Apa asyiknya menulis cerita?
Bagi Sabi, dulu menulis itu semacam ritual suci, sebuah tempat aman yang membebaskan semua rasa yang tak sempat ia ungkap ke siapa-siapa. Tapi akhir-akhir ini, segalanya terasa kosong.
Ide-ide yang dulu berisik di kepala, kini hilang, entah dibawa angin atau disembunyikan oleh waktu.
Sudah berapa lama laptop itu menyala tanpa satu kata pun ditulis?
Entah. Yang jelas, sore itu Sabi menyerah.
Dia menutup layar laptopnya dengan pelan, seperti menidurkan bayi yang tak kunjung tertidur, lalu bangkit dan berjalan ke dapur. Ia menyeduh kopi, berharap aroma robusta yang hangat bisa jadi mantra pemanggil inspirasi.
Tapi tak lama, ponselnya berdenting.
Notifikasi dari Instagram.
Ia mengangkat alis, sedikit penasaran. Saat dilihat, senyumnya mengembang.
"Bang, salam kenal. Gua pembaca lu di wattpad... Apa tawaran curhat itu masih berlaku?"
Kalimat pertama itu saja sudah cukup untuk membuat jantung Sabi berdetak lebih cepat. Bukan karena senang semata, tapi karena ada sesuatu di nada pesan itu yang... entah kenapa, terdengar penting.
"Gua suka banget cerita-cerita lu, dan gua pengen cerita. Siapa tau bisa jadi inspirasi lu buat nulis."
Sabi tersenyum tipis, lalu mengetik balasan:
"Hai, salam kenal. Makasih ya udah baca tulisan gua yang masih jauh dari kategori bagus. Ngomong-ngomong, cerita apa nih? Tapi gua nggak janji ya bisa gua tulis. Gua harus tertarik dulu sama ceritanya, biar nulisnya juga enak."
Balasan tak butuh waktu lama.
"Semoga menarik ya bang. Tapi tolong, nama gua disamarkan. Termasuk nama-nama yang nanti gua sebutin."
"Pasti," balas Sabi. "Coba lu mulai dulu aja, singkat-singkat juga nggak apa."
Dan kemudian, ia membaca:
"Oh ya kenalin, Bang. Nama gua Arki. Gua kerja di Kamboja."
Sabi langsung membalas cepat.
"Waaah, gua juga pernah ke Kamboja. Kerja apa disana?"
Arki mengetik lagi.
"Lu pasti tau deh kerjaan gua. Kayak yang lagi rame di TikTok. Gua kerja di judi online."
Sabi mengernyit, bukan karena menghakimi, tapi karena penasaran. Lalu mengetik:
"Oh ya? Terus?"
"Gua punya cerita, bang. Tentang temen sekamar gua di sini. Sama-sama Indo."
"Wait, ini gay kan?" tanya Sabi setengah bercanda, setengah serius.
"Ya iyalah bang. Gua baca cerita lu soalnya buat kaum gua juga. Hehe."
"Sorry gua banyak motong ya... terusin."
Arki pun lanjut bercerita.
"Gua mau cerita tentang percintaan gua disini bang, percintaan gua yang berubah setelah kenal dia."
"Gua inget hari pertama gua sampai di mess. Malem itu hujan, bukan hujan deras, tapi cukup buat ngebasahin bahu waktu jalan dari kantor ke pintu depan mess. Gua masih inget bau tanah, bau plastik kresek, dan suara kodok di got belakang. Gua masuk kamar, dan ketemu dia."
"Namanya Lian. Tingginya cuma beda dikit dari gua. Kulitnya sawo matang, rambut cepak, matanya kayak mata orang yang udah ngelihat banyak hal tapi milih diem aja."
"Awalnya gua biasa aja bang. Kita kerja bareng, makan bareng, kadang begadang bareng nonton film bajakan dari hardisk. Tapi ada satu malam..."
Sabi makin serius membaca. Kopinya sudah dingin. Tapi hatinya malah mulai hangat.
"Satu malam itu, lampu mati. Gua kebangun karena AC ikut mati, gerah banget. Lian belum tidur, dia lagi duduk di kasurnya, ngerokok dalam gelap. Cahaya korek api sempat nyorot mukanya sebentar."
"'Gak bisa tidur?' tanya dia."
"'Gerah.' Gua jawab sambil selonjoran."
"Dia geser dikit, duduk di ujung kasur gua. Terus tiba-tiba dia nyalain senter HP, ngarahin ke wajah gua. 'Ganteng juga lo kalau berkeringat,' katanya."
Sabi membaca kalimat itu pelan. Ia mengulanginya sekali lagi dalam kepala. Lalu mulai mengetik:
"Itu momen pertama lu merasa aneh?"
"Bukan sih bang, kalo ngerasa aneh itu dari awal kenal dia. Itu momen pertama gua ngerasa dilihat, bang. Gua ngerasa... ada orang yang beneran mandang gua. Gua yang selama ini cuma numpang hidup, numpang kerja, numpang napas."
Arki melanjutkan.
"Setelah malam itu, semuanya berubah. Kita jadi lebih deket. Ada momen-momen kecil, yang dulu gua anggap biasa, tapi malah terasa... sakral. Kayak waktu dia nyisain ayam goreng karena tau gua suka paha. Atau waktu dia nolak cewek Indo yang naksir dia, cuma karena 'udah ada yang bikin nyaman' katanya."
"Gua jadi baper, bang. Tapi gua juga takut. Takut dia bercanda. Takut gua yang salah rasa. Tapi suatu malam, dia tidur di kasur gua. Kita nggak ngapa-ngapain. Cuma pelukan. Tapi entah kenapa, pelukan itu lebih hangat dari segalanya."
Sabi terdiam. Tangannya berhenti di atas keyboard. Dunia seolah melambat, hanya suara kipas dan jantungnya yang terasa.
Ia membuka laptop lagi. Tangan-tangan yang tadi beku, kini mulai menari di atas keyboard.
Sebuah cerita mulai terbentuk.
Tentang seorang Arki, tentang rahasia yang tumbuh di kota asing, tentang cinta yang tak memilih tempat lahirnya.
Dan tentang seorang penulis, yang menemukan kembali alasan untuk menulis, bukan karena ide yang datang dari kepala, tapi dari hati orang lain yang berani membuka luka.
0 komentar:
Posting Komentar