Rabu, 07 Mei 2025

Bokong Yang Kusuka New Era Part 3

Setelah menuntaskan transaksi di sebuah coffeeshop dekat hotel tempatnya bermalam, Sabi melangkah ringan menuju area merokok, seolah ingin berdamai sejenak dengan pikirannya. Asap rokok pertama, kedua, baru saja menguar, belum sempat membawa resahnya menjauh, ketika namanya melayang di udara—dipanggil lembut oleh sang barista, tanda pesanannya telah siap. Sabi mengambil kopinya, kembali ke kursi semula, duduk, seolah berharap waktu mau menunggu bersamanya.

Ia mengeluarkan ponselnya, menatap layar yang memantulkan cahaya temaram, membaca pesan terakhir dari Mario di Instagram—Mario sedang dalam perjalanan menujunya. Hati Sabi bergetar pelan, setengah menahan napas, setengah membuang harap, takut kecewa jika janji itu sekadar empati, sekadar sapuan hangat yang hanya singgah sebentar di hatinya.

Namun, tiba-tiba ponselnya berdering, getaran kecil itu seakan mengguncang dadanya. Nama Mario muncul di layar, panggilan melalui Instagram. Sebuah senyum tak tertahan mengembang di wajah Sabi saat ia menerima panggilan itu.

"Aku parkir di mana?" suara Mario terdengar langsung, tanpa pemanis, tanpa basa-basi.

Sabi tersenyum kecil, matanya berbinar, “Kamu di mana?”

“Hyundai Creta putih, persis di depan kamu,” jawab Mario, suaranya memecah malam yang sunyi.

Sabi menoleh, memandang mobil yang disebutkan. Kaca gelap menutup pandangan, tapi detik berikutnya jendela itu turun perlahan, memperlihatkan wajah yang begitu dirindukan. Mario tersenyum, ponsel masih di telinga, tangan satunya menggenggam kemudi. Rasanya, seluruh dunia Sabi merapat ke titik itu.

Dengan langkah ringan, Sabi menghampiri, meninggalkan kopinya tanpa sedikit pun penyesalan. Tidak ada yang lebih penting di dunia ini baginya, selain makhluk berkacamata yang kini tersenyum di balik kemudi. Tanpa ragu, tanpa permisi, Sabi sudah duduk di kursi penumpang, seolah ruang kosong itu memang selalu menunggunya.

“Muter kanan, itu langsung ke basement hotel,” ucap Sabi, jari telunjuknya mengarah pada jalan yang akan mereka lintasi.

Tak ada obrolan, hanya keheningan yang merangkai keduanya, ditemani hembusan angin dari AC yang sesekali menyentuh pipi. Diam-diam, keduanya berjalan menuju lift hotel, langkah mereka serasi tanpa perlu kata. Keheningan itu tak terasa canggung, justru seolah bahasa rahasia yang hanya mereka pahami.

Lift berdenting lembut, membawa mereka ke lantai 18. Menyusuri lorong menuju kamar yang Sabi pesan, tiap langkah seperti melukis jarak yang kian hilang di antara mereka.

“Aku baru tau ada hotel sebagus ini di sini,” ujar Mario perlahan, begitu Sabi mempersilahkannya masuk.

Kamar itu menyambut mereka dengan hangat—ruang makan yang menyatu dengan ruang tamu berhias TV LCD besar, dan kamar tidur terpisah di balik pintu, dengan ranjang King size yang memanggil kelelahan mereka. Di sudut, kamar mandi bersembunyi, seolah menjaga rahasia malam itu.

Dan di antara ruang-ruang itu, ada sesuatu yang lebih luas dari sekadar kamar: kehadiran, yang akhirnya tak lagi sekadar janji.

Tak banyak kata. Hanya pandangan yang bicara. Pandangan yang saling membaca, saling menjelajahi luka dan rindu tanpa suara.

Di dalam sini, hanya ada mereka berdua, dua bayang-bayang yang saling mencari, dua hati yang pernah saling ditinggalkan.

"Aku nggak tahu harus ngomong apa," ujar Mario pelan, duduk di tepi ranjang.

"Kita nggak harus ngomong," sahut Sabi, suara rendahnya mengambang di udara seperti kabut tipis.

Sabi duduk di samping Mario. Jarak di antara mereka nyaris tak ada, tapi keheningan itu tak memaksa apa pun. Sejenak mereka hanya duduk. Sunyi, tapi penuh.

Kemudian, perlahan-lahan, Mario menyandarkan kepalanya di bahu Sabi.

Sabi mendekat, pelan, nyaris tak bersuara. Tangannya menyentuh wajah Mario, mengusap perlahan pipinya yang dingin. Jemari itu gemetar sedikit, seolah takut retak kalau disentuh terlalu keras.

Mario menutup mata, menghela napas berat yang selama ini ia tahan. "Setelah hampir 10 tahun, Aku... nggak tahu harus gimana," bisiknya, hampir seperti pengakuan dosa.

"Aku sendiri nggak ingat berapa lama kita nggak ketemu" ujar Sabi membuat Mario tersenyum getir.

Pemandangan lampu kota terlihat dari jendela kamar hotel, gemerlap itu sungguh menenangkan kedua insan yang saling rindu.

"Terus, kita mau ngapain disini?" tanya Mario.

"Cuma ngobrol aja" jawab Sabi menarik tubuh Mario semakin dekat.

"Kita udah 32 tahun, bukan anak muda lagi, Mas" Mario terkekeh, "

Tubuh mereka saling mendekat. Perlahan, seperti dua daun yang terbawa angin, saling terdampar di satu tempat yang sama.

Bibirmu menempel di dahiku, Yo, batin Sabi — dan ketika Mario benar-benar mengecup pelipisnya, rasanya seperti hujan pertama yang jatuh di tanah kering.

Tak ada kata-kata.

Sabi menarik Mario ke pelukannya, mengusap lehernya, mencium lembut di dekat telinga. Detik-detik itu begitu lambat, seperti mereka ingin menghafalkan setiap tarikan napas, setiap detak jantung.

Mario membalas, memeluk Sabi erat, tangan-tangannya mulai meraba punggung, turun perlahan, mengukir jalur kerinduan yang sudah lama terpendam. Di antara ciuman yang semakin dalam, napas mereka saling tersengal, tapi bukan hanya oleh gairah — melainkan oleh emosi yang menggelegak, yang tak bisa dihentikan.

"Kamu nggak berubah, Mas," bisik Mario di sela bibir yang bersentuhan. "Masih bikin aku nggak bisa mikir."

Sabi memejamkan mata, menarik tubuh Mario lebih dekat. "Dan kamu... selalu bikin aku nggak bisa berhenti."

Mereka terbaring di atas ranjang, ciuman demi ciuman berlanjut — lembut, penuh rasa, namun perlahan menghangatkan kulit, merambat dari jemari yang saling menggenggam, ke leher yang dikecup, ke dada yang bergetar.

Tidak ada yang terburu-buru.

Malam itu bukan tentang melampiaskan, bukan tentang mengambil, tapi tentang menyentuh, menyatu, mengisi kekosongan yang tak bisa diisi oleh kata-kata.

Di bawah temaram lampu kamar, waktu seolah kehilangan maknanya. Sabi mencium lembut bibir Mario, awalnya sekilas, ragu, tapi begitu Mario memejamkan mata dan menarik Sabi lebih dekat, ciuman itu perlahan memanjang, dalam, seakan mereka mencicipi kembali setiap ingatan yang pernah hilang.

Tangan Sabi melingkar di pinggang Mario, menarik tubuhnya lebih erat, merasakan degup jantung yang berdebar cepat di balik lapisan kemeja tipis itu. "Yo," bisiknya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh desir napas yang saling memburu, "malam ini... biar aku yang jaga kamu."

Mario menggigit bibirnya sebentar, menatap Sabi dengan mata setengah sendu, setengah penuh hasrat yang lama dipendam. Jemari Mario kemudian naik, mengusap leher Sabi perlahan, menelusuri rahang, lalu menyapu rambutnya ke belakang, memperlihatkan wajah yang dulu hanya bisa ia kenang diam-diam.

Mereka bergeser ke tepi ranjang, masih berdiri, masih saling memeluk, seakan enggan buru-buru merobek malam ini jadi potongan-potongan waktu. Kemeja Sabi perlahan dilonggarkan, kancing demi kancing dibuka oleh jemari Mario yang sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak rasa yang menyesak di dalam dada.

Begitu kulit mereka bersentuhan, kehangatan langsung menjalar — bukan sekadar hawa tubuh, tapi aliran rindu yang selama ini tertahan. Sabi menunduk, mengecup pundak Mario, menarik napas panjang seolah ingin menghafal aroma kulit itu. Mario menyandarkan kening di bahu Sabi, tangannya menggenggam erat, jari-jarinya menekan lembut punggung Sabi.

Mereka rebah perlahan di ranjang, kain-kain yang memisahkan mereka terlepas dengan gerakan sabar, tanpa terburu, tanpa memaksa. Setiap ciuman, setiap belaian, terasa seperti janji yang dilafalkan tanpa kata-kata. Sabi menciumi garis rahang Mario, turun ke tengkuknya, sementara Mario mengusap wajah Sabi, jarinya menyisir pelipis, mengusap kelopak mata yang tertutup.

"Pelan-pelan" lirih Mario saat penis Sabi menggesek pintu anusnya, kedua mata mereka bertemu tatap, "aku udah nggak muda lagi" ucap Mario memandang tajam, tersirat kerinduan yang hangat dan teramat dalam.

"Kamu nggak perlu bilang, itu keliatan dari perut kamu yang sekarang udah mulai buncit" Sabi tertawa kecil meledek Mario yang tak sixpack lagi seperti dulu.

"Ya, kamu makin keliatan muscle dan muda, sedangkan aku bapak-bapak banget. Kamu harusnya cari yang lebih muda" jawab Mario memperbaiki posisi tidurnya dan berusaha mengarahkan penis Sabi tepat di belahan anusnya.

"Aku masih Marioseksual kayak dulu, nggak peduli kamu mau kakek-kakek sekalipun" balas Sabi membuat Mario mempererat pelukannya.

"Kayaknya kamu butuh pelicin yang lebih banyak, ini pertama kalinya buat aku setelah aku pergi dari kehidupan kamu" bisik Mario penuh gairah.

Sabi mengangguk, tentu saja ia sudah menyiapkan semuanya. Ia meninggalkan Mario sejenak di atas ranjang, mengambil lubricant di dalam tas kopernya dan kembali menghampiri Mario.

"Kamu yakin?" Sabi tak langsung terburu-buru, ia sama sekali tidak ingin menyakiti Mario malam ini, "kalau ragu, kita nggak perlu sejauh itu."

Mario menggeleng, "Aku kesini untuk kamu, Mas. Kamu nggak perlu khawatir."

Sabi dikerumuni nafsu, ia juga tidak mungkin mau menyia-nyiakan kesempatan setelah sekian purnama memisahkan dirinya dan menggerogoti kerinduan di dalam hatinya. Dengan segera tetesan demi tetesan pelicin itu ia tumpahkan ke penisnya yang kian menegang.

"Arghhh .... Pelan ... Pelan" desah Mario saat kerasnya batang milik Sabi menerobos masuk meruntuhkan pertahanan liang senggamanya.

"Ahhh ... " Keduanya mendesah bersamaan.

Sabi dan Mario menarik nafas panjang bersama, menatap lekat satu sama lain. Kini Sabi sudah menyatu dengan Mario. Tentu saja Mario tidak berbohong, Sabi bisa merasakan ketat dan sempitnya liang itu, liang senggama yang sudah lama tak disentuh, bokong yang Sabi suka memang tidak pernah disinggahi lagi selain Sabi saja pemiliknya.

Sabi masih diam, tak bergerak, seperti menunggu titah dari pemilik bokong yang masih meringis kesakitan.

Mario masih menatap dengan penuh kelembutan disertai pancaran penuh cinta dan harap. Ia mengangguk, pertanda mengizinkan Sabi untuk mulai mengendarai dirinya.

Desah pelan memenuhi ruang, rintihan tipis bercampur gumaman nama, napas yang saling tercampur di antara ciuman yang makin panas namun tetap lembut. Sabi mengecup dada Mario, merasakan detak jantung yang cepat, lalu mendongak menatap matanya, bertanya tanpa suara, dan mendapat jawab lewat senyuman yang lirih.

Malam itu, mereka bercinta bukan sekadar tubuh yang menyatu, tapi jiwa yang merangkak kembali, perlahan, ke tempat di mana dulu mereka pernah saling memiliki. Tiap tarikan napas, tiap lenguhan tertahan, adalah musik rahasia yang hanya mereka berdua tahu nadanya.

Dan ketika akhirnya keduanya terkulai, berkeringat, masih saling memeluk erat, Mario menyelipkan wajahnya ke leher Sabi, mencium pelan kulitnya sambil berbisik:
"Mas... kamu masih kayak dulu, jago."

Sabi mengusap rambut Mario, mengecup keningnya sekali lagi. "kamu lebih jago, terbukti kamu punya anak yang cantik sekarang."

“Kamu mau tidur?”
Sabi membelai lembut rambut Mario, yang terbaring di dadanya — helai demi helai seperti membaca puisi sunyi, jemari menyisir waktu yang pernah patah.
Tangan Mario, nakal, menari pelan dari dada ke perut Sabi, menjelajah tanpa suara, sesekali berhenti di belantara kecil di sekitar kulit yang paling rahasia.

“Aku belum ngantuk, aku mau ngobrol… tapi posisinya kayak gini aja,” bisik Mario, pipinya melekat erat di dada Sabi, lengan mengunci tubuh itu seolah menahan waktu yang selalu ingin berlari.

Sabi hanya tersenyum tipis, matanya menggantung pada langit-langit kamar hotel, meraba ingatan yang tak pernah ia undang tapi selalu datang — betapa sebenarnya ia tak pernah benar-benar melupakan nama itu, Mario, sekalipun lidahnya telah lama berhenti menyebut.

“Sepuluh tahun ya kita nggak ketemu?” tanya Mario, seperti membaca lintasan rahasia di benak Sabi.

“Aku nggak begitu ingat, karena kalau aku ingat terus, kapan aku bisa lupa,” jawab Sabi, jemarinya tetap mengusap rambut Mario, seolah menenangkan bukan hanya lelaki itu, tapi juga jiwanya sendiri.

“Gimana keadaan Abah sama Ibu kamu?” suara Mario merambat pelan, seperti anak sungai yang mencari muara.

“Abah udah meninggal,” jawab Sabi.

“Gara-gara kita?” potong Mario cepat, matanya dipenuhi bayang bersalah.

“Bukan,” Sabi terkekeh kecil, “memang udah sakit-sakitan.”

“Kamu baik-baik aja kan sama keluarga kamu, Mas?” tanya Mario lagi, suaranya seperti mengeja luka lama.

“Awalnya nggak, sama kayak keluarga kamu. Tapi sekarang… semuanya baik-baik aja,” bisik Sabi, lirih, mengingat perih yang kini hanya jadi garis samar.

“Jangan bahas yang dulu-dulu… bisa nggak malam ini kita kayak orang yang baru kenal aja,” pinta Sabi, dan senyum tipis langsung mencuri tempat di wajah Mario.

Mario mengecup pipi Sabi, ringan, seperti angin yang takut mematahkan kelopak.

“Aku kangen banget sama kamu, Mas. Maafin aku karena udah nyakitin hati kamu.”

Sabi mengecup rambut Mario, membiarkan bibirnya berbicara sebelum kata-kata keluar.
“Aku baik-baik aja, Yo. Kamu juga beneran nepatin janji. Nggak ada laki-laki lain selain aku. Dan kamu akhirnya menikah sama perempuan, punya anak yang cantik. Nggak ada alasan buat aku untuk sedih, kan? Kebahagiaan kamu itu… kebahagiaan aku juga.”

“Mas, aku harap Mas nggak salah paham kenapa aku mau ketemu sama kamu,” bisik Mario, matanya menutup, seperti mencoba menyimpan air yang tumpah di kelopak.

“Aku ngerti… aku nggak berharap lebih. Kamu masih mau ketemu aku, itu udah cukup buat aku,” suara Sabi mengalun, seperti doa yang tak pernah dikirim tapi selalu sampai.

“Aku nggak mau kita sengaja ketemu ya, Mas. Kalau emang takdir nemuin kita kayak sekarang ini, aku pasti akan dateng ke kamu, Mas. Tapi kalau takdir nggak nemuin kita di tempat yang sama, tolong… jangan saling mencari ya, Mas,” pinta Mario, menggenggam Sabi lebih erat, seperti takut terbangun dari mimpi yang tak bisa ia ulangi.

“Ya… kita tetap akan saling melupakan. Aku janji,” bisik Sabi, membalas pelukan itu, menganyam kehangatan yang mereka tahu tak lama lagi akan jadi kenangan, "boleh minta jatah preman sekali lagi."

Mario tersenyum dan kepalanya mengangguk pertanda memberikan Sabi ijin untuk merengkuh dirinya lagi dalam nikmat yang mereka labuhkan malam ini.

"Hari ini semuanya untuk kamu, mas" bisik Mario menggoda di telinga Sabi.

Mereka tertawa pelan — tawa yang letih, tawa yang hangat, tawa yang tahu persis apa itu kehilangan.

Lalu tangan mereka saling menggenggam, mata perlahan terpejam, dan malam di luar jendela menghitam sempurna.
Langit memeluk rahasia mereka, menyelimutinya lembut — memberi ruang bagi dua hati yang akhirnya menemukan satu malam untuk saling melepaskan, atau mungkin, untuk saling memeluk… untuk terakhir kalinya.

* * *

Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut dari sela tirai tipis, melukis garis keemasan di kulit mereka yang masih saling bersandar. Aroma kopi samar-samar tercium dari meja sudut, bercampur harum linen yang sedikit kusut.

Mario menggeliat pelan, membuka mata sambil mengerjap malas. Sabi sudah duduk di tepi ranjang, hanya mengenakan kaos tipis, membelai rambut Mario dengan jemari yang pelan, seolah ingin menyisir kenangan yang baru saja mereka rajut semalam.

“Pagi,” bisik Sabi, senyumnya mengembang hangat.

Mario menarik napas panjang, lalu tertawa kecil. “Pagi, Mas… kayak mimpi ya, semua ini.”

Sabi menunduk, mencium kening Mario, lama, penuh keheningan yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata. “Kalau ini mimpi,” ucapnya pelan, “aku pengen tetap tidur, Yo.”

Mario tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya, menarik Sabi rebah lagi di sampingnya. Mereka berbaring saling memandang, hidung nyaris bersentuhan. Mario mengusap pipi Sabi, matanya berkilat menahan sesuatu yang menggantung di dasar hati.

“Mas…” suara Mario lirih, nyaris pecah, “janji ... setelah ini jangan cari aku lagi, ya?”

Sabi mengernyit pelan, tapi tidak berkata apa-apa. Matanya hanya menatap, dalam, seakan mencari makna di balik permintaan itu.

“Aku minta, Mas… buat kita sama-sama belajar melepaskan.” Mario menarik napas gemetar. “Aku nggak mau kamu terus terjebak di aku, nggak mau kamu nungguin aku sambil nyalahin hidupmu sendiri.”

Sabi mengatup bibir, menahan getar di dadanya. Perlahan ia menggenggam tangan Mario, membawanya ke dada. “Aku nggak pernah nyalahin hidup, Yo. Aku cuma… belum belajar berhenti berharap.”

Mario tersenyum tipis, menggenggam balik. “Sekarang waktunya belajar, Mas. Aku juga belajar kok. Aku belajar buat jadi suami yang baik… jadi ayah yang nggak nyakitin anaknya.” Dia menarik napas panjang, lalu mengusap wajah Sabi, menatapnya lekat-lekat. “Aku pengen kamu buka hati buat siapa pun yang kelak akan mencintai kamu, dengan utuh, tanpa bayangan aku.”

Keheningan menggantung. Hanya detak jam dinding yang terdengar, seirama dengan denyut jantung yang nyaris serempak.

Sabi mengangguk pelan. Matanya memerah, tapi bibirnya tersenyum. “Aku ngerti, Yo. Aku janji nggak bakal nyari kamu. Aku… aku juga nggak mau jadi alasan seorang anak kehilangan ayahnya atau seorang istri kehilangan suaminya. Tapi kalau takdir yang mempertemukan seperti saat ini, aku nggak bisa janji untuk nggak nyamperin kamu.”

Mario menarik Sabi ke pelukannya, memeluk erat seolah ingin mencetak jejak itu selamanya di memorinya. “Mas…” suaranya pelan, “kamu akan selalu jadi rumah pertama di hatiku. Tapi rumah itu… sekarang harus kosong. Biar nggak ada yang terluka.”

Sabi mengusap punggung Mario, matanya terpejam menahan perih yang hangat, bukan lagi pahit. “Kamu… akan selalu ada di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya sendiri. “Tapi aku janji, aku nggak akan bikin kamu balik ke dalam sini.”

Mereka tertawa kecil, sama-sama getir, sama-sama lega. Mario kemudian menggenggam wajah Sabi, menatap dalam. “Kamu orang baik, Mas. Jangan simpen cinta kamu cuma buat aku. Ada seseorang di luar sana yang bakal jatuh cinta sama kamu… secara utuh.”

Sabi mencubit pelan ujung hidung Mario, lalu mengecupnya ringan. “Dasar tukang nasehat,” gumamnya sambil tertawa kecil. “Tapi ya… mungkin kamu benar.”

Mereka duduk berdua di tepi ranjang, kaki bersentuhan, menatap matahari pagi yang malu-malu masuk. Tak ada air mata yang tumpah, hanya kehangatan yang menguap perlahan, bersama janji-janji yang akhirnya mereka relakan untuk tak diikat lagi.

"Aku pulang ya, mas" Mario kembali mencium Sabi, memeluk tubuh itu erat seolah takut kehilangan.

"Nggak sarapan dulu? atau mandi dulu?" tanya Sabi.

Mario menggeleng, ia berdiri memungut jam tangannya di meja samping tempat tidur, "Aku harus anter Cica sekolah jam 10 pagi ini."

"Marisca Sabina" celetuk Sabi pelan namun terdengar di telinga Mario.

"Kok, kamu ... tau nama lengkapnya?" Mario mengernyitkan dahi sambil mengenakan celananya.

"Aku sempet liat postingan kamu" jawab Sabi ikut berdiri masih dalam keadaan telanjang, "aku nggak mau kepedean tapi nama belakangnya persis ..."

"Nama kamu" Mario memotong dan menggenggam tangan Sabi, "ya ... memang. Jadi ... Aku nggak perlu jelasin siapa yang paling aku cintai di dunia ini kan."

Sabi tersenyum mengecup kening Mario. Saat Mario mengenakan bajunya, Sabi berdiri di belakangnya, merapikan kerah sambil berbisik, “Hati-hati di jalan.”

Mario menoleh, mengecup pelipis Sabi dengan lembut. “Kamu juga hati-hati di hidupmu, Mas.”

Dan saat Mario melangkah pergi, membuka pintu kamar itu, ia menoleh sekali lagi. Senyumnya kecil, matanya berkaca, tapi ia cepat-cepat mengedipkannya.

Sabi berdiri di ambang pintu, menatap punggung itu berjalan menjauh, membisikkan dalam hati,
“Terima kasih, Yo. Untuk segalanya. Untuk cinta yang pernah kita punya… dan untuk keberanianmu melepasnya.”

Dan pagi itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabi membiarkan matahari masuk sepenuhnya ke dalam hidupnya. Membiarkan ruang di hatinya terbuka, bukan untuk luka, tapi untuk kemungkinan baru yang suatu hari mungkin akan datang.

0 komentar:

Posting Komentar