Minggu, 04 Mei 2025

Bokong Yang Kusuka New Era 1

Jakarta

Hotel megah berbintang lima yang berdiri anggun di kawasan Jakarta Selatan itu memancarkan kemewahan yang tak terbantahkan. Keramaian malam itu terasa seakan bercampur antara elegansi dan hiruk-pikuk, di mana pria-pria berpakaian jas rapi dan wanita-wanita dalam gaun anggun saling bersilangan di antara cahaya lampu yang temaram. Deretan mobil berkilau, seperti bintang yang bersatu dalam konstelasi yang tak terhitung, mengisi jalanan di depan lobby hotel. Kemacetan pun tercipta, seolah-olah waktu berjalan lambat seiring dengan detak langkah para pengendara yang sibuk mencari tempat terbaik untuk menempatkan kendaraan mereka.

Petugas hotel, dengan tangan terangkat memberi arahan, berusaha mengatur aliran kendaraan menuju jalan yang mengarah ke basement. Namun, meski telah diberi petunjuk yang jelas, sebagian pengemudi tampak tak bergeming, tetap berhenti di depan lobby. Mereka hanya ingin sejenak menurunkan penumpang, seperti memberi ruang bagi perpisahan singkat yang penuh makna, sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanan sesuai arah yang telah ditentukan.

Suara peluit yang keras, seperti suara dunia yang beradu, semakin memperburuk kebisingan di luar saat sebuah taksi berwarna biru berhenti tepat di depan tangga menuju lobby hotel. Petugas hotel, dengan gerakan lembut namun tegas, mengarahkan taksi itu untuk melaju kembali, seperti mengatur alur pertemuan yang begitu ramai di luar sana.

Seorang pria, yang mengenakan setelan jas hitam yang elegan, turun dari taksi. Setelan yang tak kalah anggun dari para pria lain yang memenuhi ruang hotel. Dengan gerak cepat, ia merogoh saku jasnya, menarik lembaran uang dengan sigap untuk membayar ongkos perjalanan, membiarkan taksi itu berlalu dan menyisakan ruang bagi perjalanan lainnya.

Dengan langkah yang penuh tujuan, pria itu mendaki tangga, melangkah ringan melewati beberapa pengunjung lain yang juga sedang mendaki. Keberuntungannya datang sendiri, tanpa pasangan yang harus ia bantu melewati kesulitan gaun-gaun glamour yang seakan menghalangi langkah para wanita yang menapaki anak tangga.

Sesampainya di lobby hotel, pria itu merasakan sedikit lelah, namun ketenangan dalam ruangan itu segera menyapanya. Suasana yang jauh lebih damai daripada hiruk-pikuk di luar, dengan ruangan yang luas dan sejuk berkat udara AC yang meresap. Ia menghembuskan napas lega, melepaskan rasa gerah yang sempat menyergapnya ketika berada di luar.

Pria itu melangkah menuju resepsionis hotel, dengan senyuman ramah menghiasi wajahnya saat petugas wanita yang menjaga meja resepsionis menatapnya dan menyapanya dengan hangat.

"Selamat malam, Pak."

Resepsionis itu menyambut kedatangan pria itu dengan sangat ramah.

"Malam," balas pria itu, "maaf, saya mau tanya. Untuk acara resepsi Davidson dan Jessica ...."

"Ooh, tamu undangan Bapak Davidson dan Ibu Jessica ya pak" resepsionis itu memotong ucapan pria itu.

Pria itu menjawab dengan anggukan kepala.

"Acaranya ada di aula lantai 5 pak," jawab resepsionis itu mempersiapkan kartu akses yang ia ambil dari dalam laci, "maaf pak, boleh minta kartu identitasnya?"

Pria itu mengangguk lagi, ia mengeluarkan dompet yang ia simpan di saku celana bagian belakang, mengeluarkan KTP dan memberikan kartu identitasnya kepada resepsionis.

"Bapak Yusuf Asabi" resepsionis itu membaca nama lengkap di kartu identitas pria itu sebelum menyimpan kartu itu ke dalam laci.

Resepsionis itu menyodorkan kartu akses berwarna putih yang segera disambut pria bernama Yusuf Asabi dan menyimpannya di saku jas.

"Pak Yusuf bisa lewat lift yang mana saja, cukup tempelkan kartu sebelum menekan tombol lantai yang bapak tuju" resepsionis itu tersenyum ramah saat menjelaskan sambil menunjuk koridor yang menuju lift di bagian ujung sebelah kirinya.

"Terima kasih, mbak" jawab Sabi bergegas meninggalkan resepsionis.

Sabi tak menyangka jika antrian di belakangnya lumayan ramai, beberapa orang sepertinya memiliki tujuan yang sama dengan Sabi, yakni ingin menghadiri resepsi pernikahan Davidson dan Jessica.

Sabi mempercepat langkahnya, merasakan detak jantung yang lebih cepat seiring dengan semakin menjauhkan dirinya dari meja resepsionis. Tanpa diduga, nasib baiknya berpihak. Tepat saat ia tiba di depan lift, pintu lift yang elegan itu masih terbuka lebar, ditahan dengan lembut oleh seorang wanita cantik. Wanita itu menggendong seorang anak perempuan yang tampak begitu manis, dengan gaun yang menyatu sempurna dengan keanggunan ibunya.

Sabi tak bisa menahan senyum, memandang dengan rasa terima kasih pada wanita berparas Tionghoa itu yang mengenakan dress putih sederhana namun begitu elegan, memancarkan pesona yang tak terbantahkan. Anak perempuan yang digendongnya, dengan gaun serupa, menambah keindahan pemandangan itu seolah dunia berhenti sejenak untuk mengabadikan momen tersebut.

Sabi mengucapkan terima kasih, senyum hangat tak lepas dari wajahnya. Ia merasa seolah-olah waktu berjalan lebih lambat. Dan tanpa perlu menekan tombol lantai, wanita itu sudah lebih dulu melakukannya, seakan menyambutnya dalam perjalanan mereka yang tak terucapkan.

"Mama, aku haus" rengek gadis mungil yang ada di gendongan si wanita.

"Sabar ya, kalo udah sampe tempatnya tante Jessi, Cica bisa minum sepuasnya" wanita itu menjawab dengan penuh kasih sayang.

Lift berdenting tepat saat berhenti di lantai 5, kali ini Sabi bergantian dengan siaga menahan pintu lift, mempersilahkan wanita dan anak perempuannya untuk keluar lebih dulu.

"Bilang apa sama omnya" ucap wanita itu.

"Makasih om" gadis mungil itu tersenyum.

"Sama-sama" jawab Sabi ikut tersenyum.

Wanita itu berjalan mendahului Sabi, sedangkan Sabi masih mematung dan memperhatikan pajangan berupa foto yang dibingkai dengan indah di depan Lift. Sabi tersenyum karena ia mengenal sosok pasangan yang ada di foto itu. Sosok di foto itu tak lain dan tak bukan adalah Davidson dan Jessica selaku pengantin yang sedang mengadakan acara di hotel itu. Di bagian dinding terlihat penunjuk arah yang menjelaskan bahwa acara resepsi itu ada di sebelah kiri namun Sabi memutuskan menuju ke arah kanan karena ia melihat papan kecil yang menunjuk arah toilet.

Sesampainya di toilet, Sabi segera menuntaskan hajatnya yang ia tahan sejak tadi. Ya, sejak turun dari Taxi, fokus utama Sabi setelah menerima kartu akses adalah kencing, badannya sampai gemetar saking cukup lama menahan, Sabi menghela nafas lega saat tetes terakhir cairan bening itu keluar dari penisnya.

"Weiii ... abangku .... Akhirnya ketemu juga kita disini..."

Sabi menoleh ke sumber suara yang mengenalinya barusan. Sosok pria yang memiliki tubuh sama besarnya seperti Sabi namun sedikit lebih tinggi tersenyum menepuk bahu Sabi.

"Bisa nanti dulu nggak, belum kelar kencingnya!" Sabi mendengus karena tepukan di bahunya membuat Sabi sedikit bergeser ke depan padahal ia ingin menutup resleting celananya.

Pria itu terkekeh, Sabi mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman yang segera dijabat oleh pria itu.

"Eh, bekas kontol, anjing!" Pria itu mengusap telapak tangannya ke celana, gantian mendengus dan Sabi gantian terkekeh.

"Sama siapa lu?" Tanya Sabi.

"Biasa," jawab pria itu, "Ibu negara."

"Mana Teresya?" Tanya Sabi lagi.

"Anjing, tiap orang ketemu gua yang ditanyain bini gua mulu, sekali-kali kek nanyain gua, mana Erick gitu" jawab pria itu yang juga melakukan kegiatan yang dilakukan Sabi sebelumnya yaitu kencing.

"Lu kan ada disini, ngapain gua nanyain lu."

Sabi meninggalkan pria bernama Erick, ia menuju wastafel yang memiliki cermin besar di depannya. Sabi mencuci tangannya dan sedikit membasahi rambutnya yang mulai kering.

"Lagi seru tuh sama temen-temennya, nikahan orang malah jadi ajang reuni" celoteh Erick yang juga ikut mencuci tangan dan membasahi rambutnya, "gimana Manila? Nyesel gua minta mutasi ke Jakarta."

"Lu yang request, lu yang nyesel" jawab Sabi mengambil tissue dan mengeringkan tangannya.

"Yah ...." Erick menghela nafas lelah, "daripada gua ngadepin emaknya Tere yang bawel minta cucu mulu, ampe diomongin nggak bisa punya anak karena di luar negeri dan ngebantah omongan dia, mending gua turutin aja. Lu sih, belum ngerasain punya mertua."

"Makanya jangan nikah, biar nggak ribet" balas Sabi.

"Sial" Erick terkekeh.

"Andreas nggak diundang apa gimana?" Tanya Sabi memperbaiki kancing kemeja berwarna putih yang ia lapisi jas berwarna hitam.

"Kayaknya nggak, soalnya jauh juga bang dari Kalimantan kudu ke Jakarta."

"Gua aja dari Manila bisa" jawab Sabi berjalan meninggalkan toilet disusul Erick.

"Si anying, Lu mah emang lagi cuti ya abangku. Lu kalo nggak cuti juga mana mungkin dateng" gerutu Erick.

Sabi melangkah pelan beriringan dengan Erick menuju arah koridor yang berlawanan dengan toilet, mereka bersama-sama menuju aula tempat diadakannya pesta pernikahan rekan kerja mereka.

"Gua nggak cuti" ucap Sabi pelan.

"Terus?" Erick memicingkan mata.

"Gua resign" jawab Sabi singkat.

"Loh ........" Erick membulatkan mata, "kok gua nggak tau."

"Lu bukan atasan gua, ngapain gua mesti ngasih tau lu, putang ina mo!" Maki Sabi bercanda.

"Seriusan ini ngab?" Erick seakan menginterogasi Sabi sambil tetap melangkah mendekati pintu aula, sayup mulai terdengar suara keriuhan di dalam ruangan itu.

"Iya, nanti kelar acara gua ceritain semuanya" ujar Sabi mendorong pintu besar berwarna coklat di depannya.

Saat pintu terbuka, suara bisik-bisik yang riuh mengalun, seakan mengusik ketenangan, namun tetap menyatu dengan irama lembut musik yang mengalir pelan di udara. Sabi seakan tenggelam dalam hiruk-pikuk itu, matanya mengedarkan pandangan, menelisik setiap sudut ruangan, melihat orang-orang yang terlarut dalam kebahagiaan mereka.

Namun, mata Sabi kembali tertuju pada sosok yang tadi bersamanya di lift. Wanita itu, dengan wajah cerah, tengah terlibat dalam obrolan hangat bersama sekumpulan wanita lain yang mengenakan gaun berwarna coklat muda. Mereka tampak kompak, seolah mengenakan seragam yang serasi, sementara wanita yang bersama Sabi di lift mengenakan dress putih yang begitu anggun, seakan berkilau di tengah keramaian, memancarkan pesona yang berbeda sendiri.

"Itu bridesmaidnya Jessi" celetuk Erick sok tahu, menyangka Sabi sedang memperhatikan sekumpulan gadis-gadis itu.

"Anjing, nggak ada yang gua kenal" lirih Sabi.

"Tenang aja, abangku" Erick menepuk bahu Sabi, "kan ada gua."

Sabi dan Erick melangkah perlahan menuju kursi yang telah disediakan, duduk berdampingan dengan nyaman, mata mereka tertuju pada sepasang kekasih yang tengah menaiki pelaminan. Di atas singgasana megah itu, Davidson dan Jessica berdiri berseri dengan penuh kebahagiaan. Senyuman mereka memancar bak cahaya yang menerangi seluruh ruangan, sementara para tamu undangan melambaikan tangan dengan penuh harapan, merayakan kebahagiaan pasangan pengantin yang bersatu dalam ikatan cinta itu.

"Selamat malam para hadirin, tamu undangan pernikahan dari teman kita David & Jessi, untuk mempersingkat waktu, mohon perhatiannya sejenak agar kita bisa segera memulai acara yang akan kita rayakan bersama-sama di sore hingga malam ini."

Pria dalam setelan jas dan dasi kupu-kupu itu mulai mengatur dan menenangkan riuhnya suasana aula. Dengan lembut namun tegas, ia mengarahkan para tamu untuk kembali ke tempat duduk mereka. Dalam sekejap, kegaduhan yang semula memenuhi udara mereda, digantikan oleh kesunyian yang menenangkan. Hanya ada gemericik musik yang pelan bersenandung, meresap ke dalam hati, menciptakan suasana khidmat yang menyelimuti ruang, mempersiapkan semua untuk menyaksikan acara yang segera dimulai dengan penuh harapan.

"Ini baru nikahan, nggak kayak nikahan lu dulu, orang dateng, salaman, makan, pulang" ledek Sabi dengan nada suara yang pelan.

"Yeee ... dulu kan gua masih miskin" sahut Erick tak terima.

"Emang sekarang gimana?" Tanya Sabi.

"Masih miskin, hahahaha" Erick tertawa terbahak-bahak dan segera menutup mulutnya karena beberapa tamu undangan di sekitar mereka mulai memperhatikan Erick.

"Sebelum kami membacakan susunan acara resepsi pernikahan teman kita David dan Jessi, kami mempersilahkan kepada Bapak dan Ibu tamu undangan yang belum mengucapkan selamat serta memberi salam, agar bisa naik ke pelaminan untuk memberikan ucapan secara langsung, mohon agar tetap tertib dengan antrian, dan dimohon untuk tidak berfoto karena akan ada sesi foto setelah acara selesai" kali ini giliran MC wanita yang memberikan arahan.

Sabi berdiri, namun tangannya ditarik Erick agar ia duduk lagi.

"Nanti aja sih, bang. Kata bini gua kelar acara aja, biar bisa foto bareng" ujar Erick menunjukkan layar ponselnya yang berisikan chat dirinya dengan Teresya, istri tercintanya.

"Heh, gua mau kasih tunjuk David kalo gua dateng, nanti kalau mau foto, tinggal kesana lagi aja" jawab Sabi ketus, "minggir lu miskin!"

"Anjing, nyampe juga tuh FYP ke Manila" balas Erick terkekeh.

Sabi melangkah perlahan menuju panggung pelaminan, tubuhnya terasa ringan meski hati dipenuhi berbagai perasaan. Dengan sabar, ia mengantri bersama tamu undangan lain yang juga ingin memberi ucapan selamat, sebuah momen sederhana namun penuh makna. Beruntung, antrian bergerak lancar, karena semua tamu undangan seakan mengerti bahwa malam ini adalah tentang kebahagiaan, bukan tentang mengambil gambar atau mencuri perhatian. Tidak ada yang mengeluarkan ponsel untuk swafoto, hanya ada senyum dan ucapan tulus. Akhirnya, giliran Sabi pun tiba. Ia melangkah maju, menyalami dan mengucapkan selamat kepada temannya yang kini tengah bersinar di pelaminan, kebahagiaan mereka terasa menular dalam setiap detik yang lewat.

"Mas Sabi" David yang mengenakan setelan jas pengantin modern berteriak girang saat melihat Sabi yang masih bersalaman dengan kedua orang tua pengantin selaku pengawal raja dan ratu sehari itu.

Sabi bergerak cepat menghampiri David, memberikan jabat tangan dan pelukan hangat sebagai ucapan selamat.

"Makasih mas udah nyempetin dateng," ujar David tersenyum bahagia, "jauh-jauh dari Manila."

"Kebetulan aja cocok waktunya."

Sabi sedikit kikuk karena beberapa pasang mata melihat ke arahnya saat namanya dipanggil David. Bahkan tamu undangan yang masih bersalaman dengan pengantin wanita seketika berhenti dan menoleh ke arah Sabi.

"Mas Sabi."

Tiba-tiba, rasa kikuk yang semula menghinggapinya berubah menjadi dentuman yang keras, menghujam dalam dada Sabi, seolah seluruh dunia terhenti sejenak. Kali ini, sapaan itu bukan keluar dari bibir David, melainkan dari seorang tamu undangan yang sedang bersalaman dengan orang tua kedua mempelai di sisi pengantin wanita.

Sabi terpaku, tubuhnya seakan terbalut kebekuan, karena ia sangat mengenal suara itu. Suara yang tak akan pernah bisa dilupakan, meski sekuat apapun ia berusaha. Semua di sekitar Sabi seakan meredup, suara-suara menjadi samar, seperti menghilang ditelan ruang. Namun sosok itu—sosok yang kini menghadirkan kembali bayangan kenangan yang tak kunjung padam—adalah sosok yang tak akan pernah bisa menghilang dari hati Sabi.

"Papa ... ayooo. Aku mau ice cream."

Sabi tersadar dari lamunan singkatnya, gadis mungil yang berada di gendongan wanita cantik yang sempat bertemu Sabi di lift membuyarkan pikiran Sabi.

"Mario" lirih Sabi.

"Iya mas, apa kabar?" Sosok itu menyunggingkan senyuman lebar, ia meraih gadis mungil dari gendongan wanita yang tak lain adalah istrinya.

"Loh, mas kenal sama suaminya Seira?" Tanya David ikut kebingungan.

"Pa, nanti aja ngobrolnya. Yang lain mau salaman juga, kasian pada nungguin" ujar wanita cantik yang tadi menyerahkan putrinya pada Mario.

"Ah ... eee ... anu ... selamat ya, Dav," Sabi gelagapan, ia merasa canggung dan suasana seketika berubah tidak nyaman, tapi ujung matanya tak bisa dialihkan dari sosok Mario dan keluarga kecilnya, "Gua nggak tahu harus ngomong apa."

"Makasih mas, lu dateng itu udah lebih dari cukup kok" jawab David kembali berpelukan dengan Sabi.

Sabi segera mempersingkat waktu, berjabat tangan dengan Jessi dengan cepat, begitu juga dengan kedua orang tua pengantin yang tak ia kenal. Sabi sendiri tak tahu siapa yang mana—orang tua David atau orang tua Jessi—semuanya terasa samar dalam pikirannya.

Namun, bukan wajah-wajah asing itu yang memenuhi benaknya. Pikirannya kembali dihantui oleh sosok yang berusaha ia lupakan, sosok yang tak pernah lagi muncul dalam hidupnya, yang tak lagi mengisi ruang dalam pikirannya. Tetapi, dengan kejamnya takdir, ia dipertemukan kembali dengan bayangannya yang tak pernah benar-benar hilang.

Takdir, terkadang, memang begitu bodoh bagi Sabi, seperti sebuah permainan yang justru memaksanya menghadap sesuatu yang tak ia inginkan, sesuatu yang ia coba jauhkan darinya.

Sabi melangkah gontai, seakan ada beban berat yang menggeretnya ke bawah. Ia tak berniat mencari di mana Mario dan keluarganya duduk. Tak ada rasa penasaran yang menggerakkan tubuhnya untuk mencarinya. Ia hanya ingin mendekat pada Erick, namun saat hendak duduk di samping temannya, matanya menangkap sosok Mario. Tanpa sadar, sosok itu kembali melintas, berjalan keluar dari ruangan yang riuh itu, membuka pintu aula dengan langkah yang pasti.

Sabi terdiam, kepalanya menggeleng perlahan. Ia tahu, tak ada cara baginya untuk mengejar sosok itu. Namun, sayangnya, dalam pikiran dan gerakan tubuh Sabi, mereka tak pernah selaras seperti halnya dress yang dikenakan istri dan anak Mario yang begitu serasi, sementara hatinya sendiri penuh dengan kerumitan yang tak terurai. Ya ... Sabi ikut keluar dari ruangan mengejar sosok Mario.

———

Ini bukan season 2 tapi ada sedikit cerita yang saya alami beberapa tahun belakangan ini sehingga jarang aktif di WP, awalnya saya nggak mau share tapi setelah dipikir pikir nggak ada salahnya saya jadiin kelanjutan cerita ini. Ceritanya saya lagi proses karena banyak banget yang harus saya revisi buat menyamarkan nama, tempat, dll untuk menjaga tokoh yang terlibat. Belum lagi proses kata demi kata yang sesuai dengan cara penulisan saya.


0 komentar:

Posting Komentar