamu nggak sendirian. Kita semua punya jalan yang harus ditempuh, dan ini adalah jalanmu.”
Mereka berpelukan dalam hening yang begitu sunyi, namun penuh dengan rasa sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Yusuf, dengan tubuh yang lelah dan hati yang hancur, akhirnya mengucapkan kata-kata yang penuh dengan harapan meski ia tahu itu hanya impian semu. “Yusuf akan kejar cintaku, Mba. Maafin Yusuf kalau sudah buat malu.”
“Dek... Kamu nggak buat malu siapapun. Ada Mbak yang akan selalu ngerti kamu. Jangan pernah merasa sendirian,” kata Mba Lisa, sambil menahan air mata.
Setelah perpisahan yang begitu pahit, Yusuf kembali melaju di jalan panjang, menuju Jakarta, menuju Mario. Cinta itu yang ia cari, meski harus menanggung segala resiko dan luka yang tertinggal. Namun tubuhnya sudah lelah, dan hatinya sudah lama hancur. Dalam perjalanan yang tak pasti ini, ia hanya memiliki satu tujuan—untuk menemukan Mario, meski tahu, mungkin ia harus kehilangan segalanya demi cinta yang tak diterima oleh dunia.
* * *
Perjalanan panjang yang menempuh lelah tak berkesudahan akhirnya sampai di penghujungnya, namun tidak dengan kedamaian yang ia harapkan. Yusuf tiba di Jakarta tepat setelah adzan maghrib memanggil umatnya untuk beribadah, seakan menandai pergantian hari, namun tak ada yang berubah dalam hatinya. Ia melajukan mobilnya menuju rumah Martha dengan langkah hati yang hampa, seolah dunia menghilang setiap kali ia berpikir tentang Mario. Sesampainya di sana, ia melihat Coffeeshop milik Martha terbuka seperti biasa, lampu-lampu yang berkelip tampak seperti sisa-sisa harapan yang perlahan meredup. Di dalam, Martha masih melayani pembeli, meskipun hatinya sudah terluka terlalu dalam untuk bisa tersenyum dengan tulus.
Yusuf mendekat, ingin bertanya, ingin mencari jawaban yang sudah lama ia cari. Namun, belum sempat ia menyentuh pintu, Hadi, suami Martha sudah menghadangnya, dengan tatapan tajam yang penuh tantangan.
“Ngapain lagi lu kesini, Bro?” kata Hadi, suaranya penuh kebencian, seolah menghalangi segala harapan Yusuf untuk menemukan kedamaian.
Yusuf, yang selama ini menahan segala amarah dan kesedihan, akhirnya tak bisa lagi memendam perasaan itu. “Gua kemaren diem karena gua hormat sama lu sebagai kakak iparnya Mario. Tapi untuk sekarang nggak lagi, jadi gua nggak takut kalo harus ngehajar lu!” Ancaman Yusuf keluar begitu saja, tidak peduli pada siapa pun, yang ada hanya kemarahan dan rasa sakit yang tak bisa ia tahan lagi.
Martha yang mendengar keributan itu segera menghampiri, wajahnya yang cantik kini tampak lesu, seolah beban di pundaknya lebih berat dari apa yang bisa ia tanggung.
“Yusuf...” suara Martha terdengar lembut, namun di dalamnya ada kesedihan yang tak terucapkan. Senyum kecil terlukis di wajahnya, bukan senyum kebencian, tapi senyum yang penuh pengertian. "Pih, biar mamih aja, nggak apa-apa," kata Martha kepada suaminya, seolah mengusir perlawanan yang ada, karena ia tahu, tak ada yang bisa menghentikan Yusuf yang sudah terlalu terluka.
“Duduk dulu, Suf,” ucapnya pelan, memberi ruang bagi Yusuf untuk duduk, namun hatinya semakin terasa sesak.
Yusuf menatapnya penuh harap, seakan mencari secercah harapan yang hampir punah di dalam dirinya. “Dimana Mario, Ci? Yusuf mau ketemu Mario, tolong, Yusuf sangat mencintai Mario. Ijinin Yusuf ketemu Mario, tolong Ci, sekali ini saja!”
Air mata mulai menggenang di mata Martha, mengalir perlahan, jatuh menuruni pipinya yang lembut. “Suf,” ucapnya, suara itu hampir tak terdengar. "Cici ngerti, kalian saling mencintai. Cici bisa lihat dan rasakan itu. Tapi Suf...," Martha terdiam sejenak, berusaha meredam segala emosi yang hampir membuatnya runtuh. “Cici dan keluarga nggak rela kalau kalian nikah. Mau taruh dimana muka keluarga kami? Relasi papa kebanyakan pegurus gereja, dan papa juga anggota legislatif di Manado. Maaf, cici bukan bermaksud sombong, tapi keluarga kami adalah keluarga terpandang. Kalau kalian nikah, nama baik keluarga kami bisa rusak begitu saja. Musuh-musuh papa bisa gunakan ini sebagai kelemahan.” Suaranya semakin tertahan, tak bisa lagi menahan air mata. “Suf... cici yakin, kamu lebih bisa diajak diskusi dibanding Mario. Kamu lebih dewasa, kamu lebih bijak menyikapi ini semua. Jangan cari Mario lagi, Suf. Mario sudah dibawa pergi sama Papa dan Mama. Cici mohon banget sama kamu, biarin Mario pergi. Mario nggak akan lupa sama kamu, tapi sudah cukup semua ini jadi kenangan buat kalian."
Kata-kata itu seperti pisau yang menembus langsung ke dalam hati Yusuf, mengiris luka yang sudah terlalu dalam. “Ci, tolong!! Ijinin Yusuf ketemu Mario untuk terakhir kalinya!” Yusuf memohon, suaranya bergetar, penuh desakan yang mengandung seluruh beban hatinya.
Martha terdiam, tak sanggup lagi berkata apa. “Mario diajak pulang ke Manado, Suf. Minggu depan, Mario ke Swiss, dia disuruh lanjutkan S2 di Bern sama papa.” Suara Martha hampir tak terdengar, seperti bisikan angin yang hilang terbawa angin malam. “Oh, ya, maaf tadi Cici ambil mobil Mario tanpa bilang-bilang. Untuk laptop dan baju-baju Mario, Cici kasih buat kamu aja, Suf,” tambah Martha, suaranya semakin lemah, seolah memecah segala sisa-sisa harapan yang tersisa.
Yusuf hanya bisa berdiri diam, tubuhnya seakan kosong, tak lagi tahu apa yang harus ia lakukan. Hatinya hancur, luluh lantak, tak ada lagi yang bisa dilakukan. Pergi ke Manado, ke mana ia harus mencari Mario, jika di sana pun tidak ada jejak yang tersisa? Nama Mario ada banyak di sana, namun alamatnya tak pernah jelas. Semua yang ia punya hanyalah kenangan—kenangan yang sudah dihancurkan begitu saja oleh takdir yang tidak dapat ia lawan.
Tidak ada yang lebih menyedihkan dari ini. Yusuf merasakan kepedihan yang sangat dalam, lebih dari sekadar kehilangan. Ia telah kehilangan cintanya, dan lebih dari itu, ia kehilangan bagian dari dirinya yang tidak akan pernah bisa kembali. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yusuf merasakan betapa pahitnya cinta yang harus berakhir, tak ada jalan kembali.
Ia berjalan pergi dengan langkah yang begitu berat, seolah seluruh dunia menimpanya, meninggalkan rumah Martha dengan hati yang remuk. Dalam diamnya, hanya satu yang terlintas di pikirannya, “Sekalinya ia mencintai seseorang, berakhir begitu saja... begitu menyedihkan.”
0 komentar:
Posting Komentar