Rabu, 14 Mei 2025

Bokong Yang Kusuka New Era Part 6

Seakan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang datang setelah mereka sampai di kamar apartement Addie, Sabi melepas seluruh pakaiannya, sehingga tak ada satupun helai benang yang menutupi tubuh Sabi saat ini. Sabi menarik tubuh Addie mendekat, melancarkan ciuman pada bibir Addie yang mungkin tak menyangka jika Sabi mendadak seperti menyerangnya.

''Oh wow, kamu nggak bisa sabar sedikit" ujar Addie tersenyum, sedikit menahan tawa saat berhasil membebaskan dirinya dari gumatan bibir Sabi.

"Sorry'' ujar Sabi mengusap bibirnya yang tak sopan.

"Dont worry, I like it'' balas Addie tersenyum dan memandang Sabi dengan penuh tatapan menggoda.

Tangan Addie dengan nakal menyentuh penis Sabi, lalu ia kembali mendekat dan menyerahkan bibirnya untuk kembali dilumat oleh Sabi, namun kali ini Addie ikut melakukan pergerakan, ia dengan mudah mengikuti ritme dari gerakan bibir Sabi. Saling melumat, saling mengecap dan saling memberikan gigitan pelan, tangan Addie pun tak tinggal diam, ia mulai memijat batang penis Sabi yang sudah berdiri paripurna, belaian tangan itu membuat Sabi mendesah dalam ciuman dan aroma nafas mereka yang menyatu.

Addie menyudahi ciuman itu, ia menunduk seakan memperhatikan batang penis Sabi yang ia genggam. Tersenyum sebentar mendongak untuk memandang Sabi, lalu seolah tahu apa yang Sabi inginkan, kini wajah Addie tepat di depan penis yang sudah tak sabar ingin merasakan kehangatan di dalam ruangan itu.

Addie menjulurkan lidahnya, menjilati pucuk penis Sabi layaknya es krim, perlahan namun pasti, ia membuka mulut dan membiarkan penis Sabi masuk utuh ke dalam mulutnya.

"Ahh ... " Sabi mendesah saat batang penisnya terasa hangat di dalam mulut Addie .

Nikmat, jelas. Sabi sudah puasa bertahun-tahun saat dirinya kehilangan Mario. Ia baru mengulang kembali saat kemarin dirinya sempat pulang ke Indonesia. Selama ini Sabi berusaha menahan hasratnya, namun kali ini Sabi tak ingin lagi menahan diri, ia sudah sangat lama menginginkan hal seperti ini terjadi, dengan ataupun tanpa Mario.

"Ohhh ... Fuck."

Sabi mendesis bagaikan ular, tubuhnya sedikit mengejang saat penisnya menyentuh tenggorokan Addie. Tangan Sabi bahkan menggepal erat seakan bingung mencari pegangan.

Addie mendongak, menghentikan hisapan demi hisapan yang ia lakukan pada penis Sabi.

"Don't stop" pinta Sabi seakan jiwanya hilang sebagian saat Addie menyudahi aksinya.

"You can touch my head if you want" ujar Addie , seakan berbisik namun hembusannya terdengar di telinga Sabi.

Sabi kehilangan kendali, ia memegangi kepala Addie , menggerakkan pinggulnya dengan ritme cepat sehingga penisnya merojok cukup kasar di dalam mulut Addie .

"Aghh ...Fuck" Sabi mengerang, sekujur tubuhnya ikut mengeras.

Addie mendorong tubuh telanjang Sabi, membuat tubuh telanjang itu menghempas kasur empuk berlapiskan sprey berwarna coklat itu sedikit terguncang. Lalu dengan buas hisapan-demi hisapan kembali Addie luncurkan.

Sabi menginginkan lebih, ia tak hanya ingin menikmati hangatnya tenggorokan Addie, ia ingin sesuatu yang lain, sesuatu yang ia rindukan pada pemilik bokong yang ia suka sewaktu dulu, terlebih lagi saat melihat pinggul Addie yang sedikit menungging, bentuknya mengingatkan Sabi pada bokong yang dulu sering ia jelajahi.

Tangan Sabi bergerak meraba punggung Addie dan seketika berhenti di area pinggul Addie lalu mengusap pinggul itu dengan lembut. Jemari Sabi mulai berani mencari celah dari celana Addie, berniat memasukkan tangannya ke dalam bokong sekal yang masih tertutup celana kain itu.

"Oh wait."

Addie terkejut, ia menarik dirinya sedikit menjauh sehingga penis Sabi kembali merasakan kehampaan ketika mulut Addie tak lagi memainkan penisnya. Addie menatap Sabi, tatapan itu seakan penuh pertanyaan, ada guratan bingung di wajah Addie, sangat jelas terlukis disana.

"Kamu nggak suka?" Sabi lirih, menyesal atas apa yang ia lakukan.

"Kamu Top?" Addie memicingkan mata saat melontarkan pertanyaan itu kepada Sabi.

"Apa aku harus jawab?" ujar Sabi mengambil bantal lalu menutupi penisnya yang masih berdiri.

"Sorry," gantian Addie yang meminta maaf, "Aku nggak bermaksud apa-apa, tapi kamu serius mau masukin aku?" Addie kembali bertanya sambil menunjuk penis Sabi yang masih mengacung.

Pertanyaan Addie membuat Sabi semakin bingung, ia sungguh tidak paham dengan lelaki di depannya, sejak tadi semua berjalan baik-baik saja bahkan Addie terlihat sangat menginginak hal itu berlanjut. Namun mendadak semua berubah saat Sabi berusaha menginginkan hal yang lebih.

"Ya, aku top. Pure Top" Sabi menekan nada bicaranya, "kenapa pertanyaan semacam ini harus banget dijawab di dunia gay."

Addie tersenyum lucu melihat tingkah Sabi yang terlihat tersinggung dengan pertanyaannya. Addie mendekat, mendaratkan kecupan di pipi Sabi.

''Sorry kalau kamu nggak suka dengan pertanyaan aku" Addie melukiskan wajah bersalah, "Actually, its been a long time, aku udah nggak pernah di posisi yang kamu mau."

"Maksud kamu ...?"

"Aku nggak pernah dientod, Sab" Adi memotong dengan frontal.

"So ... role kita sama" lirih Sabi murung, penisnya seketika layu dalam keadaan segar.

Addie menggeleng, "nggak juga, aku bisa jadi apapun tergantung partnernya."

Secercah cahaya harapan muncul di benak Sabi, wajahnya menyiratkan bahwa masih ada kesempatan untuk mendapatkan hangat dan nikmat malam ini.

"Oke, aku perjelas aja. Mungkin udah 5-6 tahun aku udah nggak jadi bottom" lanjut Addie, raut wajahnya seolah mengingat akan sesuatu.

"Kalau kamu nggak siap, kita bisa lupain aja" ujar Sabi berusaha untuk mengerti.

"Aku nggak bilang kalau aku nggak mau, kan" Addie membuka perlahan kemejanya hingga celananya, membuang pakaian yang menutupi tubuhnya sembarangan. "We can try."

Sabi tersenyum nakal, ia menaikkan alisnya lalu merengkuh tubuh Addie yang telanjang kedalam pelukannya.

Udara kamar makin hangat, bukan karena suhu, tapi karena cara mereka saling diam—diam yang memancing, menantang, dan menjerat.

Sabi duduk di tepi ranjang, memangku Addie dengan saling berhadapan. Addie menggerakkan bokongnya pelan, gerakan yang nyaris seperti angin. Sentuhan itu membuat Sabi meremang. Ia menggigit bibirnya sebentar, lalu membuka mata, menatap Addie lekat-lekat.

Aku suka cara kamu melihat aku,” bisik Sabi, suaranya sedikit bergetar. “Tapi lebih suka saat kamu berhenti hanya melihat.”

Addie tersenyum samar. “Kamu yakin mau aku lanjut? Aku bisa berubah jadi Singa yang kelaparan.”

Sabi mengangguk pelan. “Terlambat untuk mundur.”

Addie mendekat. Hidung mereka bersentuhan. Tak ada ciuman, belum. Tapi panasnya begitu terasa, seolah udara di antara mereka berubah jadi aliran listrik yang liar dan halus sekaligus.

Cium aku,” kata Sabi akhirnya, pelan, hampir seperti doa.

Tapi Addie justru tersenyum nakal. “Aku lebih suka kamu yang narik aku.”

Sabi menatap tajam. Tangannya naik ke tengkuk Addie, menariknya perlahan... lalu berhenti. “Kamu terlalu tenang. Itu bikin aku tambah penasaran.”

Addie membisik di bibirnya sendiri, nyaris menempel pada Sabi. “Kalau aku kehilangan kendali... kamu siap?”

Sabi menutup jarak itu, bukan dengan bibir, tapi dengan napas. Mereka saling menghirup kehadiran satu sama lain. Pelan. Dalam. Lama. Dan akhirnya bibir mereka bertemu, itu bukan sembarang ciuman. Itu adalah pertemuan dua hasrat yang sepertinya sudah terlalu lama ditahan. Lembut pada awalnya, lalu tumbuh jadi kelaparan yang indah. Jemari mereka mencari, bukan untuk menguasai, tapi untuk mengenali. Mengingat kemudian menyatu.

Addie melingkarkan lengannya ke leher Sabi, menarik lebih dekat, sementara Sabi membiarkan tangannya menjelajahi punggung Addie, berhenti di tempat-tempat yang membuatnya menggeliat pelan.

"Wait, we need lube" lirih Addie sedikit ngos-ngosan mengakhiri ciuman liar Sabi ditambah lagi penis Sabi yang tegang menggesek persis di tengah bagian bokongnya.

Sabi mencium bahu Addie, perlahan, lalu naik ke lehernya. Sentuhan itu bukan sekadar godaan—ia seperti doa yang lama dipendam, akhirnya menemukan tempatnya. Sabi menarik napas dalam, jemarinya menyelusup ke bongkahan sekal di belakang sana, yaitu bokong milik Addie.

“Kita nggak harus buru-buru,” bisik Sabi.

Aku nggak buru-buru,” jawab Addie. “Aku cuma... nggak mau menyia-nyiakan waktu.”

Addie kembali menggiring mulutnya menuju bagian inti tubuh Sabi, bagian inti yang masih menegang, bagai roket yang siap diluncurkan, Addie merasakan tangannya hangat saat menggenggam bagian itu, bagian yang memiliki batang kokoh dengan dua bola indah menggantung, tak membiarkan waktu menunggu, Addie kembali menggiring benda itu masuk kedalam mulutnya.

"Aaaahhh...." Sabi mendesah dalam pejaman matanya.

Addie terus menggerakkan kepalanya senada, naik turun seperti sedang dalam posisi memompa. Ia kerahkan sekuat tenaga segala gaya, menjilat, menghisap, melumat, sehingga menghasilkan dercikan air liur yang membasahi batang kejantanan Sabi.

Sabi melenguh, mengerang, mendesah, menyadari kenyataan bahwa bibir dan mulut Addie begitu nyata bermain main di senjatanya, senjata yang cukup besar, cukup panjang dan masih kokoh bagai pilar bangunan. Ahh ... nikmat, hangat, dan dahsyat, setidaknya itulah yang Sabi rasakan.

Tak tahan dengan ritme permainan mulut Addie, tubuh Sabi mengejang, otot-otot tubuhnya sedikit nyata terlihat.

Menyadari pasangan bercintanya akan mengeluarkan sesuatu yang menembak mulutnya, Addie bukannya menghindar, tapi ia membiarkan mulutnya makin terbenam, ia biarkan cairan kejantanan Sabi melesat masuk ke dalam tenggorokannya, sebagian menetes di bibirnya, Addie tersenyum, mengusap sisa cairan kejantanan Sabi yang bertengger di pinggir bibirnya, melumuri secara merata di batang penis milik Sabi.

"Masih bisa lanjut?" Addie bertanya, namun lebih seperti menantang.

Sabi menarik nafas panjang, ia terengah sedikit mengingat dirinya sudah tak muda lagi seperti dulu, namun senyum tipis ia sunggingkan dari bibirnya, "siapa takut."

Dengan gerakan cepat namun tetap penuh kendali, Sabi menarik tubuh Addie mendekat, lalu membaringkannya ke atas ranjang. Tak ada rasa sakit, hanya kejutan kecil yang membuat dada Addie berdebar. Mata mereka bertemu, tatapan yang bicara lebih banyak daripada kata-kata.

Sabi menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari Addie, dan untuk sesaat, dunia menyusut hanya pada ruang sempit di antara napas mereka.

Addie mengangguk pelan, tak ada kata terucap. Tapi sorot matanya jernih seakan berkata: aku siap, aku percaya padamu.

Addie memejamkan mata, napasnya tak teratur, antara menahan rasa yang asing dan membiarkan dirinya larut di dalamnya. Ada sensasi yang datang perlahan, seperti gelombang halus yang merambat melalui tubuh dan hati secara bersamaan.

Sabi memeluknya erat, gerakannya lembut, penuh kehati-hatian, seolah setiap sentuhan adalah janji untuk tidak melukai. Ia membaca tubuh Addie seperti buku yang suci, disentuh dengan rasa hormat dan kasih, bukan nafsu semata.

Sabi memejamkan mata. Ada desakan halus di dadanya, rasa terhimpit yang anehnya tak menyakitkan, justru membawa kenikmatan yang berbeda. Ia menyusuri setiap detik layaknya bait-bait puisi yang tak tertulis, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam ritme yang hanya bisa dimengerti oleh dua jiwa yang saling terbuka.

Desah napas Sabi dan napas Addie bertemu di tengah, bersatu dalam satu irama, lirih tapi penuh arti saat Sabi berusaha masuk senti demi senti, seperti nada tanpa lirik yang tetap bisa bicara. Dalam keheningan yang begitu dekat, mereka menciptakan bahasa sendiri… bahasa yang tak butuh kata, hanya rasa.

"Sakit ...." Addie meringis, bulir air mata keluar dari kelopaknya yang sayup diantara terpejam dan setengah terbeliak. "Please, dont move. Give me a second."

Sabi menatap wajah Addie yang sendu, lelaki itu tidak berbohong, terlukis jelas rasa sakit di raut wajah itu. Sabi diam tak bergerak, namun jemarinya dengan lembut mengusap bulir air mata yang menitik di wajah Addie.

Addie menarik nafas panjang, "I think I am ready" ujar Addie tidak sepenuhnya yakin.

Sabi bergerak pelan, pinggulnya mulai membuat gerakan yang menghentak dengan lembut.

"Stop it... I can't, please" Addie memelas.

Sabi merasakan sedikit kecewa, namun ada perasaan yang lebih mendalam mengendap dalam hatinya—rasa iba yang begitu kuat. Keinginan yang semula membakar dalam dirinya mendadak meredup, seolah segala gairah yang ada mengalir pelan, turun seperti air yang meresap ke tanah. Ia merasa tubuhnya juga turut merasakan hal yang sama, turun perlahan dari kasur empuk yang sempat memberi kenyamanan.

Dengan cepat, ia mengenakan pakaiannya kembali, gerakannya terburu-buru, seolah ingin menutup kembali segala ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Namun, meski ia bergerak cepat, hatinya tetap terdiam, tak bisa mengabaikan perasaan yang hadir begitu mendalam. Ada keraguan yang menggelayuti, tapi juga pengertian yang tak bisa disangkal.

"Aku pulang ya" ujar Sabi berusaha menutupi rasa kecewanya malam itu.

"I am sorry," Addie terduduk lemah di atas ranjang, "Aku ternyata belum siap, Sab."

"That's fine, you didn't need to say sorry, aku ngerti" ucap Sabi menghampiri Addie.

Sabi mengangkat tangannya dengan kelembutan yang nyaris tak terasa, mengusap pipi Addie seolah ingin membekukan waktu di detik itu. Ia menunduk perlahan, lalu mengecup kening lelaki itu. ringan, hangat, dan penuh makna. Sebuah janji diam yang tak perlu diucapkan, hanya dirasakan.

"Good night," bisik Sabi, suaranya seperti nyanyian kecil yang tinggal di udara.

Lalu ia berbalik, melangkah meninggalkan kamar yang masih menyimpan jejak napas mereka. Tapi kepergiannya bukanlah perpisahan, itu hanya jeda. Karena ia tahu, rasa tak selalu hadir dengan gegap gempita. Kadang, ia datang perlahan. Menunggu. Memberi ruang.

Sabi bukan benar-benar pergi dari Addie. Ia hanya memberi waktu agar saat ia kembali nanti, Addie tak hanya membuka pintu... tapi juga pelukannya sepenuhnya.

0 komentar:

Posting Komentar