Jumat, 23 Mei 2025

Dari Kamboja dengan Rahasia Prolog

Apa asyiknya menulis cerita?
Bagi Sabi, dulu menulis itu semacam ritual suci, sebuah tempat aman yang membebaskan semua rasa yang tak sempat ia ungkap ke siapa-siapa. Tapi akhir-akhir ini, segalanya terasa kosong.
Ide-ide yang dulu berisik di kepala, kini hilang, entah dibawa angin atau disembunyikan oleh waktu.

Sudah berapa lama laptop itu menyala tanpa satu kata pun ditulis?
Entah. Yang jelas, sore itu Sabi menyerah.

Dia menutup layar laptopnya dengan pelan, seperti menidurkan bayi yang tak kunjung tertidur, lalu bangkit dan berjalan ke dapur. Ia menyeduh kopi, berharap aroma robusta yang hangat bisa jadi mantra pemanggil inspirasi.

Tapi tak lama, ponselnya berdenting.
Notifikasi dari Instagram.
Ia mengangkat alis, sedikit penasaran. Saat dilihat, senyumnya mengembang.

"Bang, salam kenal. Gua pembaca lu di wattpad... Apa tawaran curhat itu masih berlaku?"
Kalimat pertama itu saja sudah cukup untuk membuat jantung Sabi berdetak lebih cepat. Bukan karena senang semata, tapi karena ada sesuatu di nada pesan itu yang... entah kenapa, terdengar penting.

"Gua suka banget cerita-cerita lu, dan gua pengen cerita. Siapa tau bisa jadi inspirasi lu buat nulis."

Sabi tersenyum tipis, lalu mengetik balasan:

"Hai, salam kenal. Makasih ya udah baca tulisan gua yang masih jauh dari kategori bagus. Ngomong-ngomong, cerita apa nih? Tapi gua nggak janji ya bisa gua tulis. Gua harus tertarik dulu sama ceritanya, biar nulisnya juga enak."

Balasan tak butuh waktu lama.

"Semoga menarik ya bang. Tapi tolong, nama gua disamarkan. Termasuk nama-nama yang nanti gua sebutin."

"Pasti," balas Sabi. "Coba lu mulai dulu aja, singkat-singkat juga nggak apa."

Dan kemudian, ia membaca:

"Oh ya kenalin, Bang. Nama gua Arki. Gua kerja di Kamboja."

Sabi langsung membalas cepat.

"Waaah, gua juga pernah ke Kamboja. Kerja apa disana?"

Arki mengetik lagi.

"Lu pasti tau deh kerjaan gua. Kayak yang lagi rame di TikTok. Gua kerja di judi online."

Sabi mengernyit, bukan karena menghakimi, tapi karena penasaran. Lalu mengetik:

"Oh ya? Terus?"

"Gua punya cerita, bang. Tentang temen sekamar gua di sini. Sama-sama Indo."

"Wait, ini gay kan?" tanya Sabi setengah bercanda, setengah serius.

"Ya iyalah bang. Gua baca cerita lu soalnya buat kaum gua juga. Hehe."

"Sorry gua banyak motong ya... terusin."

Arki pun lanjut bercerita.

"Gua mau cerita tentang percintaan gua disini bang, percintaan gua yang berubah setelah kenal dia."

"Gua inget hari pertama gua sampai di mess. Malem itu hujan, bukan hujan deras, tapi cukup buat ngebasahin bahu waktu jalan dari kantor ke pintu depan mess. Gua masih inget bau tanah, bau plastik kresek, dan suara kodok di got belakang. Gua masuk kamar, dan ketemu dia."

"Namanya Lian. Tingginya cuma beda dikit dari gua. Kulitnya sawo matang, rambut cepak, matanya kayak mata orang yang udah ngelihat banyak hal tapi milih diem aja."

"Awalnya gua biasa aja bang. Kita kerja bareng, makan bareng, kadang begadang bareng nonton film bajakan dari hardisk. Tapi ada satu malam..."

Sabi makin serius membaca. Kopinya sudah dingin. Tapi hatinya malah mulai hangat.

"Satu malam itu, lampu mati. Gua kebangun karena AC ikut mati, gerah banget. Lian belum tidur, dia lagi duduk di kasurnya, ngerokok dalam gelap. Cahaya korek api sempat nyorot mukanya sebentar."

"'Gak bisa tidur?' tanya dia."

"'Gerah.' Gua jawab sambil selonjoran."

"Dia geser dikit, duduk di ujung kasur gua. Terus tiba-tiba dia nyalain senter HP, ngarahin ke wajah gua. 'Ganteng juga lo kalau berkeringat,' katanya."

Sabi membaca kalimat itu pelan. Ia mengulanginya sekali lagi dalam kepala. Lalu mulai mengetik:

"Itu momen pertama lu merasa aneh?"

"Bukan sih bang, kalo ngerasa aneh itu dari awal kenal dia. Itu momen pertama gua ngerasa dilihat, bang. Gua ngerasa... ada orang yang beneran mandang gua. Gua yang selama ini cuma numpang hidup, numpang kerja, numpang napas."
Arki melanjutkan.

"Setelah malam itu, semuanya berubah. Kita jadi lebih deket. Ada momen-momen kecil, yang dulu gua anggap biasa, tapi malah terasa... sakral. Kayak waktu dia nyisain ayam goreng karena tau gua suka paha. Atau waktu dia nolak cewek Indo yang naksir dia, cuma karena 'udah ada yang bikin nyaman' katanya."

"Gua jadi baper, bang. Tapi gua juga takut. Takut dia bercanda. Takut gua yang salah rasa. Tapi suatu malam, dia tidur di kasur gua. Kita nggak ngapa-ngapain. Cuma pelukan. Tapi entah kenapa, pelukan itu lebih hangat dari segalanya."

Sabi terdiam. Tangannya berhenti di atas keyboard. Dunia seolah melambat, hanya suara kipas dan jantungnya yang terasa.

Ia membuka laptop lagi. Tangan-tangan yang tadi beku, kini mulai menari di atas keyboard.

Sebuah cerita mulai terbentuk.
Tentang seorang 
Arki, tentang rahasia yang tumbuh di kota asing, tentang cinta yang tak memilih tempat lahirnya.

Dan tentang seorang penulis, yang menemukan kembali alasan untuk menulis, bukan karena ide yang datang dari kepala, tapi dari hati orang lain yang berani membuka luka.




Minggu, 18 Mei 2025

Bokong Yang Kusuka New Era Ending

Sore turun pelan, menyelimuti kota Jakarta dengan langit yang menguning lembut. Di lantai bawah hotel, suara tawa Kai dan Albi kembali memenuhi udara. Mereka bermain di taman kecil yang berada di samping restoran, tempat keluarga Sabi sedang makan bersama.

Addie duduk di salah satu bangku taman, bersama ibu Sabi dan istri Harun. Matanya mengikuti Kai yang sedang mengejar gelembung sabun yang ditiup Albi, lalu sesekali ikut tertawa melihat kelucuan tingkah mereka. Tapi tawa Addie tetap seperti ada jarak, senyum yang belum sepenuhnya pulih.

Sabi muncul dari arah lift. Di tangannya, ia membawa dua kantong plastik bening berisi mainan edukatif dan dua buku dongeng bergambar. Ia melambaikan tangan pada keponakannya, dan keduanya langsung berlari ke arahnya, menjerit senang.

“Kai! Albi! Nih, Om Sabi bawa mainan,” ucapnya sambil jongkok. “Yang satu bisa nyalain lampu kalau jawabannya benar, yang satu lagi bisa jadi panggung boneka. Tapi kalian harus janji, cuma boleh main kalau udah mandi dan makan, ya.”

Anak-anak langsung mengangguk heboh, lalu membawa mainan itu ke rumput sambil berteriak kegirangan. Addie memperhatikan dari kejauhan. Senyum pelan mulai terbit di wajahnya, walau belum ia izinkan tumbuh penuh.

Sabi berjalan pelan ke arah mereka. Ia menunduk hormat pada ibunya dan kakak iparnya, Setelahnya Ibu dan kakak iparnya meninggalkan Sabi dan Addie untuk menemani Kai dan Albi bermain. Sabi menoleh ke Addie. Tanpa banyak kata, ia duduk di sampingnya. Di tangan kirinya ada satu lagi kantong kecil bungkus kertas kraft berisi sesuatu.

“Ini buat kamu,” katanya pelan, menyodorkan bungkus itu.

Addie menatapnya curiga, tapi tetap menerimanya. Saat dibuka, isinya adalah sepasang gelang handmade dari keramik berwarna hijau toska, motifnya seperti dedaunan yang dijemur sore hari.

“Aku tahu kamu suka yang nggak terlalu mencolok,” ucap Sabi. “Aku nemu ini di toko kecil dekat kantor .Dan... aku ingat kamu pernah bilang, ‘hijau adalah warna yang sabar’.”

Addie terdiam. Ia memang pernah bilang itu, beberapa waktu lalu, saat mereka masih sering ngobrol larut malam tentang warna-warna dan perasaan.

“Aku cuma mau bilang...” lanjut Sabi, suaranya pelan, “aku mungkin butuh waktu untuk jadi laki-laki yang bisa kamu percaya sepenuhnya. Tapi aku akan belajar. Dan selama proses itu, aku pengin tetap ada di samping kamu, dengan cara yang nggak nyakitin kamu lagi.”

Addie memandangi gelang itu lama. Lalu, ia memakainya satu. Bukan dua. Tapi itu sudah cukup. Ia masih diam, namun tak berpaling. Dan saat Sabi berdiri lagi untuk ikut main bersama keponakannya, Addie menatap punggungnya... kali ini dengan sorot mata yang tak lagi beku.

"Semalem kamu kemana? kok cuma Addie yang nyamperin ke kamar ibu" tanya Ibu, di sela tawa kecil menyaksikan Kai dan Albi berlarian kejar-kejaran.

Sabi terdiam sejenak. Ada jeda yang terlalu panjang untuk sebuah pertanyaan ringan. Ia menarik napas pelan, lalu menjawab dengan suara yang terdengar gugup.

"Ah ... anu ... semalem aku ke minimarket beli rokok."

Ia berbohong. Dan ia tahu, bukan karena tak percaya pada ibunya, tapi karena ada kisah semalam yang belum sanggup ia ucapkan, kisah yang lebih baik tersimpan diam.

Ibu mengangguk ringan, lalu menimpali, "kenapa nggak beli rokok pas kamu beliin ibu sate, malah jadi bolak-balik."

Sabi mengernyit pelan, tidak paham.

“Sate?” gumamnya, seolah kata itu asing di telinganya sendiri.

“Iya,” ujar Ibu sambil tersenyum kecil, matanya masih mengikuti Albi yang mengejar mainannya. “Sate yang Addie bawain semalam. Katanya itu titipan dari kamu.”

"Ah iya ... lupa soalnya, nggak sekalian beli rokok. Jadi aku turun lagi, bu"

Ia kembali berbohong. Tapi suaranya terdengar lebih tenang, seolah sedang menyusun ulang kenyataan dalam versi yang lebih mudah dicerna.

Ibu tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya menatap Sabi sesaat, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada cucunya yang tertawa lepas. Seolah memahami bahwa ada hal-hal yang anak-anaknya belum siap ceritakan—dan seorang Ibu, terkadang tak perlu tahu semua, cukup mendoakan yang tersembunyi.

Addie lalu melangkah pelan ke arah Albi dan Kai. Diam-diam ia berdiri di antara mereka, seperti angin lembut yang hadir tanpa suara. Ia meraih tangan Kai, lalu berkata dengan nada yang hangat dan penuh sayang,
“Kita baca buku yang ada panggung bonekanya, yuk... Tapi, Kai yang jadi pengisi suaranya, ya.”

Kai mengangguk antusias. Dan di momen sederhana itu, dunia terasa sejenak baik-baik saja.

Sabi menoleh. Pandangan mereka bertemu. Addie tersenyum. Bukan senyum besar yang penuh kepastian, tapi senyum yang jujur, yang datang dari hati yang mulai luluh setelah badai.
Senyum yang memberi ruang, tanpa menuntut.

Karena cinta, kadang tak butuh janji yang megah.
Cinta tumbuh kembali dari hal-hal kecil: dari gelang yang dipilih dengan ingatan, dari sabar yang terus diuji, dan dari keberanian seseorang yang memilih tinggal, walau sempat nyaris pergi.

Dan sore itu, saat cahaya senja membasuh taman kecil di sudut Jakarta, mereka tak lagi saling mengejar.
Mereka belajar untuk mulai dari ulang, dengan langkah yang lebih pelan, tapi saling sejajar.

Lalu, di tengah canda tawa anak-anak, di antara aroma rumput dan angin yang membawa sisa mentari, Sabi mendekati ibunya perlahan.

“Bu...” katanya lirih,
“Malam ini, Yusuf mau ke kamar. Aku... mau bicara sesuatu yang penting.”

Ibunya menoleh, menatap anaknya lama. Lalu tersenyum. Senyum seorang ibu yang tahu, bahwa anak laki-lakinya mungkin telah menemukan keberanian untuk menyampaikan hal yang bukan hanya penting, tapi mungkin... akan mengubah arah perjalanan mereka selanjutnya.

* * *

Malamnya, Jakarta baru saja selesai diguyur hujan malam. Jalanan masih mengilat, seperti kaca yang baru dibersihkan, dan udara mengandung sisa aroma tanah yang tenang. Di restoran hotel, Sabi duduk sambil menyeruput kopi hitamnya. Addie datang terlambat beberapa menit, mengenakan baju panjang putih yang digulung di bagian lengan, rambutnya masih basah separuh, menandakan ia mandi terburu-buru.

Tak banyak percakapan. Tapi tidak ada jarak yang menusuk seperti beberapa hari lalu. Hanya ada ruang yang mereka beri satu sama lain, cukup untuk tumbuh dan tidak saling melempar luka.

Sampai tiba-tiba Addie membuka laptop, mengecek email pagi.

Matanya terpaku. Ia menatap layar beberapa detik lebih lama dari biasanya.

“Ada apa?” tanya Sabi, sambil meletakkan sendok.

Addie menoleh, tak langsung menjawab. Kemudian memutar laptop agar bisa dilihat Sabi juga.

Subject: Expansion Project Malaysia – Assigned to Yusuf Asabi & Jeffadie
From: HQ Singapore

Dear Yusuf and Jeff,

We are pleased to inform you that both of you have been selected to lead the initial groundwork and partnership planning for our upcoming expansion in Kuala Lumpur. This assignment is projected to last between 1 to 2 weeks, with options for extended collaboration based on outcomes.

Departure: tomorrow
Please prepare your transitional reports ASAP.

Sabi menarik napas, panjang. Dunia seolah kembali bergerak cepat di depan mata mereka. Keheningan kecil muncul. Bukan karena mereka tak tahu harus berkata apa, tapi karena keduanya sadar… keputusan ini bukan sekadar tentang pekerjaan.

"Dadakan amat" lirih Sabi menyeruput kopinya.

“Kamu mau?” tanya Addie, suaranya pelan tapi langsung menusuk ke arah yang paling dalam, "kalau nggak mau, bisa serahin projectnya ke yang lain."

Sabi tak langsung menjawab. Ia menatap jendela, melihat langit Jakarta yang mulai muram lagi setelah diguyur hujan. Lalu menatap Addie, lama, seperti sedang membaca puisi yang hanya bisa dipahami oleh dua pasang mata.

“Mau, kapan lagi bisa kerja sambil jalan-jalan sama pacar” jawab Sabi akhirnya.

Addie tersenyum tipis. Tapi bukan senyum yang meyakinkan, melainkan yang mengandung keraguan. 

Sabi menatap penuh hangat. “Aku masih belum dapet maaf sepenuhnya ya?”

Addie menatap meja, lalu jari-jarinya menggenggam mug putih berisi teh. “Aku nggak marah sedikitpun, Kamu nggak butuh maaf dari aku. Aku cuma takut kamu masih punya bayangan di belakang. Takut aku bukan tempat kamu berlabuh. Aku bukan orang yang kamu kejar... tapi aku cuma orang yang kebetulan ada saat kamu nyerah.”

Sabi mengulurkan tangan, menyentuh punggung tangan Addie dengan lembut. “Kamu itu bukan tempat aku menyerah. Kamu itu alasan aku mulai ulang, Add.”

"Percaya sama aku, kamu ... adalah era baru yang akan aku perjuangkan sampai kapanpun."

"Ke kamar, yuk" ajak Addie malu-malu.

"Sebelum ke kamar, kita ke kamar Ibu dulu, sekalian pamit buat pergi besok" ujar Sabi tersenyum penuh cinta.

* * *

“Malaysia jauh nggak, Om?” tanya Albi polos, sambil mengaduk es krimnya.

“Nggak jauh, sayang. Cuma dua jam naik pesawat,” jawab Sabi sambil mengelus kepala keponakannya.

“Tapi tetap nggak bisa main tiap hari kayak gini” gumam Albi pelan.

Sabi menunduk, mencium ubun-ubun bocah itu, lalu berkata, “Nanti kita bisa video call ya, tiap minggu. Janji.”

"Kakak sama adek, ayo ke kamar. Mama bacain buku yang tadi dibeliin om, yuk" ajak kakak iparnya Sabi yang mengerti dengan keadaan penting yang sepertinya ia baca dari gesture tubuh Sabi.

Dari jendela kamar hotel yang menghadap arah barat, langit terlihat indah dengan bintang sehabis hujan. Di dalam kamar, suasana terasa tenang, tapi detak jantung Sabi berisik, lebih keras dari lalu lintas di bawah sana.

Ibu duduk di sofa kecil dekat jendela, sedang menyeduh teh hangat yang baru saja dikirim dari room service. Addie berdiri tak jauh, membenahi beberapa barang Sabi yang tertinggal di kamar Ibunya untuk keberangkatan ke Malaysia esok pagi. Sabi berjalan mendekati ibunya seolah waktu dan ruang mengurungnya di tengah keheningan.

“Ibu...” suara Sabi lebih mirip bisikan angin malam. Ia menunduk, berlutut di hadapan perempuan yang selama ini menjadi rumah paling awal dalam hidupnya.

Sang ibu menundukkan kepala, menatap anak lelakinya dengan kehangatan yang tidak berubah meski waktu terus berjalan.

“Ada yang mau Yusuf omongin,” lanjutnya, tangannya saling meremas di pangkuan.

Sabi menarik napas panjang, lalu menatap ibunya dengan mata yang jujur dan gentar dalam waktu yang bersamaan.

"Bu, sebenernya Addie bukan cuma temen kerja, tapi Addie lebih dari itu."

Udara di kamar seolah berubah jadi lebih pekat. Waktu seperti menahan napas bersamaan dengan Sabi. Tapi ibunya tidak langsung bicara. Ia meletakkan cangkir teh di meja kecil, lalu menatap Sabi dalam-dalam. Matanya menua, tapi tidak buta oleh prasangka.

“Maaf, Bu...” suara Sabi nyaris pecah. “Yusuf nggak bisa jadi anak laki-laki ideal dalam bayangan banyak orang. Tapi Yusuf nggak main-main. Yusuf cinta sama Addie.”

"Kamu jangan bercanda gitu ke Ibu" Addie ikut menimpali, nada bicaranya ketakutan, "kelewatan kamu bercandanya."

Namun, ibunya bangkit perlahan. Tanpa kata, ia menyentuh pipi Sabi. Hangat telapak tangannya seolah menenangkan badai kecil di wajah lelaki yang dulu ia timang.

“Kamu pikir ibu nggak tahu isi hati anak ibu?” katanya lembut. “Ibu ini mungkin ndak punya bahasa yang sama, tapi naluri seorang ibu... ibu mendengar bahkan saat kamu nggak ngeluarin suara.”

Sabi terisak pelan. Air matanya jatuh, membasahi tangan ibunya.

“Kalau dia bisa menjadi tenangmu, kalau matamu menemukan pulang di dia,” suara ibu mulai bergetar, tapi tetap kokoh, “maka Ibu ridha. Tapi satu yang Ibu mohon...”

“Apa, Bu?” tanya Sabi, suara serak menahan isak.

"Jangan terlalu jujur sama dunia, nggak semua orang bisa ngerti" jawab Ibu dengan suara tenang, tapi cukup menusuk, “Bukan karena kamu salah. Tapi karena dunia belum tentu siap untuk sesuatu yang kamu anggap benar. Ibu ini udah tua, Sab. Ibu dak mau menua dalam gunjingan buruk yang dipaksa oleh mulut-mulut tetangga.”

Sabi mengangguk, menunduk, suaranya patah. “Iya, Bu. Yusuf ngerti. Yusuf janji akan selalu ingat nasehat ibu. Yusuf janji akan jaga semua ini baik-baik.”

Di pojok kamar, Addie membeku, wajahnya basah. Tapi saat ibu Sabi memanggilnya pelan, “Addie...” ia tak bisa menolak langkah yang mengarah padanya.

“Titip Yusuf, ya. Kalian hati-hati disana” ucap sang ibu, sebelum memeluknya. Bukan pelukan formal, tapi hangat seperti hari pertama hujan setelah musim kering. Addie pun memeluk balik, kaku, lalu larut. Hatinya mencair dalam dekapan itu, perempuan yang tidak melahirkan dia, tapi menerima dia.

“Makasih, Bu...” suara Addie tenggelam di bahu sang ibu.

Dan malam Jakarta menjadi saksi bahwa keberanian paling tulus tak selalu terdengar keras. Ia kadang hadir dalam bisikan, dalam pelukan, dalam penerimaan yang diam-diam.

Tirai ditarik perlahan, membiarkan cahaya kota menyelinap masuk. Cahaya itu jatuh ke wajah tiga hati yang tak lagi sembunyi, tak lagi ragu.

Karena malam itu, rumah mereka bukan lagi tempat, tapi rasa.

* * *

Pagi di Jakarta datang dengan langkah perlahan. Langit belum sepenuhnya biru, masih menggantungkan sisa embun dan kabut tipis dari hujan malam sebelumnya. Dari jendela kamar hotel, matahari seperti malu-malu menerobos tirai, menyinari koper-koper yang telah rapi di dekat pintu. Aroma teh, roti panggang, dan lotion tubuh bercampur jadi satu, seperti pertanda pagi yang akan menggantikan banyak hal.

"Jadi kesiangan kan, kamu sih lupa setel alarm abis ngebanting aku semaleman."

Addie berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya dengan tenang namun sedikit mengoceh. Tapi di balik gerakan yang terukur itu, ada gemuruh yang belum reda. 

"Salah siapa tidur telanjang, udah tau pacarnya ngacengan."

Di belakangnya, Sabi membereskan paspor dan memeriksa kembali barang bawaan mereka. 

Addie hanya tersipu malu. Setelah itu, susasana kembali hening, tapi keheningan mereka bukanlah dingin, melainkan pengertian yang pelan-pelan membungkus satu sama lain.

Di ruang sarapan hotel, mereka kembali duduk satu meja dengan keluarga Sabi. Suasana terasa berbeda, tidak lagi penuh rahasia, tapi belum juga lepas dari perasaan perpisahan yang menggantung di udara.

Kai dan Albi duduk di sisi Addie, sibuk berebut pancake, sementara ibu duduk tenang di sebelah Sabi, menyendokkan bubur perlahan untuk cucu kesayangannya.

“Besok-besok pulang ya, Om,” kata Albi dengan mulut penuh.

“Harus pulang, harus cerita Malaysia kayak apa,” tambah Kai sambil mengangkat tangan kecilnya, memberi tos yang langsung disambut tawa pelan Sabi.

Addie menatap anak-anak itu, lalu menoleh ke arah ibu. Mereka bertatapan sebentar, sebuah tatapan yang tidak lagi ragu, tapi dalam dan penuh harap.

Setelah sarapan, saat mereka bersiap turun ke lobi dan menunggu mobil menuju bandara, Sabi mendekati ibunya. Di tangannya ada sesuatu yang kecil: sebuah tas tangan batik cokelat tua yang telah lama disimpan di lemari rumah.

“Ibu masih ingat ini?” tanya Sabi, menyerahkannya.

Ibunya mengangguk. “Tas waktu kamu pertama kali kerja di luar kota... Ibu simpan. Masih harum sabun hotel.”

Sabi tersenyum. “Jaga diri ya bu, Yusuf akan telpon ibu tiap ada waktu.”

Ibunya tidak menjawab. Ia hanya menarik Sabi dalam pelukan yang sunyi, lama, seperti menyimpan aroma anaknya untuk waktu yang lama.

Addie berdiri beberapa langkah di belakang. Saat ibunya selesai memeluk Sabi, beliau melangkah ke Addie.

“Kalau nanti Yusuf terlalu keras kepala, ingetin dia, ya,” bisik Ibu, namun bisikan itu terdengar oleh Sabi.

Addie mengangguk pelan, matanya berkaca. “Ibu juga jangan terlalu sering nahan kangen sendirian. Kalo kangen sama Sabi, langsung telpon aja. Kalau Sabi nggak ngangkat, ibu telpon Addie.”

Pelukan pun terjadi. Tak banyak kata. Hanya tubuh yang saling menyentuh, dan air mata yang jatuh diam-diam di bahu masing-masing.

Mobil tiba. Koper dimasukkan. Anak-anak melambai di belakang kaca lobi bersama ibu mereka, Kai menggambar hati di embun jendela dengan jarinya.

Jakarta semakin mengecil di balik kaca mobil yang melaju. Tapi bagi Sabi dan Addie, kota itu tidak pernah benar-benar tertinggal. Ia ada di dada, dalam bentuk wajah-wajah yang mereka cintai. Dan pagi itu, mereka tidak sekadar berangkat ke negeri seberang. Mereka sedang memulai hidup yang baru, dengan keberanian yang tidak mereka miliki kemarin.

Dan langit, seolah tahu, akhirnya menjadi biru sepenuhnya.

TAMAT

 

Bokong Yang Kusuka New Era Part 10

Dengan sentuhan lembut, jemari itu menekan bel di depan kamar bernomor 1102. Hanya sekejap waktu berlalu, dan Mario pun tampak di ambang pintu, senyum hangatnya menyambut malam. Tanpa sepatah kata, ia menggenggam tangan Sabi, mengajaknya melangkah masuk ke dalam ruang yang menyimpan sunyi, cerita, dan mungkin rindu yang tak terucap.

Mario mencumbu Sabi, mencium pipi lalu beralih ke bibir laki-laki itu. Sabi hanya diam tak membalas, namun jiwa kelelakiannya sudah pasti bangkit karena tangan Mario merangsang bagian sensitifnya.

Tanpa izin terlebih dahulu, Mario duduk bersimpuh. membuka resleting celana Sabi seakan tak sabar ingin melahap bagian dalam celana itu.

"Aku kesini, serius cuma buat ngobrol" ucap Sabi membuat Mario menghentikan aksinya.

Resleting yang baru turun setengah itu kembali ditutup oleh Mario, ia berdiri mensejajari Sabi, menatap laki-laki itu tajam, menelusuri setiap raut wajah Sabi yang terlihat serius menolak permintaan Mario.

"Kamu bercanda" Mario membelai dada Sabi, "kamu mau aku yang keliatan binal? oke kalau itu mau kamu."

Mario merapatkan tubuhnya, jemarinya kian buas membelai tubuh dan menggenggam penis Sabi yang masih terbungkus celana.

"Aku serius, Yo" Sabi memegang lengan Mario cukup kuat untuk menghentikan gerakan belaian itu.

“Mas, aku nggak minta... kamu juga nggak minta. Tapi mungkin takdir yang sengaja mempertemukan kita lagi,” ucap Mario lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh di dadanya. “Aku cuma nepatin janji…”

Mario menatapnya dalam diam, seolah mencari sisa-sisa masa lalu di mata Sabi. Perlahan, ia mengangkat tangannya, menempatkannya di pundak laki-laki itu. Lembut, hangat, dan penuh rindu. Jemarinya kemudian menyentuh pipi Sabi, membelainya pelan, seakan waktu tak pernah memisahkan keduanya.

Hati Sabi tengah bergemuruh, bertarung dengan bisikan-bisikan yang tak henti menggema. Ia berdiri di persimpangan rasa, tak tahu harus melangkah ke mana. Tak bisa ia pungkiri, sebagian jiwanya masih merindukan Mario, masih menyimpan bayang yang tak lekang oleh waktu. Namun di sisi lain, ia telah memilih jalan bersama Addie, telah mengikat janji dan menanam komitmen dalam pelukan yang baru.

Tapi kini, di hadapannya berdiri masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Mario, lukisan kenangan yang pernah ia coba hapus, nyatanya masih mampu menggetarkan hatinya. Dan Sabi pun sadar, bahwa beberapa perasaan, betapapun kita menguburnya dalam-dalam, akan selalu tahu jalan pulang.

Mario kembali menorehkan kecupan di kening Sabi, lalu merengkuh tubuhnya erat seolah tak ingin melepaskan. Pelukannya penuh rindu, hangat, dan tak tergesa. Tangannya mengusap lembut punggung Sabi, tempat yang dulu pernah menjadi rumah bagi segala resahnya. Hembusan napasnya, yang berat oleh kerinduan, mengalun pelan di telinga Sabi, membuat waktu seakan berhenti sejenak.

Namun, di antara keheningan yang menggantung, suara Sabi pecah, pelan namun penuh gemetar,
"Mau sampai kapan kita begini?"

Pertanyaan itu membuat Mario tersentak. Ia perlahan menarik diri dari pelukan, menatap wajah Sabi dengan kerutan di dahi, matanya menyiratkan tanya yang belum sempat dijawab.
"Apa maksud kamu, Mas?" ujarnya, mencoba memahami, namun hatinya mulai diselimuti cemas yang tak bisa disembunyikan.

"Mau sampai kapan kita sembunyi di balik kata takdir?” tanya Sabi lagi, suaranya pelan namun mengguncang seperti riak yang menyentuh dasar.

Mario tak menjawab. Diam menggantung di antara mereka, seperti selimut sunyi yang tak memberi ruang bagi kata-kata. Hanya napas mereka yang terdengar, pelan, rapuh, dan penuh beban.

Sabi menggenggam tangan Mario, menggenggam seolah ingin menahan waktu. Ia menunduk, mencium punggung tangan itu, seakan ingin menyerap segala kenangan yang pernah tinggal di sela-sela jemari pria itu.

“Bukan ini yang aku mau, Yo…” bisiknya lirih, namun sorot matanya kini tegas, menembus segala alasan yang menggantung di udara.

“Tapi aku mau kamu, Mas,” balas Mario, suaranya nyaris patah, lirih, seperti anak kecil yang takut kehilangan.

Sabi menahan napas sejenak. Matanya berkaca, tapi tak goyah.
“Aku juga mau kamu… tapi bukan dengan cara seperti ini,” ucapnya, tegas, serupa kebenaran yang tak bisa ditawar lagi.

"Jadilah Mario yang dulu, yang pernah pergi dari aku," ujar Sabi, nadanya tegas namun hatinya bergetar.

Mario menggeleng perlahan, matanya redup, menyimpan luka yang tak sembuh.
“Nggak bisa, Mas… Aku nggak pernah bisa berhenti mikirin kamu.”

“Jangan serakah, Yo,” balas Sabi, tanpa ragu, meski kata-katanya mungkin menggores. “Kamu udah punya Seira. Kamu juga yang dulu bilang kita harus saling ngelupain. Jangan saling nyari. Aku udah lakuin itu semua.”

Mario menatapnya, nyaris putus asa. “Kecuali... takdir,” katanya, hampir seperti bisikan.

Sabi menggeleng, sorot matanya tajam. “Kita bisa lawan takdir itu, Yo.”

“Aku masih butuh kamu, Mas,” desak Mario lagi, seperti ingin meyakinkan bukan hanya Sabi tapi dirinya sendiri.

Sabi kembali menggeleng. “Kamu nggak butuh aku, Yo…”

“Aku butuh, Mas!” Mario meninggikan suaranya, emosinya pecah tak tertahan.

Sabi menatapnya lurus, suaranya ikut naik, penuh tantangan.
“Kalau kamu butuh aku, ayo. Kita pergi dari sini. Tinggalkan semuanya, tinggalkan Seira, tinggalkan keluargamu. Bisa?”

Hening. Mario terdiam, seolah kata-kata tak lagi tahu jalan keluar. Tak ada jawaban. Hanya isakan pelan, dan akhirnya air mata mulai mengalir dari sudut matanya.

Sabi mendekat, menggenggam wajah Mario, ibu jarinya menyeka tetes air itu dengan lembut.
“Nggak bisa, kan, Yo?”

Air mata Mario jatuh semakin deras, menyatu dengan rintihan hati yang tak mampu lagi disembunyikan.

Sabi menatapnya dalam, suaranya pelan namun mengiris.
“Apa kamu tega ngejadiin aku opsi kedua dalam hidup kamu? Kamu masih mau pertahanin Seira, tapi kamu juga mau aku tetap ada buat kamu… Apa kamu tega?”

Kata-katanya menyayat pelan, namun penuh kejujuran. Dan Mario hanya bisa menangis, karena ia tahu jawabannya sudah ada, hanya saja terlalu berat untuk diucapkan.

“Apa kamu tega ngeliat aku kesepian… cuma duduk sendiri, nunggu takdir yang entah kapan bakal bikin kita ketemu lagi?”

Sabi tak menunggu jawaban. Karena ia tahu, tak ada jawaban yang bisa menyelamatkan mereka dari luka yang sudah terlanjur dalam. Dan seperti sebelumnya, Mario hanya diam. Tangisnya masih mengalir, satu-satunya bahasa yang mampu mewakili segalanya.

Sabi menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang yang bergemuruh di dadanya.
“Kita harus jalan masing-masing, Yo… Saling ngelupain, kayak yang dulu kamu bilang.”

Namun kalimat itu langsung dipatahkan oleh suara Mario yang serak dan goyah.
“Nggak mau, Mas… aku nggak bisa,” ucapnya sambil menggeleng, seakan menolak kenyataan yang mulai merenggut harapan terakhirnya.

Tangis masih menyesakkan ruang di antara mereka. Dan Sabi, meski hatinya ikut hancur, tahu betul: mencintai seseorang tak selalu berarti harus tetap bersamanya. Kadang, mencintai berarti merelakan. Meski itu menyakitkan.

“Aku janji… kita masih bisa ketemu. Kita masih bisa jalan… di belakang semuanya,” ucap Mario, nadanya nyaris memohon, seperti seseorang yang tengah menggenggam serpihan terakhir dari harapan yang akan runtuh.

Namun Sabi hanya menggeleng, pelan namun pasti. Tatapannya teduh, tapi penuh luka yang telah ia genggam terlalu lama.

“Nggak bisa, Yo…” katanya lirih, tapi tegas. “Aku nggak sejahat itu… aku nggak tega nyakitin orang lain yang udah cinta sama kamu.”

Mario terdiam. Kata-kata Sabi menusuk tepat ke inti hatinya, tempat di mana kebenaran tinggal dan tak bisa dipungkiri. Sabi bukan hanya menolak dia. Sabi sedang menjaga martabat cinta, bahkan ketika cinta itu menyakitinya sendiri.

Di antara mereka, cinta masih ada. Tapi jalan untuk bersatu telah berubah menjadi tembok dan mereka berdua tahu, memanjatnya berarti menginjak perasaan orang lain. Dan itu, bagi Sabi, bukanlah cinta... itu pengkhianatan.

“Maafin aku, Yo…” ucap Sabi dengan suara yang nyaris pecah, lalu membungkuk pelan dan mengecup kening Mario, hangat, singkat, penuh perpisahan yang tak terucap.

Mereka berpagutan sejenak, mengecap setiap inci lidah seakan itu adalah terakhir kalinya yang akan mereka lakukan.

“Kamu… selamanya akan tetap jadi kenangan terindah buat aku,” lanjutnya, menatap mata Mario yang basah oleh air mata, “tapi kenangan itu… nggak akan aku ulang lagi sama kamu.”

Kata-katanya jatuh pelan, tapi menghantam seperti gemuruh. Di dalamnya ada cinta yang belum padam, namun sudah rela. Ada luka yang tak akan sembuh, tapi sudah ikhlas.

Dan Mario hanya bisa diam. Keningnya masih terasa hangat oleh ciuman terakhir itu, sentuhan paling lembut yang juga menjadi tanda bahwa semuanya… benar-benar berakhir. Diiringi kepergian Sabi dari kamar itu dengan perasaan lega.

Sabi menutup pintu kamar Mario dengan perlahan dan rapat, seakan mengunci masa lalu di balik kayu itu, membiarkannya terperangkap di sana, terasing untuk selamanya.

“Sab…”
Suara itu menghentak pikirannya, suara yang begitu dikenalnya, membelah sunyi yang baru saja ia ciptakan. Sabi menoleh, menatap arah asal suara itu.

“Kamu ngapain dari kamar itu?” tanya Addie dengan nada yang samar antara bingung dan terluka. “Kamar ibu kan di sini.” Addie menunjuk kamar yang baru saja ia tinggalkan.

Sabi terdiam, tak mampu membalas. Namun di matanya, Addie membaca semuanya. Dia bukan orang bodoh, dia tahu, Sabi bertemu masa lalunya sore ini. Tapi tak pernah terduga, Sabi janjian bertemu di kamar Mario.

“Oh, ternyata benar ya… sekeras apapun berusaha, masa lalu tetap jadi pemenangnya,” lirih Addie, suaranya bergetar, berjuang menahan gelimang air mata yang mengancam jatuh.

“Add…” suara Sabi mencoba mengurai ketegangan, namun terhenti.

“Kita ngobrol di kamar saja. Nggak enak kalau kedengeran orang lain di sini,” potong Addie, berusaha menjaga wibawa meski hatinya remuk.

Sabi tahu betul, di balik kelembutan dan kesabaran Addie, ada kekecewaan, kemarahan, dan cemburu yang bergejolak dalam diri Addie. Namun sikap Addie tetap tenang, tak sekalipun emosi membuncah. Dengan langkah pelan namun pasti, ia mengajak Sabi menuju lift, melangkah menuju lantai delapan, tempat kamar mereka menanti, dan tempat percakapan yang sulit itu harus segera dimulai.

Angin malam menyusup masuk ke sela-sela balkon lantai delapan, membawa dingin yang tak sepenuhnya berasal dari cuaca. Langit Jakarta malam itu nyaris tak berbintang, seakan langit pun enggan menyaksikan dua hati yang mulai retak di bawah cahayanya.

Addie bersandar pada pagar balkon, menggenggam besi dingin dengan jemari yang gemetar pelan. Ia diam, membiarkan udara mengusap wajahnya yang sembab oleh tangis yang tidak jadi tumpah. Ia bukan orang yang mudah patah, tapi ada luka yang tidak bisa lagi disangkal, dan luka itu berdiri beberapa langkah di belakangnya.

Sabi menatap punggung Addie dengan napas terengah, bukan karena berlari mengejarnya, tapi karena hatinya seperti kehabisan ruang untuk berkata jujur.

“Gimana rasanya ketemu dia lagi?” suara Addie lirih, tapi tajam. Seperti bisikan dari tempat paling sunyi dalam hati yang baru saja dihancurkan.

Sabi diam beberapa saat. Lalu menjawab dengan suara yang retak, “Aku minta maaf, Ad. Aku... aku bingung dengan perasaanku sendiri.”

Addie mengangguk pelan, lalu melirik ke arahnya, senyum kecil tanpa daya muncul begitu saja di bibirnya yang pucat. “Kamu nggak harus minta maaf, Sab. Cinta nggak pernah bisa disetir pakai logika.”

Ia lalu melangkah pelan ke sisi Sabi. Mereka berdiri berdampingan. Tidak bersentuhan. Hanya berdiri sejajar, dalam jarak yang sebenarnya lebih lebar dari yang terlihat.

“Aku liat kok, cara kamu liat dia,” lanjut Addie, nadanya tetap tenang, terlalu tenang hingga terasa menyakitkan. “Itu bukan pandangan orang yang udah selesai. Itu mata seseorang yang masih punya rumah di masa lalu.”

Sabi menggeleng cepat. “Nggak, Addie. Aku...” suaranya tersangkut. “Kamu datang pas aku udah siap buat mulai hidup baru.”

Addie menatap ke depan, ke lautan lampu kota yang berpendar jauh. “Tapi kamu belum selesai ngubur yang lama. Dan aku bisa ngerasain, tempat yang pernah dia tempatin di hati kamu... masih hangat. Bekasnya belum sepenuhnya ilang.”

Ia menghela napas, pelan, sangat pelan. Lalu bersandar penuh pada pagar, seolah tubuhnya sudah lelah menyangga semuanya sendirian.

“Kamu tahu, Sab, cinta itu kayak rumah. Dan aku nggak keberatan bantu kamu bangun dari puing-puing. Tapi gimana caranya aku bisa bantu kalau ternyata fondasinya masih nama orang lain?”

Sabi membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Semua pembelaan terdengar sia-sia di kepalanya sendiri.

“Aku cuma mau kamu tahu,” lanjut Addie, suara itu seperti bisikan doa yang tak ingin didengar siapa-siapa, “Kalau kamu belum selesai... tolong jangan dulu memulai.”

Ia menoleh menatap Sabi, kali ini dengan air mata yang tak bisa ia tahan lagi. Tapi tangis itu jatuh tanpa suara. Ia terlalu dewasa untuk mengemis cinta. Terlalu tulus untuk memaksa tempat di hati yang belum siap.

“Jangan tawarin aku tempat yang masih berantakan, Sab. Aku mau dapet cinta yang utuh, bukan sisa-sisa dari perang batin kamu.”

Sabi maju satu langkah. “Addie, aku cinta dan sayang sama kamu.”

Addie tersenyum pilu, mengangguk. “Aku tahu. Tapi kadang sayang itu nggak cukup kalau kamu belum selesai sama orang lain.”

Ia meraih tangan Sabi, menggenggamnya hangat, lalu melepaskannya perlahan.

“Aku di sini... tapi aku nggak akan maksa kamu milih aku. Jalan pulang itu harus kamu tentuin sendiri.”

Lalu Addie masuk ke dalam kamar, meninggalkan Sabi sendiri di balkon, di antara langit yang gelap dan kota yang tetap berjalan tanpa peduli hati siapa yang hancur malam itu.

Dan di sanalah Sabi berdiri. Sendirian, dengan rasa bersalah yang menggantung seperti kabut di dadanya. Ia tahu, Addie tidak marah. Tapi kadang... diam adalah bentuk kecewa yang paling tajam karena di dalamnya ada cinta yang terlalu besar untuk dilawan, tapi terlalu hancur untuk bertahan.

* * *

Pagi menjelang pelan di Jakarta. Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar hotel, melukis garis-garis lembut di dinding. Kota di bawah sana sudah mulai bising deru kendaraan, klakson yang bersahut-sahutan, dan rutinitas yang tak menunggu siapa pun.

Sabi terbangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, mengenakan kaus abu tipis yang semalam bahkan tak sempat ia ganti. Matanya bengkak. Tidur hanya sebatas merem melek, pikirannya tak benar-benar tenang.

Addie masih di tempat tidurnya, membelakangi Sabi. Punggungnya terlihat tegang meski tubuhnya diam. Ia tidak tertidur, hanya berpura-pura, atau mungkin mencoba menunda kenyataan pagi ini.

Beberapa menit berlalu dalam senyap, hingga akhirnya Addie bangkit. Ia tidak menatap Sabi. Hanya duduk, lalu langsung meraih ponselnya, memeriksa pesan-pesan masuk seperti pagi itu tidak membawa luka apa pun.

Sabi mencoba bicara, suaranya serak, pelan, “Add…”

“Jam sembilan kita dijemput, kan?” potong Addie tanpa menoleh. Ia berdiri, berjalan ke arah koper di sudut ruangan.

“Iya,” jawab Sabi pelan. “Aku…”

“Aku mau sarapan duluan.” Addie langsung memotongnya lagi, suaranya datar, nyaris seperti formalitas. Ia membuka koper, memilih baju tanpa suara, lalu masuk ke kamar mandi.

Pintu tertutup dengan tenang. Tapi bagi Sabi, bunyinya seperti tembok yang mendadak menjulang di antara mereka.

Beberapa menit kemudian, Addie keluar. Sudah rapi dengan kemeja putih dan celana bahan hitam. Wajahnya polos, tanpa riasan tebal, tapi ekspresinya jauh. Jauh seperti orang yang menarik diri pelan-pelan dari sesuatu yang dulu ia anggap rumah.

Sabi berdiri, mencoba mendekat. “Addie… aku ketemu nggak ngapa-ngapain.”

Addie berhenti di depan pintu. Ia menatap Sabi sejenak, tatapan yang bukan marah, tapi kosong. “Sab, aku percaya. Lagian kita ke Jakarta bukan buat urusan hati. Jadi kamu tenang aja, aku nggak akan bikin drama.”

“Tapi bukan itu yang aku khawatirin…”

Addie mengangkat tangannya, memberi isyarat cukup.

“Kalau kamu masih butuh waktu buat ngelurusin isi hati kamu, aku nggak akan ganggu. Tapi aku juga punya hak buat ngelindungin diri aku sendiri dari sakit yang bisa aku hindari.”

Ia lalu menarik napas. “Aku nggak marah. Sab. Aku cinta sama kamu, cinta banget. Bahkan kalau aku harus nerima sakit yang lebih dari ini, aku tetep mau bertahan. Aku cuma... butuh sedikit waktu.”

Sabi terdiam, tubuhnya mematung.

"Aku kecewa bukan karena kamu ketemu Mario lagi, tapi aku kecewa karena kamu semalem jadiin Ibu alesan."

Addie tersenyum kecil, tapi senyum itu dingin, bukan karena benci, melainkan karena kecewa yang terlalu sering diabaikan.

“Aku tunggu di bawah ya.”

Lalu Addie membuka pintu dan pergi, meninggalkan Sabi sendiri di kamar yang kini terasa jauh lebih sunyi dibanding semalam. Kamar itu masih sama, tapi hatinya... sudah tidak.

Dan pagi itu, Jakarta menyambut dua orang yang masih berjalan bersama, tapi mulai melangkah dengan jarak yang tak kasat mata, jarak yang diciptakan bukan oleh pertengkaran, tapi oleh rasa yang tak diucapkan pada waktu yang tepat.

* * *

Hari itu Jakarta terik. Langit menggantung tinggi, nyaris tanpa awan. Gedung-gedung menjulang seperti saksi diam aktivitas manusia yang tak pernah jeda. Di dalam salah satu kantor pusat milik perusahaan client mereka, ruangan meeting ber-AC itu sejuk, tapi Sabi merasa panas. Bukan karena cuaca, melainkan karena jarak yang tak terlihat antara dirinya dan Addie.

Addie duduk di sisi kanan meja panjang, mencatat sesuatu di laptopnya. Ekspresinya fokus, sesekali menanggapi rekan kerja dengan senyuman tipis. Namun tak sekalipun ia menatap ke arah Sabi.

Sabi mencuri pandang. Ada sesuatu yang hampa dalam kebisuan itu. Mereka bicara saat perlu tentang data, timeline, anggaran. Tapi tidak lebih.

Saat sesi meeting selesai, semua orang keluar pelan-pelan. Tinggal mereka berdua di ruang itu. Addie mulai berkemas, hendak pergi. Tapi Sabi berdiri, memberanikan diri.

“Addie…” panggilnya.

Addie menoleh, tangan masih di atas tas kerja. “Ada yang mau dibahas?”

Sabi mengangguk. “Bukan soal kerjaan.”

Addie menghela napas. “Sab, aku...”

“Aku tahu. Dan aku salah.” Sabi mendekat beberapa langkah. “Aku salah karena nggak jujur dari awal. Bukan cuma ke kamu... tapi ke diriku sendiri.”

Addie menatapnya, akhirnya. Tatapan itu tak lagi dingin, tapi lelah. Seperti seseorang yang sudah terlalu sering jatuh cinta pada tempat yang belum siap ditinggali.

“Aku pikir... kamu udah selesai sama masa lalu kamu.”

“Aku juga pikir gitu,” suara Sabi nyaris bergetar. “Tapi ternyata, masa lalu itu belum selesai karena aku nggak pernah benar-benar menutupnya. Maafin aku” Sabi menarik napas panjang, mencoba jujur. “Tapi aku bersumpah, Sekarang aku udah nutup semua itu karena aku sayang sama kamu.”

Addie menatapnya lama. “Kamu tau, Sab… disayangi itu bukan hal yang bikin orang tenang. Tapi dipercaya. Itu yang bikin kita bisa bertahan.”

Sabi menunduk. “Aku belajar dari kamu sekarang. Aku mau berubah, Add. Bukan karena aku takut kamu pergi... tapi karena kamu pantas dapat yang lebih dari seseorang yang masih gamang. Aku janji aku nggak akan jadi orang yang gamang.”

Mereka saling diam, lalu Addie mengangguk pelan. Tapi bukan anggukan yang menjanjikan apa-apa, hanya bentuk penerimaan bahwa luka butuh waktu, dan perbaikan tidak terjadi dalam sehari.

“Aku nggak tahu, Sab, kita bakal ke mana. Tapi kalau kamu beneran mau berubah… buktiin, bukan ke aku, tapi ke diri kamu sendiri.”

Ia lalu berjalan melewati Sabi, perlahan. Saat melewatinya, ia berkata pelan, “Aku masih di hati kamu, tapi aku nggak janji bisa bertahan kalau yang aku dapetin cuma setengah hati.”

Pintu tertutup. Kali ini, bukan dentuman yang terasa. Tapi pelan, seperti seseorang yang memilih menunggu di luar, sambil berharap kau datang menyusul, bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan yang mencerminkan semua hal yang tak sempat terucap.

Dan Sabi pun berdiri di tengah ruangan itu, lebih sunyi dari sebelumnya. Tapi juga lebih yakin bahwa perjuangan kali ini bukan tentang memenangkan seseorang, tapi tentang memperbaiki dirinya sendiri... agar bisa menjadi tempat pulang yang tak lagi goyah.


Sabtu, 17 Mei 2025

Bokong Yang Kusuka New Era Part 9

Pagi datang dengan sinar yang masih malu-malu menembus kaca gedung tinggi di pusat Singapura. Di balik dinding kaca kantor tempat mereka bekerja, dunia tampak berjalan seperti biasa—cepat, sibuk, dan penuh tuntutan. Tapi bagi Sabi, pagi ini berbeda. Ada yang mengendap dalam hatinya, seperti embun yang enggan menguap meski matahari telah naik. Perasaan hangat semalam masih tertinggal, masih membekas di jemarinya yang pernah menggenggam milik Addie di atas bangku kayu Sentosa Boardwalk.

Saat ia melangkah ke pantry kantor, aroma kopi menyambutnya, dan suara langkah sepatu yang familiar membuatnya menoleh. Addie—dengan kemeja biru yang sedikit tergulung di lengan, dan senyum yang ia sembunyikan di balik cangkir kopi.

“Pagi,” sapa Addie ringan, seolah malam tadi hanyalah mimpi. Tapi matanya... matanya masih menyimpan cahaya yang sama.

“Pagi,” balas Sabi pelan, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.

Belum sempat mereka duduk atau melanjutkan percakapan, notifikasi di layar ponsel keduanya berbunyi nyaris bersamaan. Sebuah email dari tim manajemen.

[Subject: New Client Project – Indonesia Deployment]

Sabi membaca cepat isi emailnya. Sebuah proyek kolaborasi lintas departemen. Klien besar. Lokasi: Indonesia. Durasi: 1 minggu. Dan yang paling mengejutkan—

Assigned Team: Jeffadie Kiernandi & Yusuf Asabi.

Mereka saling menatap. Sabi membulatkan mata kecilnya sambil tersenyum heran. “Kita satu tim? Ke Indonesia?”

Addie meneguk kopinya sebelum menjawab, “Kayaknya semesta denger semua bisikan kamu semalem, Sab.”

Sabi terkekeh. “Kalau gitu, semesta emang pintar cari celah.”

"Aku udah lama banget nggak ke Indonesia" Addie tersenyum bahagia.

Addie berjalan ke arah Sabi, berdiri di sampingnya seperti yang selalu ia lakukan dalam diam-diam. “Kita bakal kerja bareng, tidur di zona waktu yang sama, bangun lihat matahari yang sama.”

“Kamu lupa satu hal,” sela Sabi sambil mengangkat alisnya.

“Apa?”

“Kita bakal punya banyak waktu buat saling ngerti… tanpa harus ada alasan lain.”

Addie menatap Sabi, lebih lama dari biasanya. Ada banyak hal yang tak bisa diucapkan di kantor. Tapi di matanya, Sabi tahu, semua yang semalam ditanam perlahan tumbuh di sana.

“Siap kerja bareng?” tanya Addie, suaranya rendah tapi tegas.

“Kalau kamu di sampingku, aku nggak pernah nggak siap,” jawab Sabi.

Dan pagi itu, di antara deru mesin kopi, tumpukan berkas, dan cahaya matahari yang menyusup malu-malu—dua hati kembali disandingkan oleh takdir. Bukan hanya untuk sebuah proyek kerja, tapi untuk perjalanan yang mungkin... akhirnya akan menyembuhkan.

* * *

Langit Jakarta menyambut mereka dengan warna kelabu dan hangat yang khas. Mereka baru saja tiba di pintu kedatangan bandara ketika Sabi melihat deretan wajah yang sudah tak asing menantinya dari balik pagar pembatas kedatangan. Ada ibunya, dengan senyum yang tetap sama sejak terakhir kali mereka bertemu. Di sampingnya berdiri Harun, kakak laki-laki Sabi, bersama istrinya dan dua anak kecil yang melambai-lambaikan tangan penuh semangat.

Addie melirik ke arah keluarga itu. “Keluargamu ya?”

Sabi mengangguk pelan. “Iya. Aku ngabarin mereka...  dan mereka sengaja datang jemput.”

Ada nada ragu dalam suaranya, dan Addie bisa merasakannya, tapi ia tak bertanya lebih jauh. Ia hanya berjalan di samping Sabi, membiarkan udara Jakarta yang lengas menyerap semua kecanggungan.

Ketika akhirnya mereka tiba di hadapan keluarga itu, pelukan hangat sang ibu langsung menyergap tubuh Sabi. Tak ada kata-kata, hanya genggaman yang lama dan usapan di punggung yang terasa seperti rumah.

“Ini temen kerja kamu?” tanya Harun, menatap Addie yang berdiri di belakang dengan sopan.

Addie menjabat tangan Harun, senyumnya ringan tapi penuh hormat. “Addie, senang bisa ketemu, Mas.”

“Wah, seneng banget deh kamu bisa ikut ke sini. Yusuf dari dulu jarang banget bawa temen ke rumah,” ujar istri Harun sambil tersenyum ramah.

"Yusuf" Addie mengernyitkan dahi karena panggilan Yusuf cukup asing di telinganya.

"Nasib dikenal pake dua nama, kadang ada yang panggil Yusuf, kadang ada yang panggil Sabi" Istri Harun tersenyum menjelaskan.

“Makanya sekalian aja nginep di rumah kami, ya? Hotel nanti-nanti aja, sekarang mah ngumpul dulu,” tambah Harun tanpa memberi ruang untuk penolakan.

"Iya om, nginep dong di rumah Albi, Albi kan belum pernah main sama om" si kecil yang sejak tadi bergelayut manja di tangan Istri Harun ikut angkat bicara.

Sabi memandang anak kecil itu. Sabi menatap haru, bukan tanpa sebab, karena ia sendiri tidak pernah bertemu dengan anak bungsu Harun itu sejak menghilang dari keluarganya, bahkan Sabi sendiri tidak tahu kapan ia punya keponakan lagi dari Harun.

"Kayak kenal aja, kamu kan nggak pernah ketemu Om Sabi" celetuk si sulung mengejek adiknya.

Sabi tertawa mendengar celoteh kakak beradik yang tak lain keponakannya itu, mereka mengingatkan Sabi akan dirinya dan Harun yang sering meributkan sesuatu saat kecil dulu.

"Kai nggak boleh gitu sama adeknya" Omel istri Harun pada si sulung.

Sabi sempat menoleh ke arah Addie, seolah meminta konfirmasi lewat pandangan. Addie hanya mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa semuanya baik-baik saja.

"Iya, Om bakal nginep nemenin Kai sama Albi" ujar Sabi membuat dua keponakannya tersenyum bahagia.

"Asyiik, rumah Albi jadi rameee" celoteh si kecil.

Hari itu, mereka tinggal di rumah sederhana Harun yang kini menetap di Tangerang. Rumah itu tidak besar, tapi hangat dan penuh tawa. Anak-anak Harun langsung lengket pada Addie, yang entah bagaimana selalu punya cara untuk membuat anak kecil nyaman. Sabi mengamatinya dari sudut ruang tamu dengan mata yang menyimpan campuran rasa antara syukur dan kekhawatiran.

Tangerang, malam itu, tak hanya menjadi kota transit dalam perjalanan kerja mereka. Tapi juga menjadi titik temu antara masa lalu yang perlu dirangkul, dan masa depan yang, entah bagaimana, mulai terasa mungkin.

* * *

Malam di rumah Harun turun perlahan, bersama dengan aroma tumisan bumbu dapur dan suara anak-anak kecil yang mulai mengantuk. Sabi duduk di ruang makan, satu cangkir kopi hangat di tangannya, sementara ibunya duduk di seberangnya dengan tatapan yang tak pernah benar-benar lepas dari wajah anak bungsunya itu.

Addie sedang berada di teras rumah, mengobrol bersama Harun yang sedang direpoti dengan dua krucil yang tidur di pahanya. Istri Harun sedang mencuci piring bekas makan malam, mereka seakan membiarkan ruang itu menjadi milik Sabi dan ibunya untuk sementara.

“Suf,” suara ibunya pelan memanggil nama depan Sabi yaitu Yusuf, tapi menusuk lembut ke dalam ruang yang sudah lama tak dibuka, “kamu kelihatan capek. Tapi bukan capek kerja, ya kan?”

Sabi tersenyum kecil, menatap kopi yang mengepul di tangannya. “Mungkin... capek pura-pura, Bu.”

Ibunya mengangguk pelan. “Ibu ngerti.”

“Ibu ngerti, tapi nggak setuju?” tanya Sabi hati-hati, separuhnya takut, separuhnya pasrah.

Perempuan paruh baya itu terdiam. Jemarinya meremas sudut jilbabnya perlahan, sebelum akhirnya berkata, “Dulu ibu pikir... semua bisa diperbaiki kalau kamu kembali seperti dulu. Tapi sekarang, ibu sadar, siapapun kamu, kamu gak pernah pergi ke mana-mana dan kamu tetap anak Ibu. Cuma kami yang terlalu sibuk menyembunyikan kamu dari kenyataan. Maafkan Ibu.”

Sabi mengangkat wajahnya, mata yang semula sembunyi kini menatap lekat ke wajah ibunya. Ada air yang mulai menggenang, tapi belum jatuh.

“Ibu akhirnya belajar, dari Mario” lanjut ibunya pelan. “Dia pernah kirim surat ke rumah buat kamu, maaf kalau ibu nggak pernah kasih ke kamu. Ibu juga lupa waktu itu tarok mana, pas kamu pergi” air mata menitik dari kelopak mata Ibunya.

Sabi tercekat. Napasnya tertahan sejenak. “Mario?”

“Iya,” ibunya tersenyum samar. “Ibu lupa isinya, tapi yang Ibu ingat ... Dia bilang dia nyerah bukan karena dia nggak cinta sama kamu, tapi karena dia nggak mau kalian milih antara cinta dan keluarga. Itu surat yang bikin ibu pelan-pelan buka mata. Nanti kalau ibu pulang ke Yogya, Ibu akan cari ya dimana suratnya.”

Sabi menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang mulai memenuhi dadanya.

"Nggak perlu dicari, Bu" senyum Sabi getir, "Mario udah bahagia sama istri, sama anaknya."

"Dia udah nikah?" tanya Ibu Sabi sedikit terkejut.

Sabi mengangguk, "maaf ya, Bu. Aku masih belum bisa jadi sesuai keinginan Ibu."

Sabi menarik napas dalam-dalam. “Aku nggak minta ibu sepenuhnya nerima, Bu. Tapi... kalau bisa, jangan tolak aku lagi. Aku capek jadi tamu di keluarga sendiri.”

Ibunya bangkit pelan, lalu berpindah duduk di sebelah Sabi. Tangan tuanya menyentuh kepala anak lelakinya, mengusapnya perlahan seperti saat kecil dulu ketika Sabi takut petir atau kehilangan mainannya.

“Ibu nggak akan nolak kamu, Suf. Kamu tetap anak ibu. Selalu. Kalau kamu bahagia... itu udah cukup buat ibu. Apapun pilihan kamu, jalan kamu, ibu akan tetap jadi orang yang menyambut kamu saat kamu pulang.”

Sabi menutup mata. Hening turun dalam, tapi keheningan yang hangat dan menenangkan. Ia bersandar pelan di bahu ibunya, seperti seorang anak yang akhirnya tahu: rumah bukan tempat, tapi pelukan yang tak lagi membandingkan atau bertanya.

Dari teras luar yang langsung terhubung ke ruang makan, Addie dan Harun duduk dalam diam. Mereka menyaksikan pelan adegan itu, dengan mata yang lembut dan senyum tipis yang tak membutuhkan suara. Hatinya ikut hangat, karena tahu, tanpa ia harus masuk dalam percakapan itu, ia kini menjadi bagian kecil dari dunia yang akhirnya menerima Sabi, tanpa syarat.

"Aku udah tau," Harun tersenyum menatap Addie dengan hangat, "jagain adikku ya, Di."

Addie masih terdiam, berusaha menelaah kata-kata Harun. Harun meninggalkan Addie sendirian di teras rumah, membawa kedua anaknya masuk ke dalam kamar untuk ditidurkan.

* * *

Malam di Tangerang sunyi seperti doa yang tertahan di ujung lidah—lirih, tak ingin mengganggu, namun penuh harap. Udara menggantung hangat, tapi tak menyesakkan. Teras rumah Harun menjadi ruang sunyi tempat segala percakapan tak terucap menemukan bentuknya. Lampu kuning yang menggantung di langit-langit memantulkan cahaya temaram ke permukaan lantai keramik, menciptakan bayang-bayang lembut di sekitar kaki dua insan yang duduk diam dalam ruang waktu yang seolah berhenti berdetak.

Di halaman kecil, suara jangkrik menyusup di sela angin yang pelan menyisir dedaunan. Malam terasa seperti halaman kosong yang siap ditulisi kisah paling jujur dari hati yang rapuh namun berani mencinta.

Sabi menyandarkan tubuhnya ke kursi rotan, membiarkan bahunya meresapi dinginnya malam dan panasnya kopi yang perlahan mendingin di tangan. Jemari kanannya melingkari cangkir keramik, menampung kehangatan yang tinggal sisa. Di sampingnya, Addie duduk dengan punggung sedikit membungkuk, mengaduk-aduk isi gelas dengan sendok kecil, bukan karena ingin mencicipi, tapi karena perlu sesuatu untuk meredakan degup yang mulai tak karuan.

“Kamu denger semuanya, ya?” suara Sabi keluar perlahan, seperti rahasia yang diserahkan pada malam agar tak jatuh ke tangan sembarangan.

Addie hanya mengangguk, senyumnya samar, getir seperti rasa kopi yang tak dicampur gula. “Iya.” Ia tertawa kecil. “Hebat ya, dunia bisa berubah banyak cuma karena satu surat dari masa lalu.”

Sabi menoleh, matanya menelisik wajah Addie yang setengah tenggelam dalam bayang lampu. “Dunia berubah karena aku tetap bertahan jadi diri sendiri. Bukan karena surat itu.”

Ia tahu. Di balik sikap tenang Addie, ada riak kecil yang menyimpan cemburu. Bukan karena takut kalah oleh masa lalu, tapi karena ingin tahu apakah dirinya punya tempat di masa depan. Dan Sabi ingin memastikan—bahwa tidak akan ada ‘pemenang’ di antara kenangan dan harapan. Karena rumah yang ia bangun bukanlah tempat untuk memilih masa lalu atau masa depan, tapi tempat untuk memulai ulang, bersama seseorang yang mengerti.

Addie menatap langit malam, yang perlahan bersih dari awan, seolah semesta sedang bersolek untuk jadi saksi. “Waktu kecil aku pernah nulis surat juga buat masa depan. Isinya ... aku pengin punya rumah pohon, satu anjing golden retriever, dan seseorang yang mau baca puisi sebelum tidur.”

Sabi tersenyum kecil, senyum yang terbit dari tempat paling jujur dalam hatinya. “Udah ada satu yang kejadian.”

Addie melirik, “Yang mana?”

Sabi memiringkan kepala, senyumnya berubah menjadi lembut, penuh keyakinan. “Yang seseorang itu.”

Dan di antara mereka, sunyi pun hadir bukan sebagai jeda, tapi sebagai bahasa. Hening yang berbicara lebih fasih daripada kata, yang menampung segala rasa tanpa perlu deskripsi.

“Kamu…” suara Addie nyaris retak, “aku belum bilang iya.”

“Belum bukan berarti nggak mau,” balas Sabi cepat. Ia menatap dalam, seolah hendak menambatkan seluruh harapannya di mata Addie. “Emang kamu beneran tega nolak cowok seganteng aku?”

Tawa Addie meledak pelan. Tawa yang tak hanya menyimpan geli, tapi juga lega—karena akhirnya, malam ini, segalanya menjadi jujur.

Perlahan, Addie menyentuh tangan Sabi yang dingin. Bukan genggaman, tapi sentuhan penuh makna. Isyarat sunyi yang berkata: aku di sini, kalau kamu butuh pegangan.

“Aku mau,” bisik Addie, “aku mau jadi rumah yang lagi kamu bangun itu. Aku capek… tapi kalau rumahnya kamu… mungkin aku mau istirahat sebentar.”

Sabi menoleh cepat, matanya memburu kepastian. “Bentar, ini maksudnya kamu nerima aku jadi pacar kamu?”

Addie tak langsung menjawab. Ia hanya bergeser, mendekatkan tubuhnya, membiarkan jarak di antara mereka lenyap seperti batas waktu yang tak lagi relevan. Kepala Sabi bersandar pelan di pundaknya, dan malam menghembuskan napas hangatnya, merestui dua hati yang akhirnya tak bersembunyi.

“Kamu banyak tanya, kayak nggak ngerti aja,” gumam Addie, lalu menggigit manja pundak Sabi dengan sentuhan ringan yang lebih terasa dari seribu kata. “Iya, aku mau jadi pacar Yusuf.”

Sabi ingin berteriak, ingin melakukan selebrasi, namun Addie keburu menahannya saat Sabi ingin berdiri, "kamu mau ngebangunin Kai sama Albi?"

Sabi terkekeh, ia kembali duduk, memeluk Addie erat.

Dan langit Tangerang, yang penuh bintang malu-malu, menjadi saksi. Bahwa malam itu, dua orang tak lagi hanya saling menemani. Mereka mulai saling memilih.

* * *

Pagi di Jakarta menyambut dengan kesibukan yang tiada henti. Dari jendela gedung kantor yang tinggi, jalanan terlihat seperti urat nadi yang berdenyut tanpa jeda—mobil dan motor saling berebut ruang, sementara langit sedikit tertutup kabut panas yang perlahan naik bersama matahari.

Addie dan Sabi berdiri berdampingan di depan ruang rapat, mengenakan kemeja rapi dan name tag dari perusahaan. Meski penampilan mereka formal, ada sesuatu dalam tatapan yang masih membawa jejak malam di teras rumah Harun, sebuah kehangatan sunyi yang tidak semua orang bisa pahami.

“Siap?” bisik Addie sambil melirik Sabi yang sedang memeriksa catatan di tangannya.

Sabi mengangguk, menatapnya cepat. “Siap. Tapi deg-degan juga, ya. Pertama kalinya kerja bareng kamu dalam satu project.”

Addie terkekeh pelan, suaranya nyaris tertelan bising pendingin ruangan. “Tenang aja. Aku nggak bakal bikin kamu jatuh… kecuali jatuh cinta lagi.”

Sabi mendesah, menahan senyum. “Gombalan sebelum meeting itu dosa nggak sih?”

“Nggak, kan sekarang pacarku sendiri,” balas Addie cepat.

Mereka masuk ke ruang rapat bersama, duduk berdampingan di ujung meja panjang. Di hadapan mereka, klien dari Jakarta sudah siap, beberapa orang dari tim lokal, lengkap dengan proposal dan presentasi yang dibawakan Addie dibahas pagi itu.

Meski suasana profesional menyelimuti ruangan, ada kerjasama diam-diam yang mengalir lancar antara Addie dan Sabi. Kode-kode kecil dalam tatapan, anggukan pelan saat satu sama lain berbicara, dan dukungan diam di bawah meja, entah itu sentuhan lutut yang tak sengaja atau bisikan cepat sebelum menjawab pertanyaan penting.

Saat jam makan siang tiba dan para peserta rapat mulai bubar untuk istirahat, Addie dan Sabi memilih duduk di café kecil di lobi gedung. Suasananya lebih santai, aroma kopi dan suara gelak tawa dari meja lain mengisi ruang-ruang yang tak bisa diisi di ruang rapat tadi.

“Kamu keren tadi,” ujar Addie sambil menyeruput cappuccino-nya.

“Kamu juga. Bagian kamu ngejelasin tentang strategi distribusi digital itu... mulus banget.” Sabi menatap Addie sebentar. “Kayak kita udah kerja bareng bertahun-tahun, ya.”

"Tapi kalau bukan karena kamu yang bikin perkiraan budgetnya, aku nggak akan bisa apa-apa" Addie masih memuji Sabi.

"Iya udah, aku emang yang paling keren disini" ujar Sabi ikut menyeruput americano yang ia pesan.

"As always, also in my heart" balas Addie mengedipkan mata.

"Kamu banyak belajar ya dari aku, gombalnya" ucap Sabi berusaha menahan rasa gemasnya yang ingin memeluk Addie.

Addie menyandarkan punggung, matanya mengamati lalu lintas di luar jendela kaca café. “Mungkin karena kita udah belajar nyesuaiin ritme… bukan cuma dalam kerjaan.”

Sabi terdiam. Tapi tatapannya lembut, dan senyum di ujung bibirnya tak bisa disembunyikan.

“Jakarta keras,” kata Sabi tiba-tiba. “Tapi kalau ada kamu di tengahnya, rasanya jadi lebih bisa dihadapi.”

Addie tersenyum, kali ini lebih lebar. “Dasar nggak mau kalah, gombal”

"Rasanya aku masih pengen disini" ujar Addie lirih.

Sabi mengamati sekeliling cafe. “Tapi cafe ini tutup pas sore, nggak mungkin kamu nginep disini.”

"Bukan itu!!" Addie melempar tissue yang tepat mengenai selangkangan Sabi, "maksudnya aku masih mau lebih lama di Jakarta."

"Kamu ngelempar tepat kena Sabi Junior, kamu pengen ya" ujar Sabi yang justru mengalihkan obrolan ringan itu menjadi obrolan mesum.

"Nggak," jawab Addie sigap, "jangan macem-macem, kita udah janji mau bawa Ibu dan yang lain ikut nginep sama kita di hotel."

"Kan beda kamar" Sabi bersikeras. "Moment bagus buat honeymoon di Jakarta" lirih Sabi berpura-pura kecewa.

"Akting sedihnya dapet banget, Sab. Ya udah deh ... Aku jadi kasian" ujar Addie tertawa terbahak-bahak.

Dan saat pelayan datang membawa dua piring nasi goreng yang mereka pesan, Addie dan Sabi saling menatap sejenak, sebuah momen tenang di tengah kota yang tak pernah tidur. Jakarta mungkin penuh tekanan, tapi bagi mereka berdua, kota ini mulai terasa seperti tempat belajar berjalan berdua.

Dengan pekerjaan sebagai alasan dan rasa sebagai alasan yang lain, mereka perlahan menulis kisahnya, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai dua orang yang sedang belajar merawat sesuatu yang lebih dari sekadar kebersamaan profesional.

* * *

Sore di Jakarta datang perlahan, menurunkan suhu panas yang sedari siang menggantung malas di udara. Langit mengambang dalam nuansa oranye keemasan, menyinari bangunan tinggi yang mengelilingi kawasan hotel bintang lima itu dengan pantulan cahaya yang nyaris magis. Kolam renang terletak di lantai lima, bagian terbuka dari rooftop garden yang ditata rapi dengan pohon-pohon palem kecil dan bunga kamboja dalam pot beton. Air kolam berwarna biru jernih memantulkan cahaya senja, menciptakan gerakan cahaya yang menari di dinding putih dan ubin marmer di sekitarnya.

Beberapa kursi malas berjejer menghadap kolam, dilengkapi payung besar berwarna krem. Aroma lembut klorin bercampur dengan wangi daun basah dan lotion matahari. Angin sore berembus ringan, membawa suara tawa anak-anak dan gemericik air. Di sudut kanan kolam, ada bagian dangkal dengan air hangat, tempat anak-anak bisa bermain dengan aman, dilengkapi perosotan mini berwarna cerah.

Di sanalah Sabi dan Addie berada, duduk di kursi malas beralaskan kain putih, tanpa sepatu, kaki menyentuh air sambil mengawasi Kai dan Albi yang sibuk berlomba menyelam. Addie mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek kain, rambutnya sedikit acak diterpa angin. Sabi mengenakan hoodie tipis abu-abu dengan celana chino santai. Mereka tampak rileks, dikelilingi tawa bocah dan kelembutan cahaya sore yang menyelimuti dunia seolah tak ada beban.

“Aku baru sadar,” gumam Addie sambil menatap matahari yang mulai turun perlahan di balik gedung-gedung, “...kalau bahagia bisa sesederhana ini. Liat anak-anak ketawa, dan duduk di sebelah kamu.”

Sabi tersenyum kecil, matanya tak lepas dari dua bocah kecil yang kini sibuk berlomba menyelam di kolam dangkal. “Iya. Kadang kita terlalu sibuk ngejar sesuatu yang jauh, sampai lupa... ternyata yang bikin tenang itu deket banget.”

“Termasuk kamu?” tanya Addie sambil melirik cepat, nakal.

“Termasuk kamu,” jawab Sabi cepat, tak kalah nakal.

"Om, lihat nih, aku bisa ngambang!!" Albi memamerkan aksinya pada Sabi dan Addie.

Di kejauhan, suara kendaraan dari jalan raya hanya terdengar samar, tertahan oleh dinding tinggi hotel. Yang tersisa di telinga hanyalah ketenangan dan percakapan ringan antara dua orang dewasa yang mulai merasa nyaman menjadi rumah bagi satu sama lain.

Namun, seperti gelombang kecil yang memecah air tenang, suara yang datang dari belakang mengubah segalanya.

“Mas Sabi?”

Sabi menoleh. Dalam satu detik, waktu terasa mengental. Seorang pria berdiri di dekat sisi kolam, berpakaian kasual, mengenakan polo biru laut dan celana pendek. Di tangan kirinya, seorang anak perempuan  menggenggam erat jarinya, sementara di sisi kanan, seorang wanita berdiri dengan senyum sopan dan sikap tenang.

Mario.

Dan bersamanya, keluarga kecil yang tak pernah ada dalam rencana hidup Sabi, namun kini nyata di hadapannya.

Mata Sabi membeku sejenak. Angin terasa berhenti bertiup. Percikan air, tawa anak-anak, bahkan denyut jantungnya sendiri seakan tertelan oleh hening yang mendadak menggantung di antara mereka. Tapi Addie, yang duduk di sebelahnya, langsung tahu. Ia membaca perubahan ekspresi itu seperti peta lama yang pernah disentuh berulang kali.

Sabi menegakkan badan. Ia bangkit perlahan, menyembunyikan getar yang belum selesai di dalam dada. Namun suaranya tetap tenang, matang seperti seseorang yang sudah memilih berdamai dengan dirinya sendiri.

“Mario….” gumam Sabi, mencoba mengulur senyum kecil. “Nggak nyangka ketemu di sini.”

"Kebetulan ya" sahut Mario, "Mas Sabi ngapain disini? nginep disini juga?"

"Anu .... " Sabi gugup, "iya .. lagi nemenin ponakan, berenang."

"Kebetulan, gua juga nginep disini, mas. Ini lagi nemenin anak mau berenang" ujar Mario memberikan anaknya pada gendongan istrinya, "mama temenin cica dulu ya, papa ada urusan sebentar sama Mas Sabi, temennya David yang waktu nikahan itu lhoo."

"Oh iya, aku baru inget" Seira menggendong anaknya, "pantes aku berusaha inget, kayak pernah liat dimana gitu."

"Tapi Cica mau berenang sama papa" gadis kecil di gendongan Seira memekik.

"Iya, nanti Cica berenang sama papa, ya" Seira berusaha menenangkan dengan lembut, "papa lagi ada urusan sama temennya."

Mario tersenyum kaku, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa ditutup rapat oleh formalitas. Ada genangan halus di sana—bukan air mata, tapi kenangan yang masih hangat. Wanita di sampingnya mengangguk sopan pada Sabi,  seolah tahu ini bukan percakapan yang ia harus ikuti. Mereka berjalan pelan menjauh, memberi ruang pada Sabi dan Mario.

"Bisa ngobrol bentar mas, berdua" ujar Mario tersenyum, "ada smoking area disana."

Sabi bimbang, ia melirik Addie yang masih duduk di tepi kolam, mata Addie masih awas menjaga Kai dan Albi yang sedang asyik bermain air tanpa memperhatikan Sabi dan Mario yang bertemu kembali.

Sabi mengangguk, ia melangkah berbarengan dengan Mario. Angin sore berembus pelan, membawa aroma air dari kejauhan dan suara tawa keponakan Sabi yang kembali memercik air. Namun dunia Sabi dan Mario terasa terkurung dalam gelembung waktu mereka sendiri. 

“Kamu inget nggak, mas” kata Mario tiba-tiba, lirih. “Kita pernah bilang, kalau takdir yang mempertemukan, baik aku maupun kamu akan saling menghampiri.”

Sabi tersenyum kecil, getir. “Apa iya kita pernah bilang gitu?”

Mario mengangguk, menunduk sebentar. “Aku seneng, akhirnya takdir itu datang lagi.”

Sabi tak menjawab, dilema merasuki tubuhnya. Ia bahkan tak berani mengakui jika dirinya kini berbeda, ia sudah memiliki Addie yang menggantikan Mario sepenuhnya.

"Kamar 1102, Seira sama Cica pulang duluan jam 8 malem ini" ujar Mario tersenyum meninggalkan Sabi sendirian disana.

Setelah Mario pergi menyusul anak dan istrinya, Sabi berdiri membisu sejenak. Senja pun lenyap perlahan, menyisakan langit ungu dan lampu-lampu kolam yang mulai menyala seperti kunang-kunang buatan. Dunia terus berputar. Tapi hati Sabi hari itu, mulai gundah lagi, nyatanya setiap bertemu, tak sepenuhnya hati Sabi siap menutup kenangan masa lalunya.