Selasa, 06 Mei 2025

Bokong Yang Kusuka Part 14

14. Bucin

Yusuf dan Mario tiba di resort tepat pukul tujuh malam. Sejak kepulangan mereka dari Pulau Lengkuas, suasana di dalam mobil membeku — tak satu kata pun mengalir, tak satu tawa pun pecah. Yusuf sengaja membiarkan diam itu membungkus mereka, sementara Mario menahan bara kecil di dadanya. Mario berharap Yusuf akan menjadi yang pertama memecahkan kebekuan, tetapi karena Yusuf tetap bisu, ia pun memilih diam.
Saat tiba, Mario turun dengan kasar, membanting pintu mobil seolah hendak melepaskan kesal yang terpendam. Yusuf hanya tersenyum geli di belakangnya. Ia berhenti sebentar di meja resepsionis, menyelesaikan semua tagihan yang sudah ia pesan lewat telepon, sebelum bergegas menyusul Mario yang telah melangkah menuju kamar mereka.

Ketika pintu kamar terbuka, mata Mario terbelalak, rona takjub menghiasi wajahnya. Ruangan itu temaram, hanya diterangi cahaya lembut dari bola-bola lampu yang melilit tenda segitiga kecil di sudut ruangan. Meski Yusuf merangkai semuanya dalam waktu singkat, Mario tahu betul makna di balik kesederhanaan itu — ia bahagia, terpancar jelas dari sorot matanya yang berbinar.

Tanpa kata, Mario memeluk Yusuf erat, membenamkan wajah di dada kekasihnya, berusaha menyembunyikan semburat merah muda di pipinya. Tak ada yang meluncur dari bibirnya kecuali satu kalimat, diulang berkali-kali, penuh getar, penuh cinta:
“Mas… aku cinta sama kamu.”

Yusuf membalas pelukan itu lebih erat lagi. Jemarinya membelai rambut halus Mario, lalu mendaratkan kecupan lembut di ubun-ubunnya. Baru setelah itu ia berbisik, mengurai isi hati dan alasan di balik sikap bungkamnya tadi.
“Maafin mas, ya… Mas bikin kamu ngambek, terus malah ikut diem. Sekarang apa pun mau kamu, mas turutin. Asal jangan nyuruh mas megang cicak, mas bukan takut… tapi geli.”

Mario menarik wajahnya, bibirnya mengerucut lucu.
“Kenapa sih malah bahas cicak! Kamu tuh nggak bisa serius dikit, lagi romantis juga!”

“Lah, soalnya aneh, ya… masa tititnya putus bisa numbuh lagi,” timpal Yusuf, merusak suasana dengan wajah polosnya.

“Mas! Itu ekor!” Mario tertawa geli, lalu tiba-tiba meremas selangkangan Yusuf. “Kalau ini ekor kamu… kita coba putusin, siapa tahu numbuh lagi, lebih gede.”

“Emang kurang gede, ya? Kalau sempat, aku ke Mak Erot deh.”

“Ishh…” Mario mencubit hidung Yusuf manja. “Segini aja udah bikin aku teriak, ngundang sekampung. Mau digedein lagi, mas? Mau aku teriak ngundang sekecamatan?”

“Kalo bisa, kita bikin gempar satu dunia. Ngewenya di Belitung, desahannya sampe Ambon,” celetuk Yusuf, membuat Mario tertawa sambil memukul pelan lengannya.

“Udah, ah! Mending kita makan!” ajak Mario, menarik Yusuf masuk ke dalam tenda.

Malam itu mereka habiskan dengan saling tatap, senyum berbalas senyum, tawa berbaur hangatnya cinta. Sesekali bibir mereka saling menyapa dalam ciuman ringan, suapan bergantian, gelas yang saling berbagi bekas bibir. Yusuf menikmati momen seperti ini, bahkan malam ini terasa begitu tepat untuk menyalakan gairah yang tertunda, tapi entah mengapa, hatinya hanya ingin menikmati kebersamaan.

“Kita kalo punya anak… beliin tenda kayak gini, ya,” cetus Yusuf tiba-tiba.

Mario yang sedang meneguk air, langsung menyembur karena tak tahan tertawa.
“Aduh… maaf, mas!” serunya, buru-buru mengambil tisu dan mengelap wajah Yusuf.

“Kamu muncratnya di muka, biasanya di perut,” gerutu Yusuf tak serius.

“Daripada di dalem mulu muncratnya, perut aku gede, tau!” balas Mario, tertawa sambil terus mengelap pipi kekasihnya.

“Semoga aja hamil,” seloroh Yusuf sambil tergelak.

“Aku hamil, yang keluar koin logam.”

“Bagus dong!” seru Yusuf. “Nggak usah kerja, aku hamilin kamu aja biar cepet kaya.”

“Kayaknya aku beneran hamil nih,” ucap Mario sambil memegangi perutnya, pura-pura serius.

“Coba mas cek dulu,” kata Yusuf. Ia menyingkirkan meja kecil, merebahkan kepalanya di perut Mario, menempelkan telinga sambil berseru, “Lah, iya! Ada bunyi kriuk… anak kita lagi makan kerupuk, sayang.”

“Terus, apalagi katanya, mas?” tanya Mario dengan mata berbinar.

“Katanya… kalo udah lahir, dia mau dinamain Mansyur S.”

Mario tak bisa menahan tawanya lagi, tubuhnya terguncang, napasnya tersengal karena geli. “Aduh, kenapa nggak sekalian Meggy Z aja, mas.”

“Seandainya aku beneran bisa hamil, mas… aku pengen deh dihamilin biar bisa minta pertanggungjawaban ke orang tua kamu,” bisik Mario, memeluk Yusuf lebih erat.

Yusuf menggenggam jemari Mario, menciuminya berkali-kali.
“Aku cinta sama kamu karena semua yang ada di kamu sekarang,” bisiknya lembut. “Ngapain kamu jadi cewek? Aku udah nggak doyan cewek, kok.”

“Dasar gendut! Ngegombal mulu!” sahut Mario, mencubit perut Yusuf yang mulai buncit.

Yusuf tertawa kecil, memegangi lemak di perutnya.
“Kalau aku ikut ngegym di tempat kamu, bisa sixpack, tuh.”

“Nggak boleh!” tegas Mario. “Banyak pantat montok di gym. Nanti mata kamu jelalatan!”

Mario memeluk Yusuf lebih erat.
“Aku justru suka kalo kamu gembul… pelukable.”

“Nanti kalo makin buncit, tititnya mendelep, loh…” goda Yusuf.

“Nggak peduli!” sahut Mario, mengangguk semangat. “Aku cinta kamu segimana pun kamu. Badan kayak gajah kek, titit mendelep kek, nggak masalah! Toh, kekuatan kamu tetep liar kayak kuda.”

Yusuf mengangkat alis, menggoda, “Sayang… kudanya lagi ngaceng.”

“Ya udah… di depan kamu ada kuda betina, kawinin aja, kan malam Jum’at,” bisik Mario genit.

Keduanya saling mendekat, bibir bertemu, tangan melingkar di pinggang dan leher, hasrat menari di antara kecupan yang semakin dalam. Yusuf menarik tubuh Mario ke pangkuannya, ciuman mereka liar, penuh tawa dan napas terengah, sebelum akhirnya — brak! Kepala Mario terbentur sisi tenda, menarik rangka dan membuat tenda menimpa punggung Yusuf.

“Aw! Tenda sialan!!” seru Yusuf, mengakhiri pergulatan bibir mereka.

Mereka tertawa lepas, memutuskan berpindah ke atas kasur. Namun malam masih menyimpan kejutan lain. Baru sebentar, Yusuf merasa tubuhnya mulai gatal. Bercak kemerahan muncul di kulitnya. Panik, Mario segera mencari obat alergi, sementara Yusuf menggaruk tanpa henti.

“Mas, ini ada ebi, taburan udang di makanannya!” seru Mario, prihatin.

Penuh keluh, Yusuf tiduran tengkurap di kasur. Mario duduk di sampingnya, menaburkan bedak gatal sambil menggaruk punggung kekasihnya penuh kasih.

“Harusnya titit mas yang ngegaruk kamu… malah kamu yang garukin mas,” keluh Yusuf, setengah menggoda.

“Nggak usah alergi juga kamu udah gatel, mas!” jawab Mario, tertawa kecil. “Udah, nanti kalo sembuh, garukin aku pake titit kamu seharian!”

“Janji ya!” Yusuf terkekeh, menenggelamkan wajahnya di bantal.

Malam Jum’at itu gagal sudah. Mereka tertidur pulas, mimpi bercinta digantikan mimpi digaruk penuh cinta.

Mario langsung memeluk Yusuf erat, membenamkan wajah di dada Yusuf guna menyembunyikan semburat rona merah muda yang ada di wajahnya, tak ada yang Mario katakan lagi selain satu kalimat yang menyuarakan apa yang dirasakan Mario saat ini, "mas, aku...

Pagi datang perlahan, mengendap di balik tirai jendela, membiarkan sinar keemasan menyapu wajah dua kekasih yang masih terlelap. Yusuf menggeliat pelan, matanya setengah terbuka, menatap Mario yang tertidur di sampingnya. Senyuman kecil mengembang di sudut bibirnya, menghapus lelah semalam.
Sesekali Yusuf mengusap pipi Mario, membelai rambutnya yang kusut, lalu mengecup keningnya dengan penuh kasih.

“Sayang…” bisiknya lirih, nyaris seperti doa yang hanya didengar angin pagi. “Bangun, dong… jangan cuma tidur manis kayak gini, nanti mas gigit, loh…”

Mario menggeliat, mengerang pelan seperti anak kucing. Ia membuka mata setengah sadar, lalu mendengus manja.
“Mas… aku masih ngantuk…” gumamnya, menarik selimut menutupi wajah.

Yusuf tersenyum geli, lalu perlahan menyusupkan tubuhnya ke bawah selimut, memeluk Mario erat-erat dari belakang.
“Ayo bangun… mas mau ngopi sambil liat kamu,” bisiknya genit di telinga Mario, membuat kekasihnya tersenyum sambil memukul pelan lengan Yusuf.

“Aku gatel, mas…” rengek Mario, menggaruk punggungnya sendiri.

“Lah, aku juga masih gatel…” Yusuf tertawa kecil, lalu menggulingkan tubuh Mario, menindihnya pelan. “Tapi mas tetep pengen ngewe…” ucapnya sambil mencium leher Mario.

Mario tertawa geli, berusaha menahan Yusuf, tapi tangan kekasihnya lebih dulu mencengkeram pinggangnya erat.
“Mas… jangan pagi-pagi gini…”

“Kenapa? Mau nunggu siang, panas-panasan?” sahut Yusuf, menciumi wajah Mario berkali-kali.

“Mas, nanti orang kamar sebelah denger…” bisik Mario malu-malu.

“Nggak apa-apa… biar mereka belajar, cara nyenengin pasangan,” jawab Yusuf sambil tertawa, lalu tiba-tiba berhenti. “Eh… eh… eh… kok gatel lagi, ya!” serunya, melompat turun dari kasur.

Mario langsung terguling, tertawa terbahak-bahak melihat Yusuf yang panik menggaruk-garuk lengan dan lehernya.
“Mas… kamu tuh udah alergi… masih aja mikirin ngewe!” goda Mario sambil menyeka air mata tawanya.

“Nggak salah dong…” Yusuf menggerutu, mengambil bedak gatal dari meja. “Alergi ilang, titit mas langsung ngaceng lagi.”

Mario bangkit, meraih Yusuf dari belakang, memeluknya erat. “Mas, terima kasih ya…” bisiknya.

Yusuf menoleh, heran. “Buat apa, sayang?”

Mario menatap Yusuf dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. “Buat bikin aku ngerasa dicintai. Buat bikin aku ketawa kayak orang bego.”

Yusuf tersenyum, meraih wajah Mario, mencium bibirnya singkat tapi penuh makna.
“Mas juga makasih, sayang… kamu selalu sabar sama mas. Mau nerima kekurangan mas. Padahal… mas tuh gendut, bandel, males olahraga, doyan makan, doyan tidur, dan doyan ngewe.”

Mario tertawa pelan, mencubit pipi Yusuf. “Tapi aku suka semua itu… karena itulah mas aku.”

Mereka saling menatap, sejenak membiarkan keheningan pagi berbicara. Di luar, burung-burung bernyanyi pelan, daun-daun bergoyang diterpa angin. Hari itu, di resort kecil di pinggir pantai Belitung, Yusuf dan Mario belajar lagi — bahwa cinta tak selalu soal hasrat, tak selalu soal tubuh, tapi tentang ada, hadir, dan saling memeluk, meski hanya dalam diam.

Dan tanpa mereka sadari, di pojok ruangan, tenda kecil yang semalam rubuh masih setia berdiri miring, seolah ikut tersenyum melihat dua manusia yang saling mencintai apa adanya.


* * *

Dua hari terakhir, Yusuf dan Mario hanya menghabiskan waktu di kamar hotel. Yusuf keras kepala menolak keluar sebelum benar-benar pulih. Sayangnya, saat Yusuf akhirnya sembuh total, waktunya mereka justru sudah habis—mereka harus kembali ke Jakarta.
Meski begitu, tak ada penyesalan. Bagi Yusuf dan Mario, selama bersama, setiap detik terasa cukup.

Begitu tiba di Jakarta, mereka langsung menuju apartemen milik Yusuf. Di depan pintu, dua sosok sudah menunggu: Yogi dan Andrew, yang berdiri agak kikuk, saling melirik malu-malu.
Yusuf dan Mario saling melempar senyum geli melihat pemandangan itu.

“Pantes aja tadi lu nanya terus gue udah nyampe apa belum,” celetuk Yusuf sambil tersenyum nakal. “Ternyata mau ngenalin anak orang yang berhasil lu kibulin ya?”
Wajah Andrew langsung merah, menunduk semakin dalam.

“Wah, ngehek lu, ler! Mau jatuhin image gue aja!” protes Yogi sambil melirik sayang ke Andrew. “Jangan percaya Yusuf, Ndrew. Dia emang suka ngibul.”

“Sok manis lu!” Yusuf tertawa sambil membuka pintu apartemennya.

Begitu masuk, mereka langsung merebahkan diri di sofa. Mario dan Andrew duduk di sisi luar, membiarkan Yusuf dan Yogi berada di tengah. Yusuf tanpa ragu menarik Mario ke pelukannya, begitu juga Yogi yang mendekap Andrew erat-erat.

“Jadi, kalian udah resmi pacaran?” tanya Mario penasaran.

“Tanya Aa’ Yogi aja…” jawab Andrew malu-malu.

“Wah, kebagusan Ndrew manggil dia Aa’! Harusnya manggil Ee’, lebih cocok!” seloroh Yusuf, yang langsung dapat sikutan pelan dari Yogi.

“Jadi gimana, Yog? Lancar peletnya?” Mario ikut menggoda.

“Emang gue mancing ikan apa…” gerutu Yogi, lalu melirik Andrew sambil bertanya lembut, “Jadi kamu pacar Aa’ sekarang, kan?”

Andrew makin tersipu. Mario menepuk pelan punggung Andrew sambil tersenyum. “Udah Ndrew, santai aja.”

Andrew akhirnya mengangguk pelan. “Iya… si Aa’ udah nembak aku…”

“Nembaknya di dalem kan?” potong Yusuf cepat, matanya berbinar jahil.

“Ya iyalah, biar cepet jadi janin,” balas Yogi, membuat mereka semua tertawa.

“Oh iya, besok bantuin Mario pindahan ke sini ya, Yog!” kata Yusuf, melirik Yogi sambil tersenyum.

Yogi tersenyum nakal, melirik bergantian ke Mario dan Yusuf. “Gue bantuin demi kalian bisa kumpul kebo, nih!” godanya sambil tertawa.

“Kita kan udah nikah di Belitung, ya nggak, sayang?” sahut Yusuf sambil memandang manja ke Mario.

Mario mencibir, tertawa kecil. “Nikah apaan… aku di sana cuma jadi tukang garuk-garuk punggung kamu!”

Perut mereka sudah mulai keroncongan. Andrew merengek manja di pelukan Yogi, “Laper nih… cari makan yuk!”

Yusuf berdiri sambil menggeliat malas. “Ndrew, temenin Mario aja di sini. Gue sama Yogi yang turun beli makanan ke bawah.”

“Gue kesini mau pinjem kamar, malah disuruh beli makanan!” protes Yogi setengah bercanda.

“Eh, enak aja mau ngenodain kamar gue. Kagak ada cerita begituan!” ketus Yusuf sambil berjalan ke arah pintu.

“Kan ada dua kamarnya, ler… satu buat gue lah, sekali-sekali,” rengek Yogi, pura-pura memelas.

“Ogah!” jawab Yusuf mantap. Ia membuka pintu, lalu menoleh, “Ayo cepetan, ngapain masih berdiri di situ.”

“Gue bayarin setengah maintenance deh, gimana?” Yogi masih berusaha membujuk sambil menyusul Yusuf keluar.

“Oke, deal!” sahut Mario cepat-cepat dari dalam.

“Dasar otak Cina, nggak mau rugi!” ledek Yogi, tertawa kecil.

“Kita dikatain, Ndrew…” Mario pura-pura mengadu ke Andrew, yang juga keturunan Tionghoa.

Yusuf menoleh sambil mengedipkan mata ke arah Mario. “Kalau udah kesayangan mas yang ngomong, mana bisa mas nolak…”

“Alay banget, ler!” Yogi menggoda. “Tadi ngatain gue, sekarang sendiri dipanggilnya mas-mas… udah kayak tukang tahu gejrot depan rumah gue!”

Tawa mereka menggema, ringan, penuh kehangatan. Di balik canda dan gurauan, ada ikatan yang tak terlihat tapi terasa: persahabatan, cinta, dan kebersamaan yang mereka syukuri setiap harinya.

* * *

Yusuf dan Yogi berjalan santai menuju foodcourt di kompleks perumahan dekat apartemen Yusuf — tempat yang dulu pernah jadi saksi Yusuf dan Mario makan bubur ayam berdua.
Hari ini Yusuf sempat bingung memilih makanan untuk Mario. Selain roti isi srikaya yang selalu jadi favorit, Yusuf tak tahu pasti apa lagi kesukaan pacarnya itu. Akhirnya, mengikuti selera pribadinya, Yusuf memutuskan membeli nasi padang dengan lauk rendang, berharap Mario juga suka.
Yogi sendiri sudah hafal benar kesukaan Andrew — telur dadar dan perkedel. Selama seminggu mereka sering makan bareng di kantor, dan Yogi tahu Andrew kurang suka daging-dagingan… kecuali, Yogi terkikik kecil membatin, ‘daging tambahan’ yang ada di selangkangan dia sendiri.

Di perjalanan pulang sambil membawa kantong-kantong makanan, Yogi tiba-tiba membuka percakapan.
“Lucu ya, ler…” ucapnya pelan.

“Lucu kenapa?” Yusuf melirik penasaran, melihat sahabatnya mendadak serius.

“Kita berdua,” kata Yogi sambil menunjuk dirinya sendiri dan Yusuf. “Perasaan baru kemarin kita sibuk lomba cari cewek… eh, sekarang ujung-ujungnya malah berhentinya di cowok.”

Yusuf tertawa kecil. “Lu nyesel?” tanyanya pelan.

“Enggak lah,” jawab Yogi tegas. “Jujur aja, selama gue pacaran, baru kali ini sama Andrew gue ngerasa bener-bener nyaman. Gue tuh harus makasih sama Mario, ler, dia udah mau ngebujuk Andrew ketemu gue.”

“Syukurlah kalo lu nggak nyesel,” ujar Yusuf, tersenyum.

“Lu sendiri gimana?” giliran Yogi balik bertanya.

Yusuf tertawa pelan, menyadari betapa keras kepalanya dia. “Gue mah mana pernah nyesel ama keputusan gue sendiri.”

Yogi menepuk bahu Yusuf sambil terkekeh. “Salut gue, ler. Lu tuh nekat banget, tapi keren.”

Yusuf menoleh sambil tertawa. “Eh, gue penasaran deh, gimana lu bisa jadian sama Andrew? Gue pikir dulu Andrew pacaran sama siapa tuh namanya… cewek HRD itu…”

“Debora?”

“Ya! Itu dia. Saking udah nggak suka cewek, gue sampe lupa namanya,” canda Yusuf, membuat mereka tertawa.

“Nggak lah, mereka cuma temenan,” jelas Yogi. “Gue juga awalnya nggak nyangka bakal kejadian sama Andrew.” Yogi menghela napas sambil tersenyum geli. “Gue aja nggak percaya, tau-tau Andrew mau sama gue…”

“Lu mabok waktu itu?” goda Yusuf, mengingat bagaimana ia sendiri pertama kali bersama Mario.

“Enggak, gue sadar banget, ler. AC hotel waktu itu dingin parah, gue sagne, gue grepe dikit… eh, Andrew diem aja, gue lanjut deh… eh, nggak nolak! Eh ya udah, kejadian dah. Lama-lama di kantor malah gue baper, akhirnya demen beneran. Ribet pokoknya,” cerita Yogi panjang lebar, membuat Yusuf tergelak.

“Cerita lengkapnya nanti deh,” ujar Yusuf sambil tersenyum geli. “Tapi lu sendiri, Yog, rencananya ke depan mau gimana?” tanyanya serius.

Tanpa ragu, Yogi menjawab, “Gue mau nikah. Gue udah yakin, paling lambat enam bulan lagi.”

“Orang tuanya bakal setuju?” tanya Yusuf, kini terdengar seperti wartawan yang mewawancarai narasumber.

“Kebetulan kita sama-sama yatim piatu,” ujar Yogi pelan. “Jadi aman lah. Paling gue cuma harus ngomong sama kokonya Andrew — dia punya kakak cowok yang tinggal di Serpong. Gue sendiri anak tunggal, jadi ya… tinggal maju aja.”

Yusuf menarik napas panjang. Tanpa terasa, mereka sudah sampai di lobi apartemen dan berdiri menunggu lift.
“Gue pengen kayak lu, Yog… tapi nggak tau gimana nanti tanggapan Abah sama Ibu gue di Yogya. Kalo sampe tau anaknya pacaran sama cowok, ditambah lagi gue bersaudara tujuh orang… Apalagi Abah gue, lu pernah ketemu kan, tau sendiri gimana.”

Yusuf tertawa getir, lalu menunduk pelan. “Pusing, Yog… gue cinta banget ama Mario. Rasanya beda banget sama pas deketin cewek-cewek dulu. Mario tuh lebih ngerti gue, lebih paham cara nyentuh hati gue, lebih tahu cara bikin gue ngerasa diperhatiin… nyaman banget, ler. Beneran, gue nggak lebay — gue cinta banget sama dia.”

Yogi menepuk bahu Yusuf pelan, mencoba menenangkan. “Sabar ya, ler… gue paham kok. Gue juga ngerasain hal yang sama ke Andrew.”

Tepat di saat itu, bunyi denting kecil terdengar. Pintu lift terbuka di depan mereka. Yusuf dan Yogi melangkah masuk, membawa pulang makanan — dan juga membawa pulang beban pikiran masing-masing. Tapi di balik semua itu, mereka tetap tersenyum, karena tahu mereka nggak lagi berjalan sendirian.

0 komentar:

Posting Komentar