Selasa, 06 Mei 2025

Bokong Yang Kusuka Part 17

17. Pahit Manis Hubungan

Keesokan paginya, suasana di antara Mario dan Yusuf terasa kaku, seperti kabut pagi yang enggan beranjak dari puncak gunung. Baru enam bulan mereka berjalan bersama, namun pohon cinta yang mereka tanam sudah mulai digoyang angin—meski angin itu tak terlalu kencang. Seperti biasa, Yusuf menyiapkan sarapan kesukaan Mario: nasi goreng dengan telur mata sapi, dan segelas susu kacang kedelai. Namun, kali ini dia hanya meletakkannya begitu saja di lemari kecil, tempat di mana biasanya ia menyimpan sisa makanan untuk Mario, tanpa kata atau senyuman yang biasa menghiasi pagi mereka. Setelah itu, Yusuf meninggalkan Mario yang masih tertidur lelap, menuju kolam renang di kompleks apartemen mereka.

Di tepi kolam, Yusuf duduk termenung, Yusuf duduk dengan rokok yang terus menyala, gelas kopi hitam yang mengepulkan uap, menatap kolam yang ramai, namun hatinya terasa kosong. Ia tidak tahu kapan tepatnya kebahagiaan mereka mulai dipertanyakan, namun rasa cemas itu tak pernah benar-benar hilang, berputar-putar seperti daun yang terbawa arus. Tak lama, Mario muncul, membawa piring berisi sarapan dan segelas susu kacang kedelai, lalu duduk di depan Yusuf.

"Aku mau disuapin sama kamu," ujar Mario, suaranya bergetar, penuh harapan yang tak tertutup lagi. "Ini kan yang kamu mau? Kita tunjukkan ke mereka, biar mereka tahu kita pacaran. Ayo, suapin aku."

Mario menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya, meski ia berusaha menahan agar tak jatuh.

"Yo, naik ke kamar. Kamu sendiri yang bilang jangan kayak anak kecil," kata Yusuf dengan lembut, mencoba menenangkan.

"Kenapa? Kamu malu nyuapin aku di sini? Mumpung banyak yang lihat!" Mario semakin terisak, dan nada suaranya sedikit meninggi.

"Pelanin suara kamu, Yo. Nggak enak didenger orang," Yusuf mencoba menenangkan, meski hatinya mulai terasa sesak.

"Kan ini maunya kamu! Aku udah turutin, terus kenapa kamu yang malu sekarang?" Mario tak juga meredakan suaranya. Beberapa pasang mata mulai menoleh, memperhatikan mereka.

Yusuf menarik napas dalam, mencoba mengendalikan dirinya. "Kita ke atas ya, yuk?" ujarnya dengan nada yang lebih tenang.

Mereka berdua membawa sarapan menuju kamar, menaiki lift bersama. Setibanya di kamar, Mario langsung memeluk Yusuf dengan erat, seolah ingin mengunci semua kekhawatiran yang mengganjal dalam dadanya. Air mata yang tak bisa ia bendung kembali mengalir.

"Kamu kalau marah, pukul aku! Atau maki aku sampai kamu puas," kata Mario, suaranya terputus-putus, disertai isakan yang begitu dalam. "Aku nggak mau kamu berubah. Kamu diem, bahkan kamu nggak mau tidur sama aku tadi pagi. Kamu taruh sarapan begitu aja buat aku, nggak ada ciuman, nggak ada kata cinta yang biasa kamu bilang ke aku. Kenapa kamu nggak bilang apa-apa?"

Yusuf menyeka air mata Mario, kemudian mencium keningnya dengan penuh kelembutan. "Aku minta maaf," katanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Mario menyeka air matanya, "Harus gimana lagi aku jelasin? Aku nggak pernah berbuat hal yang aneh di belakang kamu. Aku minta maaf sudah bohong, tapi apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan ini? Bilang sama aku, Mas," suara Mario bergetar. "Besok kita ke Manado, kita bilang sama papa mama kalau kita pacaran, dan kita mau nikah. Tapi kalau aku mati di sana, kamu tinggalin aku aja dan pulang ke Jakarta."

"Jangan ngomong kayak gitu!" Yusuf menegur, memeluk wajah Mario, mencoba menenangkan tangis yang semakin keras.

"Kamu maunya gitu kan? Kamu enak ngomong pake logika. Tapi aku... aku cuma mikir pake hati. Aku nggak sanggup lihat papa sama mama kecewa karena aku. Aku sayang mereka, dan aku sayang kamu, Mas," Mario berusaha menenangkan tangisnya, hidungnya mulai sesak. "Aku nggak bisa pilih antara kamu atau keluarga aku. Aku cinta kamu, tapi apakah kalau kita ninggalin keluarga, semuanya akan selesai? Hati kita akan tenang? Aku belum siap, Mas. Kalau nanti aku siap, aku sendiri yang akan ngomong sama papa mama. Jadi tolong, Mas... biarkan kita bahagia dengan apa yang ada sekarang. Tanpa mikirin apa yang akan datang."

Yusuf memeluk Mario erat, meresapi ketakutan dan kebingungannya yang begitu nyata. Dia merasa egois, merasakan sesak yang dalam. Betapa dia telah membawa Mario ke dalam dilema yang seharusnya tak pernah ada. Cinta yang mereka miliki—meski indah—ternyata berbeda dari yang lain.

"Aku minta maaf... karena aku cemburu berlebihan," ucap Yusuf dengan lirih. "Aku cinta sama kamu, Yo. Itu yang bikin aku nggak bisa terima kalau kamu dekat sama cowok lain, meski itu cuma teman. Masalah nikah... aku janji, aku nggak akan nuntut kamu lagi. Maafin aku, sayang. Karena aku udah bikin kamu berada di antara pilihan yang sulit."

"Maafkan aku juga, karena aku udah bohong sama kamu," Mario berkata pelan, suaranya mulai reda. "Kalau kamu cemburu, aku nggak akan dekat-dekat lagi sama mereka."

Mario memeluk Yusuf erat. Suara tangisnya mulai mereda. Mereka berdiam dalam keheningan, hanya ada rasa saling mengerti yang mengalir di antara keduanya.

"Sekarang, Mas suapin kamu ya," ujar Yusuf, melepaskan pelukan dan beranjak untuk mengambil piring yang tadi ia letakkan di lemari.

"Tunggu dulu," Mario berkata sambil berjalan menuju kamar sebelah. "Aku punya sesuatu buat kamu. Ini alasannya kenapa aku jemput Hans."

Tak lama, Mario kembali dengan sebuah tas gunung besar berwarna merah dengan list hitam, tas yang selama ini Yusuf impikan.

"Aku ajak Hans beli ini karena dia juga hobi naik gunung, sama kayak kamu. Aku nggak ngerti, makanya aku minta tolong sama dia," ucap Mario, menyerahkan tas itu kepada Yusuf. "Aku nggak minta kamu percaya sama aku, karena aku udah bohong. Tapi aku cuma mau bilang, nggak ada satu orang pun yang bikin aku jatuh cinta selain kamu. Aku nggak tertarik sama cowok lain. Won Bin sekalipun, aku bakal tolak."

Yusuf tersenyum lebar, hatinya terasa hangat. Ia mencium kening Mario sekali lagi, lalu memeluknya erat. "Aku beruntung bisa punya kamu, Yo."

* * *

Waktu terus berlalu, menyelusuri setiap detik dengan kesunyian yang menenangkan hati Yusuf dan Mario. Dalam kebersamaan yang penuh kehangatan, tak ada lagi gejolak yang mengguncang hubungan mereka. Bahtera cinta yang mereka arungi tetap teguh berlayar, tanpa goyangan yang bisa menggoyahkan mereka. Di dalam hati Yusuf, hanya ada Mario yang menghuninya, tak ada ruang untuk yang lain. Begitu pula dengan Mario; tak ada yang mampu mengalihkan hatinya, hanya Yusuf yang mampu mengisi ruang terdalam jiwa dan pikirannya.

Tak lagi ada kata pernikahan yang diungkapkan Yusuf, meski dalam relung hatinya, keinginan itu terus tumbuh, menguat. Apalagi setelah kembali dari Belanda, menghadiri pernikahan Yogi. Itu menggetarkan jiwanya, semakin menumbuhkan hasrat untuk sebuah pernikahan—tentu saja, dengan Mario.

Kini, mereka telah menginjak bulan kesembilan dalam hubungan mereka. Desas-desus mulai beredar, tak terhindarkan. Bahwa keduanya tak hanya sekadar rekan kerja atau teman biasa, tetapi sesuatu yang lebih, jauh lebih dalam dari itu. Wajar saja, ketika Andrew dengan bangga mengunggah foto pernikahannya dengan Yogi. Hanya ada Yusuf dan Mario yang diundang dalam perayaan itu. Nama mereka menjadi buah bibir, menjadi bahan perbincangan yang tak pernah padam. Terlebih lagi, perubahan drastis yang terjadi pada Yusuf. Dulu, ia tak segan-segan mendekati para wanita yang pernah berbagi ranjang dengannya. Kini, ia enggan sekadar menegur mereka, tak ada niat sedikit pun untuk mendekat.

Siang itu, di balik layar komputer di ruang kantornya yang megah, Yusuf tengah tenggelam dalam laporan marketing plan dan project yang harus segera ia kirimkan. Namun, kedatangan Mario tiba-tiba membuatnya terhenyak. Wajah kekasihnya yang tampak kesal menyapu udara. Mario membanting pintu ruangan dengan keras, suara benturannya memecah keheningan. Yusuf, yang sedang memfokuskan diri pada pekerjaan, menoleh.

"My Rio, apa yang terjadi? Wajahmu... seperti ketek monyet!" kata Yusuf, menyela derap jari-jarinya yang tengah menari di atas keyboard.

"Seperti kamu sudah pernah nyium ketek monyet saja!" Mario mendengus, kemudian tanpa basa-basi, ia duduk di pangkuan Yusuf dan menyandarkan kepalanya di bahu kekasihnya. Tangan Mario melingkar di leher Yusuf, menyatukan keduanya dalam pelukan yang erat. "Mas... aku capek... aku nggak kuat," keluh Mario, suaranya parau.

Yusuf, dengan penuh kasih, membelai rambut Mario. "Kenapa? Cerita sama mas. Apa yang bikin kamu capek, selain di-sodok sama mas?" ujarnya dengan tawa kecil yang sengaja dilepaskan untuk meredakan ketegangan.

"Tadi... dari mulai di lift sampai di koridor, orang-orang kantor jadiin kita bahan gosip. Mereka bilang aku pengaruh buruk buat kamu. Katanya, aku nularin penyakit ke kamu. Aku nggak sanggup dengerin itu, Mas," Mario mengeluh dalam pelukan Yusuf.

"Jangan didengerin, sayang. Mas juga sudah tahu itu, tapi mas cuekin aja. Hidup ini punya kita berdua, ngapain orang lain ikut campur?" kata Yusuf dengan santai, mencoba menenangkan Mario.

"Kamu selalu nyamakan perasaan kita, Mas. Aku bukan tipe orang yang bisa masa bodoh begitu saja. Aku kepikiran terus, nggak bisa seperti kamu," Mario masih berkeluh kesah dalam pelukan Yusuf.

"Ya sudah, kamu pasti ingin ngomong sesuatu, kan? Coba kasih tahu mas," Yusuf berkata, menyadari bahwa sikap Mario seperti ini selalu mengarah pada sebuah keputusan penting yang harus ia dengar.

"Aku mau resign!" Mario mengungkapkan dengan tegas, meskipun nada suaranya penuh keraguan.

Yusuf terkejut. Matanya membelalak. Ia mendorong pundak Mario, memposisikannya agar mereka saling menatap. Kedua bola mata Mario yang indah dengan kelentikan bulu mata yang memesona itu, tampak begitu dalam. "Jangan becanda, Yo!" Yusuf berkata, suara tegasnya terdengar memohon.

"Aku serius, Mas..." Mario mengusap pipi Yusuf dengan lembut. "Aku benar-benar mau resign."

"Enggak boleh!" Yusuf menolaknya dengan tegas.

Mario melepaskan pelukan Yusuf, berdiri, dan pergi ke kursinya di meja kerja mereka yang terpisah. "Kamu egois banget. Nggak ngerti perasaan aku yang kesiksa dengan semua ini," Mario berkata, menundukkan wajahnya.

"Tapi resign bukan satu-satunya jalan, sayang. Kita bisa switch tim atau kamu bisa pindah divisi, kan? Di kantor juga, mas nggak pernah show off hubungan kita," Yusuf menjelaskan dengan lembut.

"Terserah deh, kamu nggak ngerti aku banget!" Mario membuang wajahnya.

Yusuf mendekat, mencium kening Mario, kemudian mendaratkan kecupan di bibirnya. "Sayang... ini cuma gossip sementara. Seminggu juga mereka bosen sendiri bahas kita. Sabar ya."

"Tapi aku nggak kuat, Mas!" Mario tetap bersikeras.

"Ya sudah, terserah! Lain kali nggak usah minta pendapat, lakuin aja apa yang kamu mau!" Yusuf mulai kehilangan kesabarannya.

"Kamu nggak ngerti aku, Mas!"

"Kamu juga harus ngerti aku!" potong Yusuf, suaranya mulai meninggi. "Aku pengen seharian penuh sama kamu, berangkat bareng, pulang bareng, di apartemen bareng, semuanya bareng. Aku nggak bisa bayangin kalau salah satu rutinitas kita berkurang."

"Mas, kan kita masih serumah, pisah kerja nggak apa-apa," Mario berusaha meyakinkan.

"Kurang sayang kalau cuma itu, Yo. Kalau bisa setiap menit, tiap detik, aku ingin selalu bersama kamu," jawab Yusuf dengan penuh kejujuran.

Mario mendengus. "Bilang aja kamu nggak percaya aku bisa jaga hati di luar sana. Cemburumu berlebihan!"

"Aku udah gila sama kamu, Yo. Aku nggak bisa sedikit pun melewati waktu tanpa kamu. Mau di kantor, di apartemen, di mana pun, aku ingin selalu bersamamu," Yusuf merayu.

"Saling percaya, Mas. Itu yang paling penting," jawab Mario.

"Ya sudah, aku malas debat. Lakuin aja yang kamu mau, nggak usah tanya pendapat aku lagi kalau nggak mau pertimbangin," Yusuf berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah berat.

Sesampainya di smoking area, Yusuf menarik napas panjang, menikmati asap rokok yang mengalir di paru-parunya. Kehidupan, yang tiba-tiba terasa berat, mendorongnya pada keheningan sejenak. Ketika Dina muncul, menawarkan percakapan yang sama sekali tidak menarik minatnya.

"Mas Yusuf, pinjem korek dong," ujar Dina, namun tak ada gairah di mata Yusuf. Ia hanya memberikan korek dengan dingin, tanpa kata-kata lebih.

Dina, yang dulu menjadi sosok yang menghangatkan malam Yusuf, kini hanya membuatnya merasa kosong. "Gossip yang beredar itu beneran ya, mas? Kamu nggak tertarik sama cewek lagi? Kamu pacaran sama Mario?" tanya Dina, menggoda.

"Maaf, Dina. Tapi itu bukan urusan kamu," jawab Yusuf dengan tegas, lalu melanjutkan hisapan rokoknya, tak peduli dengan Dina yang tampaknya mulai kesal dengan penolakannya.

Setelah percakapan singkat yang tak mengubah apapun, Yusuf kembali ke ruangannya. Mario sudah tidak ada di sana. Pikirannya pun kembali dipenuhi oleh kekecewaan. Saat ia berusaha mencari Mario, ternyata Bu Ketty sudah memberi keputusan.

"Kebetulan ada kamu, Suf," kata Bu Ketty dengan senyuman. "Mario kan hari ini terakhir, jadi mulai besok kamu gabung sama Samuel."

Perasaan Yusuf terkoyak. Mario telah mengambil keputusan sendiri, tanpa memberinya kesempatan untuk berbicara.

Dengan langkah berat, Yusuf kembali ke ruangan Samuel, di mana ia harus menghadapi kenyataan dengan hati yang semakin kesal. Diskusi panjang soal pekerjaan terasa begitu hambar. Keadaan di luar itu lebih membuatnya terluka. Tak lama setelah itu, ia kembali ke ruangannya dan melihat Mario keluar dari ruangan itu.

"Aku pulang duluan, aku tidur di rumah cici aja" kata Mario tanpa menoleh, dan meninggalkan ruangannya. Yusuf hanya bisa menatapnya, kecewa tanpa kata.

Yusuf menghempaskan tubuhnya di kursi. Menatap lurus ke depan dengan pandangan hampa. Seandainya ada Yogi, Yusuf pasti sudah menceritakan permasalahannya, namun kini Yusuf seorang diri, tak ada lagi yang bisa mendengar keluh kesah hidupnya. Sampai akhirnya, ia menemukan dirinya duduk sendiri di ruangannya, merasa terasing dari semua yang pernah ia yakini. Pikirannya yang kosong itu akhirnya membawa tidur dalam diamnya.

Ketika terbangun, hanya ada satu yang terbersit: ia harus menjemput Mario. Tak peduli apapun yang terjadi, ia tak bisa membiarkan kebahagiaan mereka menghilang begitu saja.

Yusuf mengendarai mobilnya, menuju rumah Martha selaku kakak kandung dari Mario. Yusuf bertemu Martha di coffeshop milik Martha sebelum akhirnya meminta ijin untuk menjemput Mario di rumah Martha.

"Maafin aku," kata Yusuf dengan tulus setelah menyambut Mario di depan rumah. "Pulang sama Mas, ya? Guling Mas yang empuk cuma kamu doang."

"Jangan ngambek lagi dong! mas nggak kuat kalo dicuekin gini!" sambung Yusuf lagi karena Mario masih bungkam.

"Kamu pikir aku bisa lama ngambek sama kamu, maafin aku juga ya" Mario mengeluh manja, namun akhirnya memeluk Yusuf dengan lembut.

Seiring berjalannya waktu, kisah cinta mereka berwarna oleh segala pahit manisnya. Pertengkaran kecil tak pernah bisa memadamkan api cinta mereka. Meski kadang ada jarak yang tercipta, Yusuf dan Mario tahu bahwa mereka selalu membutuhkan satu sama lain. Kini, di ulang tahun kedua hubungan mereka, Yusuf yakin dengan satu hal: ia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama Mario, dalam segala suka dan dukanya.

0 komentar:

Posting Komentar