Hari pertama Sabi di kantor barunya dimulai dengan langkah yang ragu tapi penuh tekad. Gedung kaca menjulang tinggi di pusat Orchard menyambutnya dengan pantulan langit yang bersih. Ia mengenakan kemeja putih gading yang baru disetrika semalam, berharap hari ini berjalan mulus.
Interior kantor tampak modern dan hangat. Meja-meja kayu terang, lampu-lampu gantung berwarna tembaga, dan suara sepatu di lantai vinyl membentuk irama pagi yang sibuk namun teratur. Sabi memperkenalkan diri pada beberapa rekan kerja, menghafal nama-nama dengan sopan senyum, sambil diam-diam menyeka telapak tangannya yang dingin oleh gugup.
Waktu istirahat kerja Sabi berniat untuk mencari makan, ia keluar dari ruangannya, matanya menyusuri setiap denah ruangan lain yang bersebelahan dengan ruangannya, hingga matanya menangkap satu sosok di balik workstation yang semi terbuka. Pria itu menunduk, sibuk mengetik sambil sesekali menyisipkan headphone ke telinganya. Tapi Sabi tahu. Ia tahu garis bahu itu, tahu cara tangan itu bergerak, dan tahu senyap yang justru bicara banyak.
“Hei?” panggilnya pelan, setengah tak percaya.
Pria itu mendongak, dan senyum kecil terbentuk di wajahnya seketika. “Eh... Kamu?”
Suara itu menembus balik formalitas ruangan. Bukan hanya sapaan biasa, tapi seperti percikan ke dalam kolam tenang yang tiba-tiba jadi hangat.
“Loh ... Kamu kerja di sini?” tanya Sabi, langkahnya sudah lebih dekat tanpa ia sadari.
Addie berdiri dari kursinya, lalu tertawa kecil. “Iya. Surprise, ya?” Ia menepuk meja pelan. “Bagian content design, weekdays di sini. Sabtu-Minggu… ya, kamu tahu sendiri,” katanya sambil melempar pandangan penuh isyarat.
Sabi ikut tersenyum. “Kamu nggak bilang waktu itu.”
“Gimana ya,” Addie mengangkat bahu, “klien biasanya nggak terlalu nyaman kalau tahu tukang pijat mereka juga bikin presentasi brand orang.”
Mereka tertawa kecil bersama. Suasana mendadak cair, tak sekaku lingkungan kantor yang formal. Tapi di balik tawa itu, ada hal lain yang mengendap di dada Sabi. Perasaan aneh yang belum selesai sejak pertemuan mereka sebelumnya. Seolah waktu berhenti di ruang sempit itu dan kini berdenyut lagi di tempat baru, dengan konteks yang sama sekali berbeda.
“Jadi kita bakal sering ketemu, ya?” tanya Sabi, nada suaranya sengaja dibuat ringan.
“Kayaknya begitu,” jawab Addie, menatap langsung ke arah matanya kali ini, tidak sekilas. “Tapi sekarang... bukan sebagai terapis lagi. Kali ini, kita rekan kerja.”
Ada jeda di sana. Sebuah jarak tak terlihat yang mereka berdua sadar sedang diukur ulang. Namun di balik kata-kata yang formal itu, ada kesepakatan diam-diam bahwa cerita mereka belum selesai. Hanya saja, sekarang, halaman barunya dimulai dengan setting berbeda.
Dan Sabi tahu... kantor ini mungkin bukan hanya tempatnya bekerja, tapi juga tempat di mana detak yang ia coba redam bisa kembali berdentum pelan-pelan.
"Lagi sibuk?" tanya Sabi
"Lumayan, kenapa?" Addie balik bertanya.
Addie menyandarkan tubuhnya sebentar ke sandaran kursi, jemarinya masih menggantung di atas keyboard.
“Kenapa?” ulangnya dengan nada ringan, tapi sorot matanya tajam, seolah mencoba membaca sesuatu di balik wajah Sabi.
Sabi menarik napas pelan, lalu menyandarkan lengan di tepi workstation Addie.
“Aku cuma mikir... mungkin kita bisa makan siang bareng. Kamu pasti tahu tempat yang enak di sekitar sini, kan?”
Addie menatapnya, lalu senyum itu muncul lagi, senyum yang tidak sepenuhnya profesional, tapi juga belum sepenuhnya personal. Sesuatu di antaranya.
“Aku tahu satu tempat ramen enak di ujung jalan. Nggak fancy, tapi kuahnya kayak pelukan hari Senin.”
Sabi tertawa kecil. “Kayaknya itu yang aku butuhin sekarang.”
Addie mengangguk. “Oke. Jam dua belas pas ya? Biasanya rame, tapi kalau kita jalan agak cepat, dapet tempat duduk yang bagus.”
“Deal.” Sabi mundur setengah langkah, tapi sebelum berbalik, ia berkata, “Thanks, Ad. Buat... bikin hari pertamaku di sini nggak terlalu asing.”
Addie menatapnya sebentar, lalu menjawab pelan, “Kadang, hal-hal yang asing justru bisa jadi awal yang familiar. Kita lihat aja nanti.”
Sabi melangkah pergi, tapi langkahnya terasa lebih ringan dari tadi pagi. Di balik gedung kaca yang formal ini, ada percikan kecil yang mulai menyala perlahan—tanpa terburu-buru, tanpa perlu diberi nama. Hanya dua orang yang tak sengaja dipertemukan dua kali, dan mungkin... sedang mencoba menuliskan ulang takdir, satu makan siang dalam satu waktu.
* * *
Langit siang di Orchard tak sepenuhnya cerah, sedikit mendung, seperti menyimpan ragu tapi tetap hangat. Sabi dan Addie melangkah berdampingan keluar dari gedung, menyusuri trotoar yang ramai. Hiruk pikuk kota metropolitan terasa berbeda saat ditemani seseorang yang tak hanya akrab, tapi juga menggugah rasa yang masih menggantung.
“Apa ramen-nya beneran sehangat pelukan hari Senin?” tanya Sabi sambil melirik Addie di sebelahnya.
Addie tertawa. “Itu hiperbola marketing pribadiku, sih. Tapi rasanya emang bikin nyaman. Kamu suka pedas?”
“Kadang. Tapi hari ini kayaknya aku butuh yang gurih-gurih tenang.”
Mereka tiba di sebuah kedai ramen kecil, tersembunyi di antara deretan ruko modern. Aroma kaldu tebal menyeruak keluar begitu pintu kaca dibuka, menyambut mereka seperti memeluk dari dalam.
Mereka duduk di pojok ruangan, tepat di bawah lampu gantung bulat yang cahaya kuningnya membentuk suasana sendu namun akrab. Tak lama, dua mangkuk ramen disajikan, mengepul dengan aroma yang menggoda.
“Jadi,” Sabi membuka percakapan setelah menyeruput kuah, “apa rasanya punya dua dunia? weekdays jadi content designer, weekend jadi... penyembuh?”
Addie tersenyum tipis. “Penyembuh apanya, kemaren aja ada yang nolak disembuhin."
Sabi ikut menyunggingkan senyuman tipis mengingat kejadian tempo hari dimana Sabi menolak tawaran Addie untuk menuntaskan gairahnya.
"Lucu sih. Kadang kayak punya dua identitas. Tapi dua-duanya adalah aku, justru aku bisa bernapas karena keduanya” Lanjut Addie puitis
“Dan kamu nyaman?”
“Pernah nggak nyaman. Pernah ngerasa harus milih. Tapi aku capek berpura-pura buat sesuai ekspektasi orang. Aku milih jadi diriku sendiri bahkan kalau itu artinya orang lain akan salah paham.”
Sabi menatapnya sebentar. Kalimat itu menyentuh lebih dalam dari yang ia kira. Seolah Addie tak cuma bicara soal dirinya sendiri, tapi juga menyentuh benang-benang yang belum sepenuhnya Sabi berani tarik ke permukaan.
“Sabi,” suara Addie merendah, nyaris seperti bisikan, “aku seneng ketemu kamu lagi. Tapi aku juga tahu... ini rumit. Apalagi sekarang kita satu kantor.”
Sabi mengaduk ramen-nya perlahan. “Aku juga mikir gitu. Tapi... dari semua hal yang rumit, kamu satu-satu yang bikin aku pengen tetap rumit di dalamnya.”
Addie tertawa renyah, "please ... jangan sampai orang kantor tahu, Sab. Ini rahasia kita."
Untuk sesaat, tak ada yang bicara. Hanya suara sendok, sumpit, dan sesekali bunyi angin dari pintu yang terbuka. Sabi mengangguk. Tak perlu janji, tak perlu arah. Siang itu hanya mereka berdua, mangkuk yang hampir kosong, dan sesuatu yang tumbuh, bukan dalam kata-kata besar, tapi dari sisa kehangatan kuah ramen dan tatap mata yang mulai tak ingin berpaling.
* * *
Sabi berjalan menuju meja Adi dengan langkah yang sedikit ragu, masih merasa asing di lingkungan kantor barunya meskipun di hari pertama bekerja ini Sabi merasa mendapatkan sambutan hangat dari semua rekan kerja di kantor itu baik dari pekerja lokal maupun pekerja yang berasal dari Indonesia. Mengenai Adi, Sabi merasa ada sesuatu yang menarik di balik pertemuan pertama mereka yang tak terduga itu, dan kini, di sini mereka kembali berada dalam satu ruang yang sama, meski dengan dinamika yang berbeda.
"Hey, Ad" Sabi menyapa pelan, menyentuh meja Addie. "Kamu udah mau pulang?"
Addie mendongak, menatapnya dengan senyum kecil. "Iya, baru aja mau beres-beres. Kamu? Mau pulang juga?"
"Emm, iya sih. Oh ya ... kamu tinggal dimana?" tanya Sabi, mencoba membuka percakapan lebih lanjut.
Addie mengerutkan kening sejenak, lalu tersenyum. "Deket sini, tepatnya di deket Paragon. Aku biasa ke kantor jalan kaki."
Sabi terkejut. "Serius? Aku juga disana" jawabnya sambil menunjuk ke arah gedung yang berada di sisi jalan yang sama. "Wah, jangan-jangan kita tetanggaan, nih."
Addie tertawa kecil. "Iya, kayaknya gitu."
Sabi berpikir sejenak, lalu dengan sedikit antusias, dia bertanya, "Gimana kalau kita pulang bareng? Bisa kali sekalian ajak aku jalan-jalan keliling Orchard, kenalin dulu aku sama tempat-tempat di sini."
Addie tersenyum lebar. "Boleh juga, aku nggak ada rencana, kok."
Mereka pun melangkah keluar dari kantor, suasana malam yang mulai terasa lebih hidup dengan lampu-lampu kota yang berkilauan memberi nuansa yang berbeda. Mereka berjalan kaki, menikmati udara malam yang sejuk sambil berbicara ringan tentang hal-hal sehari-hari. Sabi mulai merasa lebih nyaman, seolah hubungan mereka yang sebelumnya dipenuhi ketegangan kini mengalir lebih alami.
"Kalau kamu mau lihat tempat favorit aku, kita bisa ke sini," ujar Addie sambil mengarahkan Sabi ke sebuah jalan kecil yang agak sepi namun penuh dengan kafe-kafe kecil yang nyaman.
"Bukan tempat yang aneh-aneh kan?" Sabi memicingkan mata.
"Tenang, aku anehnya kalau jadi terapis doang. Di luar itu, I am normal" jawab Addie tertawa.
Mereka berdua melangkah ke arah kafe kecil yang berada di sudut Orchard, dengan pemandangan kota yang terlihat indah di kejauhan. Lampu-lampu kota yang berkilau di malam hari menciptakan suasana yang intim, seakan waktu berhenti sejenak untuk mereka berdua. Musik jazz yang lembut mengalun di latar belakang menambah kesan hangat pada malam itu.
Sabi dan Addie duduk di sebuah meja kecil dekat jendela, memesan beberapa hidangan untuk berbagi. Percakapan mereka terus mengalir, mulai dari hal-hal ringan tentang kehidupan di Singapura hingga pengalaman-pengalaman lucu yang pernah Addie alami sejak pertama kali tinggal di kota itu. Namun, semakin lama, percakapan itu mulai berubah menjadi lebih dalam.
Dari tempat itu, kota terlihat seperti lautan cahaya—lampu-lampu kendaraan menyala bak kunang-kunang, gedung-gedung tinggi memantulkan bias jingga ke langit malam yang tenang. Di dalam, musik akustik mengalun pelan, nyaris seperti bisikan, menyatu dengan denting gelas dan obrolan yang tak mengganggu.
Sabi menyentuh gelas kopinya, menatap uap yang naik perlahan seperti napas dari hari yang panjang.
“Aku suka tempat ini,” katanya pelan. “Hangat, tapi sepi. Pas.”
Addie menyesap kopinya, lalu mengangguk. “Aku sering ke sini. Biasanya sendiri. Tapi sekarang... lebih hangat.”
Sabi menoleh, mata mereka bertemu dalam diam yang tak canggung.
“Aku masih kepikiran waktu di tempat pijat itu,” ucap Sabi tiba-tiba, jujur.
Addie menoleh pelan. “Kan udah kamu tolak.”
Sabi menatap lurus ke depan. “Bukan itu, tapi gimana kamu tahu kalau aku ... maksudku kita sama.”
Addie tertawa kecil, tak menoleh. “Aku bukan peramal, aku juga nggak ngerti radar-radar begituan."
"Terus ...?" Sabi mengernyitkan dahi.
Addie tersenyum menatap Sabi. "Bunyi notifikasi dari Grindr itu... khas. Kamu lupa matiin notifnya. Dasar pengguna baru.”
Sabi tertawa sendiri dibuatnya, memang dasarnya Sabi tidak terlalu paham menggunakan aplikasi itu, bahkan semalam Sabi sudaih menghapusnya karena dia mengganggap aplikasi itu ribet karena harus diupgrade ke pro, atau dalam kata lain harus merogoh kocek lagi.
"Lagian ngapain main aplikasi dating begitu" sindir Addie menyesap kembali kopinya.
"Iseng aja, siapa tahu nemu jodoh" jawab Sabi asal.
"Berharap jodoh dari aplikasi begituan, itu cuma buat meet, fun, and then saling melupakan" ujar Addie.
Sabi tersenyum kecil, tak langsung membalas. Ia menatap cangkir kopi yang mulai mendingin, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Kota di hadapan mereka terus bergerak, tapi anehnya, waktu di dalam kafe itu seperti melambat. Setiap detik terasa lebih bermakna, seolah-olah dunia sengaja memberi ruang bagi dua hati yang sedang mencoba memahami satu sama lain.
“Aku nggak nyari yang instan, Ad,” ucap Sabi pelan, suaranya seperti bisikan pada dirinya sendiri. “Aku cuma... nyari yang bisa duduk sama aku begini. Diam. Tapi ngerti.”
Addie menoleh, menatap wajah Sabi dalam cahaya temaram lampu gantung yang menggantung rendah. Ada sesuatu dalam sorot mata itu, rapuh tapi tidak lemah. Jujur, tapi tak meminta belas kasihan.
“Ngerti itu bukan perkara mudah,” kata Addie, lirih. “Kadang ... kita bahkan butuh waktu seumur hidup cuma buat ngerti sama diri sendiri.”
Sabi mengangguk pelan. “Tapi malam ini, entah kenapa... aku ngerasa lebih deket sama tujuanku cari jodoh itu.”
Addie tak langsung menjawab. Ia menatap ke luar jendela, ke arah langit yang nyaris tanpa bintang, tapi tetap indah dengan pantulan cahaya kota. “Kemaren kamu nggak mau aku godain, malam ini malah ngegodain aku.”
Sabi tersenyum, lembut. “Atau karena kamu bisa jadi tempat aku belajar. Pelan-pelan, tanpa harus buru-buru jadi utuh.”
Addie terdiam. Hanya senyum tipis yang akhirnya muncul, begitu lambat tapi utuh. “Kamu tahu nggak, itu kalimat paling indah yang pernah aku dengar selama tinggal di kota ini.”
Sabi tertawa kecil. “Berlebihan.”
“Serius,” kata Addie, kini nada suaranya lebih lembut. “Di kota yang serba cepat ini, semua orang sibuk mengejar sesuatu, tapi lupa berhenti untuk merasa. Dan kamu datang... dengan cara yang lambat tapi penuh kejujuran. Buatku itu ... langka.”
Angin malam dari sela jendela membawa aroma kopi dan suara musik yang
berubah jadi lagu cinta lama, dinyanyikan pelan dengan nada sendu.
Mereka duduk dalam keheningan yang penuh makna—sebuah jeda di antara
luka dan harapan.
“Aku pernah marah sama dunia karena aku harus jadi seperti ini,” bisik Addie, nadanya nyaris tenggelam dalam musik. “Tapi makin aku melawan, makin aku kehilangan diriku sendiri.”
Sabi menatapnya. “Lalu apa yang kamu lakuin?”
Addie menarik napas panjang. “Aku berhenti bertanya kenapa. Dan mulai belajar mencintai diriku sendiri tanpa harus mempertanyakan kenapa dan mengapa aku jadi kayak gini.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Namun kali ini, bukan karena kebingungan atau jarak, melainkan karena ada sesuatu yang tak perlu dijelaskan. Seperti pelukan dari kejauhan, seperti embun yang tak jatuh namun tetap menyentuh.
Di luar jendela, lampu-lampu kota terus menari, membentuk gugusan bintang buatan yang tak kalah indahnya dari langit yang asli. Dan di dalam ruang itu, dua hati sedang menyala perlahan, nyala yang tak membakar, hanya cukup untuk menghangatkan bagian-bagian dalam diri yang dulu pernah dingin.
Sabi menatap Addie. Wajahnya tenang, matanya berbicara lebih dari apa pun yang bisa diucapkan. Ia masih sulit percaya, bahwa pria yang kemarin hanya sebatas sosok penyembuh tubuh, kini duduk bersamanya... menyembuhkan yang jauh lebih dalam.
“Aku nggak tahu mau ke mana langkah ini,” ujar Sabi pelan, suaranya seperti desir angin yang melewati sela-sela kota. “Tapi kalau kamu nggak keberatan, malam ini... aku ingin berjalan sedikit lebih jauh sama kamu.”
Addie menoleh. Matanya merekam tiap kata. “Apa maksud kamu?” tanyanya, senyumnya samar.
Sabi tertawa kecil, menunduk sebentar, lalu mengangkat wajahnya dengan sorot jenaka yang lembut. “Jangan pura-pura nggak mengerti,” katanya lirih. “Mau di kamar aku… atau kamar kamu?”
Addie tertawa, bukan karena menggoda, tapi karena hatinya sedang tersenyum.
Dan dalam bahasa yang kini hanya mereka pahami, ia menjawab, "Wherever your soul finds rest tonight, I’m yours."
Sabi hanya menatap. Tak membalas kata-kata itu dengan kalimat, hanya senyum yang tak selesai... karena malam itu baru akan dimulai. Bukan hanya tentang tempat pulang, tapi tentang keberanian membiarkan diri dicintai, sekali lagi, pelan-pelan.
0 komentar:
Posting Komentar