Palembang, 2021
Pagi itu, Yusuf terbangun terlambat — jam menunjukkan pukul 10.00 WIB, terlalu siang baginya yang biasa bersahabat dengan embun dan mentari pagi. Meski tak ada janji, tak ada agenda penting, Yusuf selalu menyapa pagi dengan langkah-langkah kecil menyusuri sawah dan ladang yang terhampar di sekitarnya — sebuah ritual merengkuh kesunyian alam.
Yusuf menggeliat, matanya mengerjap-ngerjap, mengumpulkan serpih-serpih nyawa yang seakan belum sepenuhnya pulang ke raganya. Perlahan ia bangkit dari ranjang, meregangkan tubuh, membuka jendela kamarnya — hanya satu daun, sebab cahaya mentari menyorot tajam seperti anak panah yang mencari sasarannya.
“Mas Sabi, udah bangun? Nanti sore temenin aku ke dusun sebelah ya,” suara Robi, sepupunya, membelah keheningan, dari halaman rumah yang sederhana, tempat Yusuf menumpang menenangkan hati.
“Ada pasien lagi?” tanya Yusuf, sambil menggeliat, tubuhnya hanya berbalut celana boxer.
“Iya, biasa. Namanya juga Bidin,” sahut Robi.
“Bidin apaan?” dahi Yusuf berkerut.
“Kalo Bidan kan cewek, kalo cowok ya Bidin,” jawab Robi sambil tergelak.
“Terus sekarang mau ke mana?” Yusuf kembali bertanya.
“Mau ke puskesmas, tugas.”
“Ya udah, hati-hati, Rob.”
“Jalan dulu ya, mas. Assalamu'alaikum.” Deru motor Robi melaju, meninggalkan Yusuf yang kini sendiri.
Rumah itu, rumah milik keluarga Robi, adalah pelabuhan sementara bagi Yusuf — anak lelaki yang tak pernah sekalipun bertemu kedua orang tuanya. Abah dan ibunya menuntut satu syarat: Yusuf harus pulang membawa seorang wanita untuk dinikahi. Tapi Yusuf, hatinya menolak menipu, tak mau menyeret seorang perempuan dalam sandiwara hanya demi menyenangkan pandangan dunia. Sebab di relungnya, bayang-bayang Mario masih bergentayangan, meski Yusuf telah lama melepas genggaman tangan itu.
Yusuf melamun, ingatannya melayang pada masa-masa ia mengejar Mario hingga ke Manado — meninggalkan pekerjaan, menjual aset, menguras tabungan, menjauh dari keluarga, hanya untuk merajut harapan yang kini tercerai. Namun apa gunanya menyesal? Semua itu adalah pilihannya. Maka ia menanggung sendiri akibatnya — hingga akhirnya bersembunyi di kampung yang sepi ini.
Denting notifikasi memecah lamunannya. Ponsel di atas kasur bergetar pelan. Yusuf melirik, mengambilnya. Aplikasi Instagram, yang sudah lama tak ia sentuh, kini menampilkan pesan dari Yogi.
Yogi: Peler, wa lu kenapa nggak bisa dihubungi satt!!
Yusuf: Gua lupa ngabarin kalo nomer gua udah ganti.
Yogi: Kenapa ganti bajing? Nyusahin gua aja!
Yusuf: Ada something problem, salah gua juga kasih nomor ke followers gua di platform nulis novel itu, jadinya gua kayak diterror beberapa orang yang maksa videocall, minta ini itulah, ganas-ganas banget, gua jadi takut.
Yogi: Sendirinya suka upload yang mancing-mancing, giliran diganasin malah ketakutan.
Yusuf: Ngomong-ngomong lu kenapa ngehubungin gua? Penting nggak nih?
Yogi: Gua cuma mau pamer aja, kalo gua udah punya anak cewek 1 lagi.
Yusuf: Hebat tuh, kuat juga pantat Andrew bisa ngelahirin bayi.
Yogi: Adopsi ler, pake gua jelasin segala.
Yusuf: Udah begitu doang?
Yogi: Iya, kan gua cuma mau pamer.
Yusuf: Lu tau babi nggak?
Yogi: Tau, kenapa?
Yusuf: Lu juga salah satu babi!!
Yogi membalas dengan emotikon tawa. Yusuf, geli sendiri, menangkap layar percakapan itu, membagikannya ke instastory, tentu setelah menyensor nama dan foto Yogi, plus membubuhkan gif jari tengah sebagai bumbu kenakalan.
DM pun mengalir deras, namun hanya satu yang dipilih Yusuf untuk dibalas: dari Samuel.
Samuel: Yogi memang bangsat. Bini gua nggak hamil-hamil, Yogi udah punya anak dua aja.
Yusuf: Kurang tokcer lu Mue, mau gua bantuin nggak?
Samuel: Lu juga bangsat, bantuin gua aja sini, semenjak clothingan kita tutup gara-gara pandemic, gua terpaksa jadi budak corporate lagi.
Yusuf: Kerja dimana sekarang?
Samuel: Di perusahaan manufaktur, jadi orang Cikarang nih gua.
Yusuf: Cikarang atau lima puluh tahun lagi?
Samuel: Lu masih kocak aja, jadi pengen cium.
Yusuf: Pap tetek dulu dong. 😂
Samuel: Pap tititnya dulu dong.
Yusuf: Titit gua diumpetin sama Mario.
Samuel: Waduuh, udah berapa tahun nih, masih kagak move on, kayak nggak ada pantat lain yang seenak pantat Mario.
Yusuf: Skip, nggak bisa diajak bercanda, nggak asyik lu!
Samuel: Ya maaf, pantatku aja kakak.
Yusuf: Mue, hati-hati. Gua dulu juga suka bercanda begini, akhirnya beneran.
Samuel: Fuck! Big No! becanda jing, sumpah, jangan dong, cukup dua temen gua aja yang homo.
Lalu sebuah DM lain muncul — membuat mata Yusuf membelalak. Akun Mario. Jantungnya seolah berhenti.
Mario: Masih di Tangerang?
Jari-jari Yusuf kaku. Dada bergemuruh. Namun ia menarik napas, mencoba tenang. Tidak, ia tak akan bereaksi berlebihan.
Yusuf: Hai, udah enggak Yo. Aku di Palembang. Kamu apa kabar?
Mario: Good then. Pulang kampung yah? Per kapan?
Yusuf: Syukurlah kalau sehat. Udah lama pulang.
Mario: Sehat-sehat ya.
Yusuf: Kamu juga semoga selalu sehat. Can I call you?
Mario: Aku lagi sama papa, maaf.
Yusuf: Oke, nggak apa-apa. Gimana keadaan mama kamu?
Mario: Puji Tuhan keadaannya membaik.
Yusuf: Syukurlah.
Mario: Can I ask something?
Yusuf: Silahkan.
Mario: Kamu udah nikah?
Yusuf: Belum.
Mario: Kenapa?
Yusuf: Kalau aku bilang alasannya adalah kamu, apa kamu akan percaya?
Mario: You're still the same. Masih Yusuf yang dulu, penggombal ulung. But it's okay, the past is the past, aku nggak ada maksud mengingatkan yang dulu-dulu.
Yusuf: (terdiam, jantungnya lirih berkata: jadi semua ini benar-benar telah menjadi masa lalu…)
Mario: Apa kamu masih pegang handphone dan baca chat dari aku? Kalau masih, aku minta dibales. Aku pikir nggak ada salahnya kan untuk kita perbaiki hubungan ini seperti pertama kali kita kenal.
Yusuf: Maksud kamu?
Mario: As a friend.
Yusuf: Entahlah Yo. Memangnya kamu masih inget sama aku?
Mario: I still remember you kalau seandainya nanti kita ketemu.
Yusuf: Tapi aku selalu mengingat kamu sekalipun tanpa ketemu.
Mario: Good to hear that. Suf, kadang mempertahankan itu bukan karena kamu merasakan cinta, tapi karena kamu sudah terbiasa dan takut jika sendiri.
Yusuf: Aku nggak takut. Sesuatu yang ditakutkan nanti juga akan pergi dengan sendirinya, rasa takut tidak akan menahan sesuatu yang aku inginkan itu tetap ada. Aku lagi ada di tahap berusaha menghapus kenangan dimana kamu datang untuk merubah hubungan lebih dari teman. Bagi aku saat ini, perjalanan kita sebatas hari keberangkatan kita ke Belitung, selebihnya nggak ada lagi kenangan itu.
Mario: Aku minta maaf. Tapi tolong jangan menyerah dengan keadaan, kita sama-sama tahu kalau akhir yang terbaik itu dengan cara saling merelakan.
Yusuf: Seseorang yang menyerah dengan keadaan belum tentu karena ia tidak kuat menghadapinya, bisa jadi alasannya karena ia sudah terlalu lama bertahan dengan keadaan itu.
Mario: Suf, kamu pikir aku mudah melupakan kamu? Aku nggak harus cerita how struggle I am, perjuangan aku dengan rasa sakit yang aku rasain berpisah dari kamu.
Yusuf: Aku nggak butuh kita mengadu nasib, mengadu siapa yang paling tersakiti, mengadu siapa yang paling sedih, mengadu air mata siapa yang lebih banyak terbuang, aku nggak butuh itu, jadi nggak perlu ceritain kesedihan kamu. Setelah selama ini, kamu tiba-tiba hadir lagi dengan tujuan menawarkan pertemanan. Maaf Yo, kita nggak bisa semudah itu.
Mario: Suf, sudah sepatutnya kita menjalani yang seharusnya layak untuk kita jalani.
Yusuf: Layak bagi orang lain yang ingin kamu bahagiakan, bukan layak untuk kita, mungkin itu kata-kata tepat yang seharusnya kamu tulis.
Mario: Bahagia di atas kesedihan orang lain apa gunanya?
Yusuf: Terus, menangis demi menciptakan senyum untuk orang lain, apa itu lebih berguna?
Mario: Aku nggak pernah menang dari kamu.
Yusuf: Justru kamu pemenang sekarang, Yo. Seiring waktu kamu bisa lupa, sedangkan aku masih setengah perjalanan.
Mario: Suf, kamu pasti bisa cari orang yang lebih baik dari aku atau mungkin orang yang seperti aku.
Yusuf: Percuma aku cari orang yang seperti kamu, karena tetap saja orangnya bukan kamu.
Mario: Can I call you? Papa sama mama sudah nggak ada.
Yusuf: Silahkan.
Dan panggilan video itu pun terjadi. Wajah Mario terpampang jelas, bersih, tampan dalam pakaian pengantin. Tulisan “Happy Wedding Mario & Seira” menghantam pandangan Yusuf. Air mata mengalir.
“Semua orang bisa gantiin posisi kamu di samping aku. Tapi nggak ada yang bisa gantiin posisi kamu di hati aku,” suara Mario bergetar. “Mas, bayangan kamu selalu datang saat aku diam, dan kenangan kita merasuk kembali saat aku sendiri. Aku nggak akan lupa dengan waktu yang pernah kita habiskan bersama, nggak akan ada yang mengambil tempat kamu di dalam hati aku, mas.”
Yusuf menyeka air matanya, getir tersenyum. “Selamat Yo, semoga bahagia dengan pernikahan kamu. Jadi … karena ini kamu hubungi aku?”
Mario mengangguk, dalam tangis. “Doain aku, mas. Semoga aku nggak ngecewain pasangan aku untuk kedua kalinya.”
“Aku bangga pernah jadi bagian dari perjalanan hidup kamu. Kita memang udah seharusnya menemukan kebahagiaan kita masing-masing. Jangan menyesali pilihan kamu, Yo, sekalipun nanti kamu merasa sakit, hadapi. Aku percaya kamu lebih kuat dari aku,” Yusuf mengembuskan senyum, merelakan.
Mario mengangguk, isaknya tak kunjung reda.
“Satu lagi,” bisik Yusuf pelan, “setelah ini, tolong blokir akun mas, ya. Mas mohon.”
Mario tersedu makin keras. “Semoga mas nemuin kebahagiaan yang berlipat kali dari bahagia yang mas rasain sama aku. Ijinin aku ngomong ini untuk terakhir kalinya, mas.”
Yusuf menunggu.
“Mas Sabi, kamu mungkin bukan pemilik hatiku lagi, tapi selamanya … kamulah yang menang di hati ini.”
Panggilan terputus. Yusuf menarik napas panjang. Ia memeriksa akun Mario — sudah diblokir. Tapi kali ini, hatinya tenang. Tak sesakit dulu, tak semenyesakkan dulu. Yusuf merasa terlahir kembali, tapi ia belum tahu arah hidupnya ke depan. Biar waktu yang membawa, entah ke persinggahan sementara atau rumah abadi.
0 komentar:
Posting Komentar